Site icon KaltengPos

Sebagian Kades Kurang Setuju Masa Jabatan 8 Tahun

PALANGKA RAYA-Badan Legislasi DPR RI dikabarkan telah menyepakati masa jabatan kepala desa (kades) menjadi delapan tahun dalam satu periode. Perubahan masa jabatan kades ini disebut muncul atas tuntutan dari Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi). Meskipun belum disahkan, tetapi tidak semua anggota Apdesi setuju dengan keputusan memperpanjang masa jabatan kades tersebut.

Kades Kinipan periode 2019-2024, Willem Hengki mengaku kurang setuju dengan usul perpanjangan masa jabatan kades. Hal itu mengingat jabatan-jabatan politis yang berada di atasnya dibatasi jangka waktu. Mulai dari tingkat puncak seperti presiden hingga bupati/wali kota, bahkan kepala desa sendiri. Anggota legislatif pun demikian.

“Menurut saya enam tahun masa jabatan kades itu cukup, mengingat kalau suatu waktu kades itu tidak dalam kondisi sehat, ditambah lagi masa jabatannya delapan tahun,” ungkap Hengki saat dihubungi Kalteng Pos, Jumat (9/2).

Menguatnya perpanjangan masa jabatan kades didasarkan pada pandangan bahwa makin lama jabatan kades maka akan makin baik pembangunan desa. Willem berpendapat, lama masa jabatan dan kemajuan pembangunan desa tidak punya keterkaitan.

“Tidak ada hubungannya. Mengingat kalau memang bagus, maka masyarakat tentu akan mempercayai sosok tersebut menjadi kades lagi. Bagus tidaknya kinerja seorang kades bisa dilihat mata masyarakat,” tuturnya.

Anggota Apdesi Lamandau 2023-2028 yang menempati Biro Pedesaan dan Desa Tertinggal itu berpandangan, masa jabatan delapan tahun untuk satu periode merupakan waktu yang lama. Perlu ada pembatasan waktu layaknya kepala daerah pada tingkatan yang lebih tinggi.

“Lama masa jabatan kades itu kan disesuaikan dengan jangka waktu pembangunan, sudah cukup sebenarnya satu periode,” ucapnya.

Perpanjangan masa jabatan kades juga diduga kuat dipolitisasi oleh segelintir pihak, bertepatan dengan momentum politik 2024. Terkait hal itu, Willem berpendapat tidak ada pengaruhnya jika berkaca dari kondisi masyarakat di desa yang dipimpinnya.

“Tidak ada pengaruhnya, hanya saja takut diduga kalau teman-teman kades yang di Jawa, itu kan kuat sekali nuansa politik atau semacamnya, apalagi saat ini kan ada momentum politik,” tutur pria kelahiran 6 Mei 1981 itu.

Menurut Willem, sifat organisasi Apdesi adalah demokrasi yang menghormati perbedaan pandangan tiap anggota. Jika anggota Apdesi Lamandau lebih dari 50 persennya menyetujui kebijakan perpanjangan masa jabatan kades, maka pihaknya akan mengikuti suara terbanyak.

“Tapi pada prinsipnya, saya pribadi kurang setuju,” tuturnya. Willem sendiri baru menjabat sebagai Kades Kinipan selama satu periode. Perihal apakah dirinya akan kembali menjadi kades di desa tersebut atau tidak, Willem menyebut sepenuhnya tergatung pada kepercayaan masyarakat.

“Masyarakat Kinipan ini kecil, hanya sekitar 400-an pemilih, jadi melihat perkembangan masyarakat, menurut saya tidak harus menjadi kepala desa untuk bisa membangun desa, jadi apa pun bisa,” ujarnya.

Pengamat ekonomi pembangunan, Irawan berpendapat, perlu dicermati dahulu program-program yang dilaksanakan di desa sebelum adanya perpanjangan masa jabatan. Apakah bersentuhan langsung dengan indikator pembangunan atau tidak. Misalnya, untuk meningkatkan produksi, mengurangi kesenjangan antardaerah, menurunkan tingkat kemiskinan, dan sebagainya.

“Suatu hal yang tidak kalah penting adalah rencana strategis desa (renstra), yang terdiri atas jangka pendek satu tahunan, menengah per lima tahun, dan jangka panjang per 10-25 tahun,” ungkap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) itu.

Perpanjangan jabatan kades juga harus memperhatikan figur kades yang memegang amanah. Jika kepala desa yang dimaksud mampu menjalankan roda pembangunan dan target-target capaian, dapat dikatakan berdampak positif. Namun jika sebaliknya, maka masa jabatan yang lama tersebut bisa menjadi sumber penyelewengan kekuasaan.

“Jadi poinnya pada figur kades, apakah memiliki kompetensi dan kemampuan atau tidak dalam menerjemahkan RPJ desa untuk target capaian yang disusun bersama dengan perangkat pemerintah desa,” tuturnya.

Irawan menyebut, dana desa yang bersumber dari APBN tiap tahun digelontorkan dalam jumlah cukup besar. Jangan sampai anggaran yang besar itu tidak mampu menjadi stimulus untuk pembangunan dan kemajuan desa. (dan/ce/ala)

Exit mobile version