Site icon KaltengPos

Proyek Food Estate Menuai Sorotan

DOK.HUMAS UNTUK KALTENG POS PERTANIAN: Petani saat menggarap sawah di lokasi food estate di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau.

PALANGKA RAYA-Pemerintah pusat telah mencanangkan proyek food estate alias lumbung pangan sejak 2020 lalu. Sudah empat tahun berjalan, proyek ini menuai sorotan dari sejumlah pegiat lingkungan. Beberapa organisasi lingkungan menilai akibat adanya realisasi proyek ini, tujuan dari kemandirian pangan masyarakat justru sulit diwujudkan. Program srategis nasional yang berada di Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau (Pulpis), dan Gunung Mas (Gumas) ini juga disinyalir gagal menyejahterakan petani lokal. Hal ini dibahas dalam diseminasi dan diskusi laporan bertajuk Menyoal Food Estate dalam Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi Keluarga Petani di Kalteng, di Jalan AIS Nasution, Palangka Raya, Selasa (14/2/2023).

Food First Information and Action Network (FIAN) Indonesia bersama Walhi Kalteng, Borneo Institut, SP Mamut Menteng, dan AMAN telah melakukan penelitian di lokasi food estate Desa Tumbang Samui dan Desa Tumbang Oroi, Manuhing Raya, Sepang Kota, Kabupaten Gunung Mas, serta Desa Kalumpang dan Mantangai Hulu Kabupaten Kapuas.

Peneliti FIAN Indonesia Gusti Nur Asla Shabia mengatakan, berdasarkan pengamatan pihaknya, proyek food estate di Kalteng yang selama ini dilihat sebagai cara untuk mengatasi kemiskinan, tetapi orientasinya yang berdasarkan sudut pandang pemerintah selalu menginginkan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.

“Kami dari FIAN, Walhi, serta Borneo Institut punya perhatian besar terhadap masalah ini. Mengapa urusan penurunan kemiskinan dan pemenuhan pangan warga itu selalu diputuskan dengan solusi yang berbasis pasar,” kata Shabia saat memaparkan materinya dalam diskusi, kemarin.

Petani di Kalteng, kata Shabia, dipaksa meningkatkan produktivitas kerja berdasarkan tata cara yang tidak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat demi kepentingan ekonomi semata. Ia menjelaskan, ada banyak sekali studi yang memperlihatkan bahwa petani kecil (peladang) dalam konteks masyarakat Dayak memiliki cara tersendiri untuk meningkatkan produktivitas dan memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan tradisi budaya yang lebih efektif demi memenuhi kebutuhan pangan.

“Jadi cara memenuhi kebutuhan pangan ada secara rapi dan menjadi pengetahuan yang sesuai dengan konteks kebudayaan masyarakat. Harapan kami adalah kita bisa melihat dari suatu budaya masyarakat, bagaimana mereka memenuhi kebutuhan pangan sesuai budaya masing-masing,” jelasnya.

Shabia menjelaskan, diperlukan penjelasan yang komprehensif dan menyeluruh bahwa pemenuhan hak atas pangan tidak sama dengan hanya memperoleh makanan. Lebih luas dari itu, hak atas pangan saling kait-mengait dengan hak-hak lainnya, meliputi hak atas tanah, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas lingkungan yang sehat, dan seterusnya. Maka dari itu, melihat hak atas pangan hanya dengan mengasosiasikannya sama dengan memperoleh makanan saja, merupakan sudut pandang yang masih kurang.

Dalam hal pemenuhan kebutuhan terhadap pangan, masyarakat sebaiknya tidak diajak berpikir untuk mencari untung. Sudah seharusnya pemenuhan terhadap pangan ditujukan memang benar-benar demi memenuhi kemandirian pangan masing-masing keluarga. Apalagi bagi masyarakat Dayak yang mencari makanan dengan mengandalkan cara berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

“Masyarakat dalam hal ini para petani yang biasanya diajak berpikir korporatif, memakai perspektif perusahaan, seringnya tidak bisa mengatasi malnutrisi dan kelaparan, padahal Indonesia saat ini berjuang mati-matian untuk menurunkan angka stunting,” jelasnya.

