PALANGKA RAYA-Masih maraknya aksi mafia tanah di Kalteng membuat binis properti terhambat. Saling klaim tanah masih terjadi. Kondisi ini membuat investor bermodal besar enggan untuk menanamkan modal dalam bisnis pengembangan properti di Bumi Tambun Bungai ini. Pebisnis properti kerap kali menghadapi kendala sengketa tanah ketika ingin membangun perumahan.
Sulitnya investor luar untuk berinvestasi properti di Kalteng yang diakibatkan maraknya sengketa lahan dengan para oknum mafia tanah, dibenarkan oleh pihak Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Kalteng. Ketua DPD REI Kalteng Asani mengatakan, keberadaan mafia tanah memang betul-betul menghambat datangnya investor ke Kalteng, khususnya bidang properti. Para investor dari luar daerah harus berpikir seribu kali sebelum mengucurkan modal.
“Mereka (investor) sangat hati-hati dalam mengeluarkan modal. Begitulah investor. Dalam berinvestasi mereka akan sangat memperhitungkan faktor keamanan. Selain itu, investasi yang ditanam kan harus untung. Mereka tidak ingin repot-repot berurusan dengan masalah tanah yang bertele-tele, karena akan sangat menghambat bisnis mereka,” jelas Asani kepada Kalteng Pos saat ditemui di kantornya, Selasa (7/2).
Asani mengaku, beberapa anggota DPD REI Kalteng yang juga merupakan pengusaha properti cukup sering menghadapi masalah sengketa tanah pada lokasi lahan yang akan dijadikan kawasan perumahan. Namun para pebisnis properti enggan berkonfrontasi dengan para mafia tanah, sehingga upaya mediasi yang menguntungkan kedua belah pihak akan diupayakan.
“Klaim-klaim seperti itu juga pernah dialami oleh teman-teman di REI, tapi kami bisa cepat mengatasi masalah, karena kami tidak mau ribut. Misal, ada yang beli tanah untuk membangun perumahan, tapi malah ada yang mengklaim, kami negosiasilah supaya deal-dealan, karena kalau sampai meja hijau kan lebih panjang lagi, banyak biaya yang harus dikeluarkan,” tuturnya.
Ada beberapa anggota DPD REI Kalteng sekaligus pengusaha properti yang proyek perumahannya terbengkalai akibat sengketa tanah. Namun untuk menyelesaikan masalah itu, lanjut Asani, biasanya kedua belah pihak diundnag untuk berdiskusi mencari solusi terbaik.
“Kami dari REI, kalau ada mafia tanah yang mengklaim tanah yang akan dibangun perumahan, biasanya kami pakai jalur damai saja, karena kalau sampai meja hijau akan lebih repot, banyak biaya yang harus dikeluarkan,” tuturnya.
Penyelesaian sengketa tanah untuk pembangunan properti melalui jalur mediasi menghasilkan berbagai kesepakatan. Ada pihak developer yang menyerahkan sebagian lahan, membangun perumahan untuk pihak yang bersengketa, atau menerapkan prinsip bagi hasil yang didapat dari bisnis properti tersebut antara developer dengan pihak yang bersengketa.
Asani selaku pengusaha properti juga pernah mengalami hal serupa. Pada 2013 lalu, lanjut Asani, ketika akan membangun perumahan di Jalan Tingang, ternyata ada tumpang tindih hak kepemilikan lokasi itu. Ada tiga orang yang bersengketa di objek tanah yang sama.
“Ketiga orang itu bersama saya selaku pihak developer melakukan mediasi di BPN. Satu orang bermodal SKT, dua lagi bermodal sertifikat. Sama-sama ngotot. Kemudian saya tawarkan ke mereka bertiga unit rumah di lokasi sengketa itu, akhirnya deal, sampai saat ini tidak ada masalah,” bebernya.
Asani menyebut, ada beberapa pengusaha properti yang berjuang mempertahankan kepemilikan tanah sampai ke pengadilan. Namun justru membuat mereka merugi karena biaya besar yang dikeluarkan.
“Kalau bertarung di pengadilan soal masalah seperti itu, enggak ada habis-habisnya, mana saling ngotot,” ucapnya.
Semenjak DPD REI Kalteng didirikan tahun 1993, masalah tanah menjadi momok dalam kemajuan bisnis properti real estate (perumahan) di Kalteng. Tanah menjadi bagian utama dalam pembangunan properti. Sayangnya, bagian utama dalam bisnis properti ini justru harus terganjal legalitas tanah dan maraknya oknum mafia tanah.
Berbicara investasi properti se-Kalteng memang terlalu luas. Asani mengakui bahwa masalah sengketa tanah di Palangka Raya menjadi momok bagi keberlangsungan usaha properti, melebihi daerah lain di Kalteng. “Padahal kan ini ibu kota provinsi ya, tapi di Palangka Raya ini lebih sulit daripada daerah lain, hanya karena masalah sengketa lahan,” ucapnya.
DPD REI Kalteng memiliki catatan terkait wilayah di Palangka Raya yang masuk kategori daftar hitam lokasi bisnis pengembangan perumahan karena paling banyak muncul sengketa tanah. Antara lain Jalan Hiu Putih, Jalan Badak, dan Jalan Banteng.
“Kalau kita mau berinvestasi, lihat-lihat lokasi juga, di daerah Jalan Hiu Putih yang atas, Jalan Badak, dan Jalan Banteng sering terjadi sengketa kan, makanya sudah sejak lama kami enggak berinvestasi di wilayah-wilayah itu,” tuturnya.
