Site icon KaltengPos

Ratusan Lahan Food Estate Mangkrak,Bibit Padi Bantuan Kedaluwarsa

PULANG PISAU-Desa Pilang dan Desa Mulyasari di Kabupaten Pulang Pisau merupakan dua wilayah ekstensifikasi atau perluasan area food estate. Jika digabungkan, ada lebih 200 hektare lahan yang sudah diratakan menggunakan alat berat tahun lalu. Hampir semuanya belum tergarap. Ilalang dan semak belukar pun meninggi dan tumbuh subur. Bukan padi. Realitas itulah yang terlihat ketika wartawan Kalteng Pos meninjau langsung lokasi tersebut, akhir pekan lalu.

Ani, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng menjadi pendamping saat itu. Wanita berkacamata itu mengatakan mereka telah melakukan monitoring intens selama setahun untuk melihat perkembangan penggarapan lahan di sana. Dari hasil monitoring, pihaknya menilai antara perencanaan dan implementasi proyek food estate yang digagas pemerintah di daerah tersebut jauh dari yang diharapkan.

Pasalnya, masih terdapat lahan tergarap, tapi belum optimal. Bahkan ada lahan yang belum tergarap sama sekali. Perubahan pola pertanian masyarakat dan dampak lingkungan yang ditimbulkan juga harus jadi perhatian.

Desa pertama yang kami kunjungi adalah Desa Pilang. Satu jam lamanya perjalanan darat dari Kota Palangka Raya. Sesampai di sana, langsung menemui Priska, anggota Kelompok Tani (Poktan) Parit Pemerintah. Untuk sampai ke lokasi lahan yang sudah dibabat oleh alat berat itu, harus menggunakan transportasi air. Ada tumpukan karung di pinggir Jalan Temanggung Tambuang menuju pelabuhan. Ada yang berlubang, bekas gigitan tikus. Benih padi pun berceceran di sekitarnya.

“Itu bibit sumbangan pemerintah, tapi sudah kedaluwarsa, karena datang sebelum lahan digarap. Parahnya, bibit itu tidak digunakan, karena tidak cocok dengan kondisi tanah di sini,” celetuk Ani kepada Kalteng Pos.

Sesampai di dermaga, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi lahan ekstensifikasi. 15 menit perjalanan dengan menumpangi perahu kecil atau kelotok berukuran empat meter. Menyusururi sungai yang airnya berwarna cokelat susu. Semak belukar tumbuh di kiri kanan sungai. Jauh mata memandang, terlihat pohon-pohon tinggi menjulang. Itulah hutan yang ada di desa setempat. Pohon-pohon endemik Kalimantan itu tak seberuntung pohon yang ada di sekitarnya yang sudah ditumbangkan. “Itu lahan yang dijadikan sawah,” tunjuk Priska. “Dahulu itu juga hutan,” tambahnya.

Di pinggir sungai tempat kelotok bersandar, ada rumah kayu yang dijadikan tempat singgah Emek dan istrinya, Lamsiah. Petani yang coba-coba menanam padi. Ia menanam sedari Agustus 2022. Lima bulan setelah lahan tersedia. Emek kebagian 1,5 hektare.

Emek tidak tahu jenis padi yang digunakan. Memakai teknik tanam sebar langsung. Selain padi, pada sisi petak lahan juga ditanami pisang, singkong, dan sayur-sayuran.

Ketika ditanya apakah menerima bantuan bibit dari pemerintah, Emek mengiyakan. Namun tidak digunakan, karena tidak cocok dengan kondisi tanah. Dia memutuskan mencari bibit padi gunung. “Sudah kedaluwarsa (bibit bantuan, red) saat ini, enggak terpakai, sebelumnya kami sudah coba-coba tanam, tapi tidak bisa tumbuh,” ucapnya dengan aksen Dayak Ngaju yang kental.

Pria 65 tahun itu mengaku telah berladang jauh sebelum adanya program food estate. Sistem bertanam dengan membakar sedikit lahan secara terbatas. Lalu ditebar benih padi. Sebelum akhirnya tahun 2015 dilarang pemerintah. Padahal itu warisan nenek moyang.