Temuan dari laporan masyarakat dan observasi lapangan pihaknya selama meneliti proyek lumbung pangan, kata Shabi, ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas pangan dan gizi di proyek food estate Kalteng.

“Ada tiga hal yang kami perhatikan terkait proyek ini. Pertama, soal kedaulatan pangan dan penggunaan SDA, kami menemukan bahwa ada minimnya partisipasi bermakna, konfirmasi, dan kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah. Di lokasi food estate yang ditujukan untuk proyek tersebut, malah ada saling klaim antarwarga legalitas tanah yang digunakan untuk realisasi proyek itu,” bebernya.

Shabia juga menyoroti hak atas tanah yang mengabaikan sistem tenurial (konflik tumpang tindih lahan) di masyarakat. Juga tidak ada ganti rugi kepada warga yang lahannya sudah digunakan. “Ketika kami melakukan pengamatan di lokasi sekitar food estate, tidak sedikit warga yang mengaku memiliki tanah dengan berbagai alas hak, baik SHM, SKT, dan lain-lain,” bebernya.

Perlu ada pergeseran tujuan dari realisasi proyek ini. Bukan untuk pertumbuhan atau segala yang berembel-embel ekonomi, melainkan murni demi tujuan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.

Sejatinya, lanjut Shabia, masyarakat lokal memiliki cara tersendiri sesuai dengan tradisi pengetahuan turun-temurun dalam hal memenuhi kebutuhan pangan. Maka dari itu, pemerintah harus memandang bahwa dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dengan bertani. Sebaiknya disesuaikan dengan pengetahuan masyarakat lokal. Keberagaman cara memperoleh pangan menjadi sesuatu yang mutlak harus dihargai pemerintah.

“Pemerintah wajib menghargai, melindungi, dan mengakui keberagaman pangan dan sumber daya produktif untuk pemenuhan kebutuhan pangan sesuai konteks budaya masyarakat,” jelasnya.

Atas refleksi dari observasi pihaknya itu, Shabi mengatakan pemerintah sebagai pemegang kewajiban wajib menghargai, melindungi, memenuhi keberagaman pangan, dan sumber daya produktif untuk pemenuhan pangan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah perlu menghargai cara bertani sesuai hukum adat lokal melalui jalan pembuatan regulasi yang mendukung hal tersebut.

“Pemerintah daerah, baik provinsi maupun abupaten harus memberikan kepastian hukum dengan memperjelas definisi masyarakat hukum adat yang dimaksud dalam Perda Kalteng Nomor 1 Tahun 2020 dan Pergub Kalteng Nomor 4 Tahun 2021,” tuturnya.

Shabia menyebut perlu ada kebijakan tertulis yang memberikan rasa aman bagi petani untuk melakukan sistem pertanian tradisional, seperti pengakuan dan perlindungan terhadap sistem menyeha tana, membuka lahan dengan luasan tertentu untuk masyarakat dalam rangka pemenuhan pangan.

“Masyarakat butuh rasa aman untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai kearifan lokal, pemerintah perlu memberikan pengakuan atas hal itu, sehingga masyarakat dapat mewujudkan kemandirian pangan,” tandasnya.

Tak hanya itu, proyek lumbung pangan juga disinyalir mengabaikan regulasi dan konsitusi yang berlaku. Asisten Manajer Hak Atas Tanah Borneo Institut Andi Kristianto menyebut, food estate singkong seluas 30.000 hekatre (ha) tahun 2021 di Desa Tewai Baru telah dibuka sekitar kurang lebih 600 ha terlebih dahulu tanpa (kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).

“Hal ini sebelumnya didukung dengan dikeluarkannya PermenLHK Nomor P.24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate,” tuturnya.

Andi menilai dasar hukum realisasi proyek food estate ini juga kontradiktif. Realisasi proyek ini cenderung dipaksakan dengan cara melegitimasikan dua dasar hukum penggunaan kawasan hutan, yakni izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP).

Sejalan dengan hasil penelitian FIAN Indonesia, Andi juga menyoroti konflik tenurial akibat alih fungsi hutan. Alih fungsi hutan menyebabkan pengambilalihan lahan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat turun-temurun. Akibat dialihfungsikan, masyarakat setempat jadi kehilangan akses terhadap tanah, air, dan hutan.

