PALANGKA RAYA-Penyaluran distribusi elpiji di Kalteng masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Pasalnya, tidak sedikit masyarakat yang dipaksa membeli elpiji subsidi dengan harga tak wajar alias tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET). Alur pendistribusian harus menjadi perhatian serius. Oknum yang sengaja bermain dan merusak alur pendistribusia juga harus ditindak tegas.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Provinsi Kalteng Aster Bonawaty mengatakan, pihaknya terus menjalankan tugas pengawasan lapangan secara berkala dengan mengawasi agen-agen dan pangkalan penjualan elpiji di Bumi Tambun Bungai ini. Sejauh ini pihaknya terus melakukan upaya jangka menengah melalui pemantauan rutin terhadap penjualan elpiji kepada masyarakat.
“Selain itu kami juga aktif melakukan sosialisasi kepada para penjual agar menjualnya dengan harga sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar Aster kepada Kalteng Pos, Senin (17/4).
Sebagai upaya jangka pendek, pihaknya berkoordinasi dengan Pertamina untuk merapikan alur distribusi elpiji subsidi. Problem yang dihadapi selama ini yakni para konsumen membeli elpiji subsidi dalam jumlah besar untuk kemudian dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
“Ini masalah yang terus kita hadapi ya, padahal kan dalam alur distribusi, konsumen merupakan pihak yang terakhir, penjualan hanya sampai di situ, yang punya kewenangan untuk mengatur alur distribusi itu kan Pertamina, kami terus bersama-sama memantau, kalau misalnya di suatu daerah kuota elpiji subsidinya kurang, mereka yang bisa memfasilitasi untuk penambahan kuota berdasarkan usulan pemerintah kabupaten/kota,” jelasnya.
Untuk menyelesaikan persoalan tingginya harga jual elpiji subsidi di tengah masyarakat, perlu ada upaya penegakan hukum atas regulasi yang telah ditetapkan. Karena itu disdagperin turun lapangan bersama kepolisian dan dinas ESDM untuk menyelesaikan kasus kebocoran alur distribusi elpiji subsidi.
“Kami sama-sama turun lapangan, kalau terkait penindakan ke mereka yang melanggar, kami tidak punya kewenangan meski kami punya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), tapi tetap harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian,” tuturnya.
Tidak bisa dimungkiri, penegakan hukum terhadap oknum-oknum nakal yang menjual elpiji subsidi di atas HET memerlukan ketegasan. Bukan hanya dengan upaya persuasif seperti teguran dan pembinaan. Tantangan yang dihadapi selama ini dalam upaya penindakan adalah kurangnya alat bukti.
“Ke depan kami tentu akan menindak tegas oknum-oknum nakal yang merusak alur distribusi dan menjual elpiji subsidi di atas HET, tapi kunci dari tindakan itu adalah alat bukti, kami akan kesulitan menindak kalau tidak punya cukup alat bukti, karena itu kami bekerja sama dengan kepolisian melalui intelkam,” jelasnya.
Aster mengaku selama ini pihaknya belum pernah melakukan penindakan hukum atas oknum-oknum yang sesuka hati mematok harga elpiji subsidi jauh melebihi HET. “Sejauh ini kami hanya memberi peringatan, kalau penindakan belum ada, kami lakukan pembinaan dahulu, kalau oknum yang melanggar itu-itu saja, kami akan tindak tegas, tapi sejauh ini belum ada,” ucapnya.
Lebih lanjut dikatakannya, perlu bukti autentik untuk menindak tegas pihak-pihak yang menaikkan harga jual elpiji. Aster menjelaskan, jika ada konsumen yang kedapatan membeli elpiji dalam jumlah besar, maka pihaknya akan memberi pembinaan terhadap yang bersangkutan.
“Kami beri pembinaan untuk konsumen yang beli elpiji dalam jumlah besar itu, kami akan cari tahu informasi, lalu kami akan beri larangan untuk berjualan,” ujarnya. Konsumen yang ketahuan membeli elpiji tiga kilogram dalam jumlah besar untuk dijual kembali secara eceran, apalagi di luar domisili konsumen, tentu akan ditindak tegas.
“Kalau terbukti pelanggaran, di situlah kami bisa menindak, kalau masih belum terbukti atau masih sebatas kecurigaan, kami akan memberikan rambu-rambu kepada konsumen bersangkutan, karena hak menjual kan hanya dari pangkalan, kalau ada bukti kami bisa lakukan tindakan, misalnya dengan mencabut izin usaha pangkalan,” bebernya.
Aster membeberkan, hingga saat ini belum ada pangkalan yang izinnya dicabut karena ketahuan melakukan pelanggaran tersebut. “Menurut informasi sih belum ada ya, mungkin karena pihak Pertamina sendiri tengah mengumpulkan bukti dan berbagai keterangan,” tutupnya.
Sementara itu, berdasarkan pantauan Kalteng Pos di beberapa warung di Jalan G Obos XII, elpiji subsidi dijual seharga Rp35 ribu. Elpiji ukuran tiga kilogram itu dipasok oleh pelangsir (penyalur ilegal) yang mengambil dari pangkalan. “Biasanya sekali antar bisa mencapai 50 tabung dan paling sedikit 10 tabung saja,”ujar Tati, penjual elpiji subsidi. “Saya paling mengambil untung seribu dua ribu saja,” tambahnya.
Ardi, pemilik salah satu warung di Jalan G Obos Induk mengaku menjual elpiji subsidi seharga Rp35 ribu per tabung. Namun harga jual bisa saja berubah sewaktu-waktu. Ardi mengaku mendapat jatah elpiji dari pangkalan sebanyak 10 tabung dengan harga beli Rp28 ribu per tabung. “Tidak hanya dari pangkalan, ada juga yang didapat dari pelangsir,” ungkapnya.
Mahalnya harga elpiji subsidi dikeluhkan oleh masyarakat selaku konsumen. Nur Khasanah salah satunya. Elpiji subsidi yang dibeli seharga Rp38 ribu/tabung cukup memberatkan baginya yang notabene hidup di kos-kosan. Beberapa bulan lalu, mahasiswa ini pernah membeli elpiji dengan harga Rp32 ribu per tabung. Namun kini ia harus mengelurkan uang Rp38 ribu untuk menukar satu tabung gas elpiji subsidi.
Mahasiswa semester enam itu sering membeli elpiji di salah satu agen yang tak jauh dari kosnya. Namun tak jarang juga ia kesulitan menukar gas elpiji saat stok elpiji di agen langganannya itu habis. ”Saya berharap pemerintah bisa menstabilkan harga elpiji subsidi, biar tidak memberatkan masyarakat kecil seperti kami,” ungkapnya. (dan/*mut/*ham/*wls/ce/ala)