Site icon KaltengPos

Cegah Serangan Fajar, Perketat Pengawasan

ilustrasi politik uang

PALANGKA RAYA-Besok (14/2), Indonesia akan menggelar pesta demokrasi memilih presiden dan wakil presiden serta wakil rakyat di DPD RI, DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Hampir tiap hajatan politik lima tahunan itu, muncul fenomena serangan fajar atau politik uang (money politic) yang dinilai sangat mencederai demokrasi. Karena itu perlu dilakukan pengawasan ketat sebagai upaya pencegahan.

Pengamat politik Ricky Zulfauzan berpendapat, fenomena serangan fajar adalah cara kampanye paling kuno, konservatif, dan ketinggalan zaman. Semua peraturan perundangan telah lama melarang praktik tersebut. Namun ibarat fenomena gunung es, selalu muncul di tiap periode pemilu di Indonesia.

“Tidak semua tempat menjadi target serangan fajar. Biasanya tiap daerah atau TPS telah dipetakan dengan baik oleh oknum politikus. Di mana daerah yang bisa dilakukan serangan fajar, di mana yang tidak bisa dan berisiko tinggi untuk dilakukan cara itu,” ungkapnya saat dihubungi Kalteng Pos, Senin (12/2).

Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Palangka Raya itu, fenomena serangan fajar tidak hanya mencederai, tetapi merusak demokrasi.

“Semua instrumen hukum kepemiluan kita berusaha mencegah dan bahkan memberikan sanksi tegas terhadap pelakunya, tetapi dalam realitanya tetap saja terjadi di tiap periode pemilu,” ujarnya.

Menurutnya, cara mencegah praktik politik uang tidaklah mudah. Pada tiap kesempatan, pihaknya selalu menawarkan solusi yang berbasis pendekatan sistemik. Sederhananya, pengambil kebijakan harus mengevaluasi sistem multipartai yang dianut sekarang.

“Secara budaya politik, hanya ada dua ideologi partai politik di Indonesia. Satu sisi partai nasionalis atau priyayi dan di sisi lainnya ada partai religius atau santri,” tuturnya.

Mengembalikan partai ke dalam ideologi masing-masing bukan tanpa alasan. Cara itu dinilai efektif mengatasi politik uang. Sebab, dengan ideologi yang kuat, maka akan muncul semangat volunteer atau kesukarelawanan dalam pemilu.

“Bukan lagi oknum caleg yang membagi-bagikan uang, tetapi sebaliknya, masyarakatlah yang menyumbang dengan sukarela karena ingin memperjuangkan calegnya agar duduk,” pungkasnya.

Mengenai fenomena serangan fajar itu, Direktur Eksekutif Barometer Kebijakan Publik dan Politik Daerah (Bajakah) Institute, Farid Zaky Yopiannor juga angkat bicara. Ia berpendapat, serangan fajar merupakan langkah terakhir untuk memperbanyak suara atau mengubah pilihan masyarakat. Upaya itu dilakukan untuk menaikkan suara, sehingga dianggap sebagai game changer atau pengubah permainan.

“Tujuannya untuk mengubah pilihan masyarakat, meyakinkan rakyat untuk memilih mereka, itu biasanya terjadi di menit-menit akhir atau minggu-minggu tenang,” tuturnya, Senin (12/2).

Menurutnya, terjadinya politik uang di masa tenang adalah upaya terakhir dari para kontestan pemilu untuk menarik suara pemilih. Misalnya untuk mempertahankan elektoral sehingga pemilihnya tidak terayu dengan kandidat lain.

“Ini semata-mata hanya untuk elektoral, mau dipilih, sebagai bentuk transaksional, atau lebih ekstrimnya untuk jual beli suara, vote buying,” ujarnya.

Ia berpendapat, politik uang yang terjadi di Indonesia merupakan suatu bentuk tindakan yang terus berulang hingga dianggap wajar. Ada dua faktor yang menyebabkan itu terjadi, yakni faktor struktural dan kultural.

“Secara struktural disebabkan oleh pengawasan pemilu kita yang masih lemah, longgar, sistem kita yang belum mampu meng-cover, mendeteksi, dan memitigasi pelanggaran,” sebut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR) itu.

Yang paling parah, ujar Zaky, adalah aspek kultural. Sebab, tak sedikit masyarakat yang mengharapkan adanya uang dari kontestan politik ketika ingin melabuhkan pilihan. Pola pikirnya adalah imbalan dari adanya pemberian suara.

Untuk menghapus kebiasaan serangan fajar, Zaky menyebut, para kontestan pemilu harus mengubah pola kampanye. Sejauh ini para kontestan belum memiliki gagasan yang autentik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpin atau diwakili.

“Sejauh ini para pemimpin kita tidak punya modal sosial yang kuat, belum punya gagasan yang genuine, sehingga pilihannya untuk mendapatkan suara, ya dengan serangan fajar,” jelasnya.

Untuk bisa mengubah itu, para kontestan perlu melakukan pendekatan komunitas yang tidak berorientasi pada permintaan suara secara transaksional dengan uang. Ia meyakini bahwa masyarakat dewasa ini menginginkan komunikasi langsung dengan kandidat, sehingga tidak ada lagi istilah beli kucing dalam karung.