Tak jauh dari petak sawah milik Emek, terlihat hamparan semak belukar. Dahulunya hutan, sebelum dibabat untuk dijadikan lahan sawah. Namun tidak ada yang merawat. ”Ini lahan awal yang dibuka dari lahan lainnya di desa ini,” sahut Priska.

Wanita yang juga jadi penguruk Poktan Parit Pemerintah itu mengatakan, tidak terurusnya lahan tersebut akibat kurangnya perhatian dari warga setempat yang diberi amanah untuk mengurus lahan. Sejak tahun 2021 hingga saat ini, lahan tersebut belum juga digarap. Wanita berkacamata itu menyayangkan atas kurangnya perhatian dari pengelola lahan, karena tidak sedikit warga lain yang juga ingin menggarap lahan tersebut. “Seandainya dilibatkan semua warga desa per KK, tidak harus yang pemilik tanahnya, mungkin tidak akan terbengkalai seperti ini, pasti sudah tergurus,” ujarnya.

Tak Ada Pendampingan

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengatakan, dampak lingkungan yang ditimbulkan dari ekstensifikasi lahan dalam program food estate ini sangat mengganggu ekosistem gambut dan hutan. Karena itu pihaknya mendesak agar pemerintah menghentikan upaya perluasan atau ekstensifikasi lahan food estate di kawasan gambut dan kawasan hutan. Juga menghentikan dan mengevaluasi terkait kegiatan intensifikasi yang dilakukan di kawasan gambut pada lahan bekas dikembangkannya proyek PLG.

“Pembukaan hutan dan gambut di kawasan hutan hanya akan memperparah kerusakan lingkungan dan kondisi darurat ekologis di Kalteng,” tuturnya.

Bayu juga menyoroti implementasi skema ekstensifikasi di Desa Pilang yang tidak berjalan optimal. Dikatakannya, penyaluran benih dan pupuk kepada petani sebelum pembukaan lahan dilakukan menyebabkan pupuk menjadi rusak dan benih kedaluwarsa.

Dalam upaya peningkatan hasil pertanian, pemerintah melalui program strategis nasional food estate melakukan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian dengan total luas lahan mencapai 165.000 hektare di Bumi Tambun Bungai.

Bayu berpendapat bahwa setelah dua tahun berjalan, proyek food estate ini tidak menjawab kebutuhan petani. Hanya menambah kebingungan bagi petani terkait pola pertanian yang dibangun oleh pemerintah.

Masih pada permasalahan di desa yang sama, khususnya ekstensifikasi, berdasarkan pengamatan pihaknya, ada keluhan dari warga yang lahannya masuk dalam proyek food estate.

Hal ini disebabkan karena pembukaan lahan yang dilakukan, menurut petani setempat, lahannya tidak siap untuk ditanam, karena masih banyak kebutuhan pendukung dalam bersawah yang belum terpenuhi. Ia berharap pemerintah segera menghentikan program ini dan melakukan evaluasi atas program yang telah dijalankan. “Selain memicu bencana ekologis, program ini juga berdampak pada pemiskinan petani lokal,” ucapnya.

Kalteng Pos menemui Kepala Desa Pilang, Rusdi. Dia mengaku optimistis terhadap proyek food estate ini, meski terdapat kekurangan di mana-mana. Sebagian besar masyarakat Desa Pilang ,sejauh ini menggarap sawah dengan menerapkan prinsip trial and error pada jenis tanaman yang ditanam di lahan masing-masing.

Ini merupakan akibat tidak adanya edukasi kepada para petani mengenai cara mengelola lahan dengan bersawah, karena sebelumnya mereka terbiasa berladang. Hal ini menuntut mereka untuk mempelajari sistem baru, dari berladang ke bersawah.

Sejak tahun 2021, usai lahan food estate telah teralokasi untuk digarap, Rusdi mengatakan, sampai sekarang masyarakatnya masih kebingungan dalam menentukan bibit yang cocok digunakan atau sesuai dengan kondisi lahan. “Mereka sudah pernah dikasih bibit unggul, tapi tidak cocok dengan kondisi tanah di sini. Coba saja kalau yang diberikan adalah bibit yang sesuai dengan kondisi tanah di sini, pasti sudah berkembang sawah-sawah mereka,” ungkapnya.