Selain itu, daerah Jalan Candrabuana juga masuk daftar hitam DPD REI Kalteng. Jalan yang berada di Jalan RTA Milono Km 6 itu dinilai rawan terjadi saling klaim tanah. Sampai sekarang persoalan tumpang-tindih kepemilikan tanah masih terus terjadi.
Sampai saat ini investor dari luar daerah masih ragu menanamkan modal untuk bisnis properti di Kalteng, akibat adanya mafia tanah dan konflik saling klaim lahan. Kendati perkembangan properti di Kalteng, khususnya Palangka Raya sejauh ini terbilang cukup baik, tapi belum ada investor dari luar daerah. Perkembangan bisnis properti di Kalteng masih disokong oleh modal-modal para investor lokal. Faktor utama tak lain karena keamanan berinvestasi yang belum terjamin.
“Investor dari luar belum ada yang mau investasi properti di sini. Ada yang mau masuk, tapi diurungkan karena maraknya kasus sengketa tanah. Kalau kita lihat di daerah Banjarmasin, Sinarmas masuk, perusahaan properti multinasional lainnya sudah masuk, tapi di sini enggak ada. Mereka enggak berani menanamkan modal, karena memang tidak aman,” tuturnya.
Asani menyebut, selama ini DPD REI Kalteng belum bekerja sama dengan satgas mafia tanah dan instansi yang mengurus legalitas tanah. Meski demikian, untuk memastikan lokasi yang akan dibangun perumahan minim dari potensi sengketa, pihaknya terlebih dahulu melakukan pemeriksaan yang teliti.
Ketika mendapat lahan yang strategis untuk dibangun perumahan, terlebih dahulu pihaknya mengecek legalitas kepemilikan tanah. Setelah diperiksa, pihaknya mengonfirmasi ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palangka Raya, bertanya kepada warga yang tinggal di sekitar lokasi, maupun menanyakan ke pihak RT, RW, serta kelurahan setempat.
Lahan yang boleh dibangun properti harus benar-benar jauh dari potensi sengketa. Melalui penentuan kriteria ini, pihak REI sudah berusaha menghindari potensi konflik saling klaim tanah secara administrasi legalitas pertanahan.
“Kalau di tahap awal seperti mendapat lahan yang strategis sebagai wadah pembangunan properti, tentu perizinan dulu yang akan kami selesaikan, baik surat-suratnya, sertifikatnya, izin bangunannya, IMB, atau PBB, itu dulu yang akan diurus, setelah itu barulah bisa dipasarkan,” jelasnya.
Asani berharap pihak pengambil kebijakan dapat turun tangan menyelesaikan masalah pertanahan di darah ini. Pemerintah perlu mengatur dengan baik regulasi pertanahan sehingga tidak terjadi saling klaim dan tumpang tindih bukti kepemilikan.
“Kalau masyarakat tenang, kami bisa berinvestasi dengan aman, pemerintah juga mendapatkan outputnya, contohnya dari pajak seperti PBB dan lainnya, ada banyak hal yang dapat membantu pembangunan daerah,” tandasnya.
Sebelumnya, seorang pengusaha pengembang properti di Palangka Raya, Eldoniel Mahar ikut menyoroti soal masalah tumpang tindih lahan yang masih kerap terjadi. Menurutnya ada beberapa hal yang menjadi pemicu sengketa tanah. Pertama, pelanggaran hukum pidana berupa surat kepemilikan palsu yang dibuat seolah-olah asli. Misalnya, surat keterangan tanah adat seperti kasus di Jalan Badak dan Hiu Putih.
Pemicu lainnya adalah pelanggaran perdata berupa surat keterangan tanah (SKT) yang umumnya ditandatangani oleh RT, RW, kelurahan, kecamatan, tapi dibuat di atas bidang tanah yang telah lebih dahulu memiliki dokumen kepemilikan, sebagaimana kasus yang terjadi di sekitar Jalan Pramuka dan Jalan Jintan.
Eldoniel juga menyoroti penandatanganan surat keterangan tanah berupa SPPT di atas tanah warga yang lebih dahulu memiliki dokumen kepemilikan sebagaimana dilakukan pihak Kelurahan Menteng.
“Sangat disayangkan jika Lurah Menteng terkesan cuci tangan dan mengkambinghitamkan warga yang mengajukan permohonan penandatanganan surat tanah, karena hal itu memang tugas dan kewajiban kelurahan untuk meneliti serta memutuskan untuk menandatangani atau tidak menandatangani dokumen yang diajukan warga,” kata Eldoniel kepada wartawan, Selasa (7/2).
Jika Kelurahan Menteng telah menjalankan semua standar operasional pelayanan (SOP) dalam melayani warga, lanjut kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini, tentu tidak akan muncul SKT kepemilikan di atas tanah yang telah bersertifikat, sebagaimana kasus yang terjadi di wilayah kelurahan itu. Seharusnya kasus ini ditelusuri lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya, apakah akibat kelalaian oknum ataukah karena kelemahan SOP.
“Saya sangat sependapat dengan Kepala BPN Kota Palangka Raya yang menyatakan bahwa pihak kelurahan adalah garda terdepan yang harus tahu dan menguasai persoalan tanah di wilayah masing-masing, sehingga tidak teledor dalam menangani SKT yang diajukan warga,” katanya. (dan/ce/ala)