“Misalnya kandidat turun ke masyarakat, menemui para pemilik hak pilih, melakukan diskusi dan tatap muka, berdialog yang punya feedback atau dua arah,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Palangka Raya, Endrawati SH MH mengimbau masyarakat agar tidak terpengaruh dengan serangan fajar pada hari pelaksanaan pemilu nanti. Ia menekankan, pemilihan harus didasarkan pada hati nurani dan penilaian pribadi, bukan karena pengaruh finansial yang dapat merusak demokrasi.

Endrawati menjelaskan, politik uang adalah tindakan yang sengaja pada saat pemungutan suara dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya seperti sembako kepada pemilih agar memilih calon tertentu. Politik uang atau dalam elektoral Indonesia sering disebut serangan fajar. Para kandidat atau tim sukses yang melakukan politik uang akan diancam dengan hukuman pidana, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Selain itu, sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 523 ayat 1, 2, dan 3, sanksi pidana diberikan kepada tiap orang, peserta, pelaksana, maupun tim kampanye yang memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan pada pemilih, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Dalam tiga fase, yakni masa kampanye, masa tenang, dan hari pemungutan suara itu, kalau ada yang menjanjikan dan memberikan materi berupa uang atau lainnya, sudah ada ancaman pidananya. Itu harus ditaati dan dipatuhi peserta pemilu. Fase masa kampanye, ancaman pidananya penjara maksimal 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta. Fase masa tenang, pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda paling banyak Rp48 juta. Lalu, fase hari pemungutan suara ialah penjara 3 tahun dan pidana paling banyak Rp36 juta,” ujarnya kepada Kalteng Pos, Senin (12/2).

Bawaslu Kota Palangka Raya telah menemukan beberapa calon legislatif (caleg) yang ingin melakukan pembagian sembako. Namun sebelum hal itu terjadi, pihaknya telah lebih dahulu mencegah. Endrawati mengatakan, terkadang peserta pemilu berdalih bahwa mereka tidak mengetahui peraturan tersebut. Padahal seharusnya memahami peraturan dan ketentuan saat masa kampanye, masa tenang, maupun hari pemungutan suara.

“Praktik politik uang itu kan dilakukan dengan cara pemberian uang atau sembako berupa beras, minyak goreng, dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suara untuk partai yang bersangkutan. Itu tidak diperbolehkan karena bisa dipidana,” tandasnya.

Di masa tenang ini, Endrawati mengingatkan peserta politik dan partai politik agar tidak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kampanye maupun menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebab, bagi yang memberi akan diancam pidana. Begitu juga terhadap tim pelaksana, tim kampanye, dan peserta pemilu sendiri. Sedangkan pada saat pilkada, sanksi bisa dikenakan bagi pemberi dan penerima.

“Kami imbau kepada masyarakat untuk tidak segan, malu, atau takut melaporkan tiap dugaan pelanggaran pemilu. Bawaslu membuka posko aduan di kantor Bawaslu Kota Palangka Raya, atau bisa juga melalui media sosial kami. Kami berkomitmen melakukan patroli pengawasan dan sosialisasi untuk mencegah praktik kotor pemilu seperti politik uang,” tegasnya.

Selain itu, segala bentuk kampanye dan penyebaran alat peraga kampanye (APK) dilarang selama masa tenang. Masyarakat juga diajak untuk berpartisipasi aktif dalam mengawasi, menolak, dan melaporkan praktik politik uang, guna memastikan pelaksanaan pemilu yang adil, jujur, demokratis, dan menghasilkan pemimpin berkualitas.

Pada momentum pesta demokrasi tahun ini, Endrawati menyebut ada puluhan tempat pemungutan suara (TPS) di Kota Palangka Raya yang akan mendapat atensi khusus pihaknya. Bawaslu telah menganalisis dan memetakan TPS yang masuk kategori rawan.

Di masa tenang ini, pihaknya telah mengintruksikan petugas untuk melakukan patroli pengawasam pada malam hari ke sejumlah TPS rawan yang yang tersebar di tiga kecamatan, yang berpotensi terjadi tindakan intimidasi, mobilisasi massa, serta penyalahgunaan wewenang.

“Ada lebih dari 40 TPS rawan di Kota Palangka Raya dan tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Sebangau, Pahandut, dan Jekan Raya. Itu yang menjadi atensi kami,” katanya.

Endrawati menyebut, pihaknya telah menerima laporan dari pengawas TPS dan pengawas kelurahan, bahwa ada potensi intimidasi atau ancaman yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pengawas. Karena itu, pada wilayah-wilayah tersebut akan diawasi lebih ketat agar tidak terjadi pelanggaran selama masa tenang maupun saat hari pemungutan suara.

“Ada 7 indikator rawan yang disampaikan oleh Bawaslu RI. Beberapa di antaranya dari sisi keamanan, yaitu memiliki riwayat kekerasan atau intimidasi pada pemilu sebelumnya. Lalu kampanye politik uang dan atau ujaran kebencian di sekitar TPS,” jelasnya.

Dengan adanya pemetaan tersebut, tentunya sejumlah upaya antisipasi akan diterapkan, seperti lebih meningkatkan upaya pengawasan untuk sebisa mungkin menghindari terjadinya kecurangan di TPS. Endrawati berharap saat proses pemungutan suara, seluruh pihak yang terlibat, baik itu KPPS, pengawas TPS, saksi, pihak kepolisian, dan lainnya harus saling berkoordinasi supaya seluruh tahapan, dari pemungutan hingga penghitungan surat suara dapat berjalan lancar dan aman, terutama pada sejumlah TPS yang dianggap rawan terjadi pelanggaran. (dan/ovi/ce/ala)

Exit mobile version