Terkait luas area pertanian juga masih simpang siur. Data dari pihak TNI, sebut Rusdi, berbeda dengan data dari dinas terkait. Menurut TNI, lahan perluasan adalah 118 hektare, sedangkan dinas menyebut 116 hektare. “Masyarakat sendiri belum punya alat untuk mengukur, jadi tidak bisa kami pastikan,” tuturnya.

Diakui Rusdi, Pemkab Pulang Pisau dalam hal ini dinas pertanian rutin melakukan pengecekan dan monitoring terkait perkembangan penanaman pada lahan warga. Mereka akan memberikan saran dan masukan kepada petani untuk menanam dengan bibit-bibit tertentu. “Namun bibit-bibit itu malah tidak sesuai dengan kondisi lahan. Seharusnya mereka (dinas pertanian, red) melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam menggarap lahan, daripada hanya pulang pergi untuk meninjau saja,” tuturnya.

Rusdi meyakini lahan sawah food estate akan berhasil dikembangkan oleh masyarakat jika saja pemerintah mau memberikan pendampingan intens dan memberikan alat-alat penunjang kepada para petani. Mengingat antusiasme masyarakat dalam menggarap lahan sangatlah tinggi. “Saat ini mereka sedang berlomba-lomba menggarap lahan dengan cara tradisional. Walaupun tingkat keberhasilannya rendah, tapi mereka senang dengan cara itu, jadi perlu pembekalan kepada mereka agar bisa mendapatkan hasil yang optimal nanti,” sebutnya.

Tak Didukung Sistem Irigasi

Masalah lain datang dari wilayah kedua yang dikunjungi, Desa Mulyasari, Kecamatan Pandih Batu. Sebagaimana cerita yang disampaikan Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Mulyasari, Sukirno. Setahun lebih semenjak selesainya penyediaan lahan sawah pada 2021 lalu, warga tidak dapat menggarap lahan, karena genangan air yang tinggi. Menyebabkan lahan seluas 103,66 hektare mangkrak.

Sukirno menuturkan, tidak adanya sistem irigasi yang baik menjadi penyebab lahan sawah selalu tergenang air. Menurutnya, petani membutuhkan saluran irigasi primer sebagai jaringan utama keluar masuknya air dan irigasi sekunder sebagai penyalur air dari irigasi primer, sehingga lahan tidak lagi tergenang air. “Kalau saluran irigasi sudah terbuat, genangan air dapat dikurangi, otomatis lahan pun bisa digarap,” tuturnya.

Selama setahun air tergenang di sawah. Para petani tidak diam begitu saja. Sudah mencoba berupaya agar lahan itu bisa tergarap. Namun hasilnya nihil. Genangan air yang cukup dalam sangat menghambat pengoperasian alat-alat pertanian. Contohnya, traktor. Tidak bisa masuk ke sawah. “Sebelumnya saya dan para petani telah mencoba sembilan alat penunjang pertanian, tapi semuanya tenggelam karena air yang cukup dalam,” bebernya. Antusiasme warga dalam bertani terlihat dari tumbuhnya tanaman sayur-sayuran di sebagian lahan yang tidak tergenang air. Ada pohon cabai yang masih muda dan pohon pisang yang tumbuh di setiap pembatas petak sawah.

Jalan menuju lokasi perluasan sawah food estate yang berada di Desa Mulyasari ini tidak beraspal. Jalannya penuh batu dan banyak lubang. Sukirno mengatakan, selain persoalan genangan air yang tinggi di lahan sawah, akses jalan antardesa dan dalam desa yang buruk cukup menyulitkan keluarnya hasil panen dari daerah itu.

Selaku ketua gapoktan dan mewakili seluruh petani di Desa Mulyasari, ia berharap ada perhatian pemerintah untuk membangun saluran irigasi yang baik agar lahan pertanian bisa digarap. Selain itu pihaknya berharap agar pemerintah memperhatikan infrastruktur jalan agar memudahkan para petani menjual dan memasarkan hasil panen. “Mudah-mudahan pemerintah tidak bosan-bosannya untuk membantu kami para petani,” pungkasnya. (dan/ce/ram)

 

 

 

Exit mobile version