“Masyarakat sekitar lahan food estate, terutama desa-desa di Kecamatan Sepang belum merasakan dampak nyata, tapi tempat mereka bergantung hidup justru sudah dibabat,” tuturnya.

Dalam forum yang sama, Manajer Keorganisasian, Pendidikan, dan Gender Walhi Kalteng Tri Oktafiani menyebut bahwa food estate merupakan sektor pangan yang dapat memperparah krisis iklim. Belajar dari pengalaman masa lalu, sudah beberapa kali pemerintah merealisasikan proyek food estate di Kalteng, tapi tak kunjung berhasil. Dampak terhadap penurunan ekosistem dari realisasi proyek ini juga tidak kecil.

“Sejak zaman Presiden Soeharto ditandai dengan adanya proyek pengembangan lahan gambut (PLG) seluas satu juta hektare, food estate Ketapang tahun 2013 seluas 100 juta hektare gagal juga, kemudian food estate Bulungan di tahun yang sama, MIFEE, dan rice estate, semuanya gagal. Pemerintah seakan tidak belajar dari masa lalu bahwa proyek food estate ini terus gagal diwujudkan,” jelasnya.

Ia menyebut, pihaknya telah menolak sejak awal rencana proyek ini. Penolakan ini dipertimbangkan atas dasar kurangnya landasan hukum yang kuat dan tidak adanya aturan spesifik. Proyek strategis nasional terkait pangan berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2020 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor: P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. “Dalam aturan itu, kawasan lindung bisa dimanfaatkan, dapat diterbitkan izin pemanfaatan kayu, lahan, tanpa tanda ada dokumen AMDAL pun, tetap bisa dikerjakan,” ucapnya.

Ia juga menilai penerapan kebijakan ini minim partisipasi publik serta meminggirkan pengetahuan lokal. Saat ini, lanjutnya, target intensifikasi juga tidak tercapai, sementara perluasan ke area gambut justru terus dilakukan.

Proyek food estate juga berdampak terhadap penurunan ekosistem lingkungan hidup. Wilayah pemulihan gambut justru diintervensi proyek. “Pembukaan lahan gambut berdampak pada penurunan fungsinya sebagai pengatur tata air,” ucapnya.

Menurunnya kawasan hutan dan tutupan hutan berdampak pada rusak dan lenyapnya habitat beragam spesies. Juga meningkatkan deforestasi dan pemanasan global hingga menyebabkan banjir di beberapa wilayah, termasuk di wilayah food estate. Selain berdampak pada penurunan ekosistem lingkungan hidup, pemaksaan sistem pertanian food estate IP 300, juga mengganggu pola pertanian dan berdampak pada penurunan produktivitas petani. “Proyek ini juga berujung pada perampasan lahan dan konflik tenurial,” imbuhnya.

Mewakili Walhi, Ani meminta agar pemerintah yang berwenang menghentikan proyek dan memulihkan lingkungan hidup yang telah rusak, baik lahan gambut maupun kawasan hutan di Gunung Mas.

Di tempat yang sama, Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan (DTPHP) Kalteng Baini mengklarifikasi bahwa DTPHP Kalteng hanya menangani food estate yang berada di Kapuas dan Pulang Pisau.

Baini menjelaskan latar belakang direalisasikannya proyek food estate itu. Dijelaskannya, pemerintah telah mempertimbangkan bahwa negara di dunia telah mengalami gejolak luar biasa akibat pandemi Covid-19. Pemerintah memikirkan bagaimana agar masyarakat Indonesia tidak kelaparan. Atas pertimbangan itulah kemudian pemerintah mencetuskan program food estate.

Adapun di Kalteng, lahan yang digunakan untuk program food estate merupakan lahan bekas proyek PLG. Satu juta hektare lahan bekas PLG berada di Kapuas, Pulang Pisau, Palangka Raya, dan Barsel.

“Pada 2020 lalu lahan food estate mulai dibuka 30 ribu hektare, 20 ribu hektare pertama di Kapuas dan 10 ribu hektare di Pulang Pisau, target sebenarnya adalah 165 ribu hektare,” bebernya.

