PALANGKA RAYA-Keran ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya sudah dibuka kembali sejak akhir Mei lalu. Kabar ini sejatinya menjadi angin segar bagi para petani kelapa sawit, karena harga jual tanda buah segar (TBS) bisa normal lagi. Namun kenyataannya, harga jual TBS tak kunjung naik. Justru terus anjlok.
Melihat kondisi harga jual TBS yang kian merosot, sekelompok petani sawit pun melakukan aksi turun ke jalan. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalteng itu menggelar aksi bakar TBS di Jalan G Obos, Palangka Raya, Selasa (14/6). Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut agar harga jual TBS dinormalkan kembali.
Koordinator Bidang Organisasi dan Keanggotaan DPW Apkasindo Kalteng Gusto Adrianus menjelaskan, aksi yang dilakukan sejumlah petani itu untuk menyatakan keprihatinan mereka sebagai petani kelapa sawit terkait harga TBS saat ini yang sangat murah.
“Hari ini (kemarin, red) secara simbolis kami bakar TBS, karena tidak bisa dijual. Kalaupun bisa dijual, maka petani harus menjual rugi dengan harga yang sangat rendah di seluruh Indonesia,” tegasnya.
Sejak dibukanya keran ekspor oleh pemerintah pusat, kata Gusto, harga TBS malah turun drastis. Usut punya usut, lanjutnya, dengan dibukanya keran ekspor dan berbagai aturan tambahannya, dibebankan ke harga TBS.
“Akhirnya kena lagi kami sebagai petani sawit ini. Karena itu kami (petani sawit) di seluruh Indonesia mengadakan aksi membakar TBS untuk dijadikan kompos,” tegas Gusto sembari menyebut aksi bakar TBS tersebut cukup beralasan, karena harga pupuk juga naik 300 persen, sehingga membuat para petani sawit tercekik.
Sebelumnya pihaknya pernah meminta Presiden Joko Widodo untuk membuka kembali keran ekspor CPO dan turunannya melalui aksi yang digelar di Jakarta beberapa waktu lalu. Dalam waktu dua hari, presiden mengabulkan. Hal itu menjadi kegembiraan bagi semua petani sawit di Indonesia, dengan harapan harga TBS naik lagi. Namun harapan itu pupus, karena nyatanya harga justru terus anjlok.
“Kami juga berharap dengan dibukanya kembali keran ekspor, maka kebutuhan minyak goreng nasional bisa dipenuhi, itulah harapan kami kepada Presiden Joko Widodo,” tegasnya.
Bersama 22 DPW Apkasindo se-Indonesia menggelar aksi serentak untuk menyampaikan tuntutan agar pemerintah dapat memberi perhatian kepada para petani sawit.
“Kalau ada jajaran menteri sekalipun yang tidak bekerja sesuai dengan harapan masyarakat, segera dicopot dan digantikan, agar persoalan bisa cepat selesai, sehingga penderitaan masyarakat khusunya petani sawit segera berakhir,” harapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPW Apkasindo Kalteng Hatir Sata Tarigan menjelaskan bahwa kondisi yang dialami para petani sawit Indonesia merupakan suatu ironi. Di saat harga CPO menjulang tinggi, para petani sawit justru masih berteriak menyuarakan kesejahteraan.
“Tetapi pada hari ini (kemarin), saat di Malaysia harga TBS per kilogram mencapai Rp5.300, di Indonesia justru hanya Rp1.800, ini sungguh menyedihkan,” tegas Hatir.
Ketika masyarakat harusnya mencapai kesejahteraan, justru yang dialami adalah penderitaan karena anjloknya harga jual TBS.
“Kami menilai pemerintah salah membuat kebijakan. Harga TBS sekarang Rp1.800, bahkan ada yang dibeli dengan harga Rp900 saja,” ujarnya.
Sebelum keran ekspor dibuka, harga TBS mencapai Rp3.500. Bahkan ada yang mencapai Rp4.000. Begitu dibuka kembali, harga langsung turun menjadi Rp2.000.
“Petani kita yang ada di Kalteng berjumlah ratusan ribu orang. Kalau seluruh Indonesia ada sekitar 16-18 juta orang yang menggantungkan hidupnya sebagai petani sawit,” lanjutnya.
Jika kondisi ini tidak diindahkan oleh pemerintah pusat, pihaknya akan menunggu instruksi dari pengurus pusat untuk menyampaikan langsung persoalan ini ke Kementerian Perdagangan.
“Mengapa di saat harga dunia merangkak naik, tapi harga TBS di sini malah merosot. Ini sungguh tidak adil dan tidak berpihak pada masyarakat kecil, khususnya para petani sawit,” tutupnya. (nue/ce/ala/ko)