KICK off meeting antara UPT Laboratorium Lahan Gambut-CIMTROP Universitas Palangka Raya (UPR) dengan perusahaan asal Jepang Shabondama digelar di Aula Rahan Rektorat UPR, Rabu (5/7). Kegiatan tersebut dibuka oleh Kepala LPPM Dr Evi Veronica, mewakili Rektor UPR Prof Salampak sekaligus membacakan sambutan.
“Pengelolaan gambut yang kurang bijaksana akan menyebabkan permasalahan lingkungan, salah satunya adalah bencana kebakaran hutan dan lahan gambut,” ucap Evi.
Sedangkan di Kalteng sendiri hampir tiap musim kemarau selalu terjadi karhutla. Tercatat kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi pada musim kemarau tahun 1997, 2002, 2006, 2009, 2014, 2015, dan 2019. Kahutla berdampak sangat buruk terhadap sektor perekonomian, kesehatan, pendidikan, serta hilangnya luasan hutan itu sendiri.
Lebih lanjut ia mengatakan, diperkirakan kebakaran hutan dan lahan gambut memiliki andil terhadap emisi CO2 tahunan sebesar 15-20 persen. Kasus karhutla juga cukup menyita perhatian dunia dan memungkinkan mendapatkan protes dari negara tetangga akibat asap dari kebakaran hutan di Indonesia.
“Berdasarkan fakta yang ada, maka pengendalian karhutla dengan teknologi yang efektif dan efisien perlu dikembangkan. Shabondama meruapakan perusahaan di Jepang yang mengembangkan teknologi pemadaman kebakaran dengan memanfaatkan sabun khusus yang efektif dan efisien ketika menggunakan air serta ramah lingkungan,” katanya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2016 lalu, penggunaan 10 liter campuran sabun dengan air mampu memadamkan 1 meter kuadrat lahan gambut. Sedangkan pemadaman menggunakan air biasa membutuhkan 200 liter.
“Setelah enam bulan, lahan bekas kebakaran yang dipadamkan menggunakan aplikasi sabun khusus dapat ditumbuhi kembali tumbuhan,” lanjut Evi.
Ia menyebut, kerja sama antara UPR dan Shabondama dituangkan dalam proyek penelitian dan pelatihan peningkatan kapasitas dan teknologi pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalteng.
“Penelitian lebih mendalam dilakukan untuk mempelajari efektivitas dalam menggunakan bahan yang diproduksi oleh perusahaan Shabondama serta mengenai dampak penggunaan sabun tersebut terhadap keragaman vegetasi dan sifat fisik,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala UPT CIMTROP UPR Adi Jaya mengatakan, kegiatan tersebut merupakan peresmian untuk pengendalian karhutla. “Kegiatan ini sudah mulai tahun 2016, tetapi sempat terhenti karena pandemi Covid-19. Dari beberapa penelitian sebelumnya, mereka sudah menghasilkan produk berupa sabun yang dapat digunakan untuk pemadaman karhutla, dan itu sangat efektif,” terangnya.
Adi menyebut penanggulangan karhutla dengan cara ini lebih efektif dan efisien.
“Bayangkan kalau kita harus masuk hutan untuk pemadaman dan memerlukan 200 liter air, akan cukup susah kalau harus membuat pompa dan sebagainya. Namun dengan adanya inovasi ini, hanya dengan 6 sampai 10 liter air sudah bisa dibawa menggunakan tabung. Artinya bahan yang mereka ciptakan itu sangat bagus. Kami dari UPR mendukung kerja sama ini, karena memberikan manfaat untuk Kalteng, sistem kerjanya memang seperti pemadaman umumnya, tetapi lebih efektif,” lanjutnya.
Kepala UPT CIMTROP itu juga menyebut, pada Agustus mendatang akan dilaksanakan uji coba langsung di kawasan UPR.
Yophi Handoko dari Balai Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) yang mewakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam paparannya mengingatkan arahan Presiden terkait penanggulangan karhutla.
“Prioritaskan upaya pencegahan karhutla melalui deteksi dini, monitoring areal hotspot, dan pemantauan kondisi harian di lapangan,” tuturnya.
Ditemui usai kegiatan, Yophi mengatakan, apa yang disampaikan pada kegiatan tersebut merupakan suatu inovasi baru, bagaimana melakukan penanggulangan terhadap kebakaran hutan maupun lahan pada tipe tanah mineral atau gambut dengan lebih efektif. Menurutnya inovasi tersebut akan disambut baik oleh banyak kalangan.
“Tadi disampaikan soal penggunaan air yang lebih sedikit dan bahan yang digunakan pun ramah lingkungan, sehingga dalam penanggulangan karhutla bisa lebih cepat, hanya butuh sedikit orang, dan tidak memakan waktu yang terlalu lama,” lanjutnya.
Yophi berharap ke depan inovasi itu bisa digunakan dan diterapkan di wilayah Kalteng. “Saat ini kita masih menunggu mekanisme, karena belum terbangun, semoga setelahnya bisa segera digunakan. Baik ada sejenis hibah bantuan, ataupun mekanisme apa yang nanti akan dibangun. Sehingga ketika ada kejadian karhutla dapat digunakan secara efektif, lebih cepat, dan juga hemat air,” tambahnya.
Adanya inovasi yang dihasilkan berkat kerja sama antara pemerintah Jepang dan Indonesia bisa menjadi sesuatu yang bernilai dan bermanfaat ke depannya. “Sejauh ini biasanya kita melakukan penanggulangan atau pemadaman kebakaran hutan dan lahan hanya dengan mengandalkan air, semoga kehadiran inovasi ini menjadi terobosan ke depan,” pungkasnya. (*/ce/ala)