Baini menegaskan bahwa pihaknya hanya memanfaatkan lahan yang sudah tersedia, bukan sistem tebas tebang seperti halnya pada proyek food estate di Gumas. Pihaknya tidak membuka lahan baru, melainkan memanfaatkan lahan yang sudah tersedia bekas proyek PLG puluhan tahun lalu.

“Jadi kami hanya mengoptimalkan lahan yang ada, intensifikasi namanya, juga ada ekstensifikasinya tapi di lahan yang sudah jadi semak belukar, sehingga sampai sekarang sekitar 70 ribu sekian hektare sudah digarap,” jelasnya.

Baini menambahkan, tujuan direalisasikannya intensifikasi maupun ekstensifikasi tak lain untuk program ketahanan pangan. Program ini dijalankan demi mengendalikan laju inflasi di Kalteng.

“Lewat program ketahanan pangan ini menjadi langkah pemerintah untuk mengatasi inflasi di Kalteng,” tuturnya.

Di lahan food estate, Baini menyebut pihaknya tidak hanya mengembangkan padi, tetapi juga tanaman hortikultura dan peternakan.

Menanggapi terkait polemik realisasi proyek food estate ini, dalam forum yang sama, Ketua Komisi II DPRD Kalteng Achmad Rasyid mengatakan bahwa proyek food estate di Pulang Pisau, Kapuas, maupun Gunung Mas merupakan proyek pusat, yang mana pemerintah provinsi dan kabupaten setempat tidak banyak dilibatkan.

Rasyid menyebut pihaknya telah melakukan tinjauan lapangan di lahan food estate, baik di Kapuas dan Pulang Pisau, maupun food estate singkong di Gunung Mas seluas 30 ribu hektare. Dari tinjauan terakhir, sudah digarap seluas 626 hektare.

“Perlu diketahui bahwa penggarapan lahan di lokasi food estate sawah seluas 636 hektare didanai oleh Dinas PUPR Kalteng, bukan Kementerian PUPR. Karena payung hukumnya tidak jelas juga, sampai saat ini Kemenkeu tidak mengucurkan dana, maka pekerjaan mereka sementara dihentikan,” paparnya.

Rasyid menyebut di sana ada sedikit tanaman singkong yang pohonnya hanya sebesar jari telunjuk tangan. “Itu yang di bawah, tapi yang di atasnya subur,” tambahnya.

Singkong-singkong itu ditanam oleh para kontraktor menggunakan biaya sendiri. Hal itu dilakukan agar gulma tidak berkembang. Selain itu juga ada keinginan dari pemborong, karena jika sudah ditanam, maka bisa dijadikan lagi sebagai bibit.

“Di sana kami juga melakukan inventarisasi. Ada 2.000 hektare lahan warga, tetapi sampai saat ini belum disentuh, karena ada kesepakatan dengan pemerintah,” sebutnya.

Berpindah ke lokasi food estate di Kapuas, Rasyid menyebut pihaknya sudah berkali-kali meninjau lokasi itu bersama dinas terkait. Dari sekian ribu hektare lahan food estate, hanya lima ribu lahan yang belum produksi. “Itu pun lahan yang digarap adalah lahan eks PLG, karena itu yang diperbaiki pemerintah itu saluran tersier, sekunder, jalan, serta infrastruktur lainnya,” jelasnya.

Sebagai bentuk kepedulian pihaknya selaku lembaga wakil rakyat, Rasyid menyebut saat ini DPRD Kalteng sedang melakukan rancangan peraturan daerah yang berkaitan langsung dengan program food estate, yakni peraturan daerah (perda) tentang perlindungan petani, nelayan, dan pembudi daya ikan. “Peraturan daerah ini masih kami godok,” bebernya. Rancangan perda kedua terkait perlindungan lahan dan pangan yang berkelanjutan. Sejauh ini masih dalam tahap kajian dan terus digodok pihaknya. “Jadi ada banyak raperda yang sekarang kami proses saat ini,” tandasnya. (dan/ce/ala)

Exit mobile version