Site icon KaltengPos

16 Unit Hutan Adat Telah Ditetapkan, Konflik Lahan Masih Terjadi, Kenapa?

PALANGKA RAYA–Provinsi Kalimantan Tengah dikenal sebagai salah satu wilayah dengan cakupan hutan terluas di Indonesia.

Berdasarkan Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan terbaru, luas kawasan hutan di Bumi Tambun Bunga ini mencapai 11.931.843 hektar atau sekitar 77,6% dari total luas daratan provinsi. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Kalteng, Agustan Saining, S.Hut., M.Si, Jumat (14/3/2025).

 

Dirinya juga merinci, luas tersebut terdiri atas hutan konservasi 1.625.181 hektar, hutan lindung 1.351.172 hektar, hutan produksi terbatas 3.278.449 hektar, hutan produksi tetap 3.777.090 hektare, dan hutan produksi konversi 1.899.951 hektar.

 

Disisi lain, jumlah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang dahulu dikenal sebagai HPH, saat ini tercatat sebanyak 111 unit dengan luas 5.441.171,75 hektar, terdiri dari 57 unit PBPH-Hutan Alam (HPH), 38 PBPH-Hutan Tanaman (HTI), 15 unit PBPH-Restorasi Ekosistem, dan 1 unit izin usaha penyimpanan dan penyerapan karbon.

 

Di samping itu juga, terdapat seluas 467.741 hektar yang telah diberikan akses legal pengelolaan kepada masyarakat dalam bentuk perhutanan sosial sebanyak 294 Unit dengan jumlah anggota 39.074 KK, terdiri dari hutan desa 84 unit seluas 190.271 hektar, hutan tanaman rakyat (HTR) 52 unit seluas 58.771 hektar, hutan kemasyarakatan (HKm) 141 unit seluas 149.877 hektar, hutan adat 16 unit seluas 68.426 hektar, dan kemitraan kehutanan 1 Unit seluas 396 hektar.

 

Sementara itu, mengenai kehidupan masyarakat yang memiliki hutan adat, dirinya menjelaskan bahwa menurut terminologi kehutanan, hutan adat adalah  hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Sedangkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaanya dikukuhkan dengan peraturan daerah.

 

“Status Hutan adat ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan permohonan pemangku adat yang dilengkapi syarat adanya pengukuhan MHA oleh Gubernur/Bupati/Walikota melalui Perda/pergub/Perbup/perwalikota.  Saat ini terdapat 16 Unit hutan adat yang telah memperoleh penetapan Menteri Kehutanan dengan luas 68.426 hektar, dan hingga saat ini tetap melaksanakan kegiatan tradisionalnya seperti panen rotan, berkebun karet dan lain-lain,” katanya.

 

Kendati demikian, pada prinsipnya dalam mengelola hutan adat sebagaimana halnya pengelolaan hutan yang lazim sesuai ketentuan yang berlaku dikehutanan.

 

Ia menambahkan, hutan adat tidak perlu sertifikat, sebab dari aspek legal melalui penetapan SK Menteri Kehutanan sudah dilengkapi peta wilayah yang jelas menggambarkan posisi dan batas-batas arealnya.

Sedangkan terkait pegelolaan selanjutnya MHA selaku pengelola hutan adat melakukan penandaan batas bersama apabila beririsan dengan perusahaan dan MHA telah melakukan kegiatan sosialisai, penyusunan rencana kelola, persiapan penandaan batas serta menyusun peraturan MHA dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.

 

Oleh karenanya, Dinas Kehutanan selaku perangkat daerah provinsi yang menangani kehutanan sesuai kewenangan, sangat memberikan perhatian terhadap keberadaan hutan adat.

Contohnya, melalui fasilitasi untuk proses penyiapan persetujuan hutan adat oleh Menteri Kehutanan maupun fasilitasi dalam hal pengembangan hutan adat melalui pendampingan penyuluh kehutanan dan pembinaan teknis oleh UPT KPH di Tingkat tapak.

 

“Saya kira dengan adanya legalitas SK Hutan adat akan mengurangi peluang okupasi pihak lain dan kami senantiasa melakukan pemantauan bersama-sama dengan UPT KPH maupun UPT Kementerian Kehutanan di Kalteng,” tandasnya.

 

Sementara itu, Isu perampasan hak masyarakat adat dari waktu ke waktu terus menjadi perbincangan di kalangan pejuang masyarakat. Boleh dikatakan, masyarakat adat sebagai salah satu pelindung alam dan penetral dari hausnya sifat manusia terhadap kekayaan alam.

 

Keringat yang mengalir, untuk perolehan hak masyarakat adat nusantara masih samar kabar masa depannya. Namun, para wakil masyarakat adat yang tergabung dalam komunitas atau kelompok teguh.

Dalam memperjuangkan suara mereka demi pemerataan hak setiap masyarakat contohnya ialah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kalteng.

 

AMAN Kalteng mulai berdiri sekitar tahun 1999 sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) terdiri dari perwakilan masyarakat adat berbagai pelosok nusantara. Berangkat dari keresahan terus dirasakan selama bertahun-tahun akan isu yang tak berkesudahan mulai dari perampasan wilayah, isu kriminalitas, budaya, ekonomi, hingga sosial.

 

Kepala Biro Advokasi Kampanye dan Publikasi AMAN Kalteng, Wanda Franata, mengatakan bahwa sampai dengan saat ini kasus adanya pencaplokan tanah masyarakat adat oleh perusahaan masih terjadi. Disampaikan saat wawancara di Rumah AMAN Kalteng, Jalan Beliang.

“Konflik lahan di Lamandau tahun 2023 tentang pencaplokan lahan dari PT. Sawit Mandiri Lestari masuk wilayah Adat Laman Kinipan,”ucapnya, Sabtu (15/3/2025).

 

Pencaplokan tanah yang dianggap masyarakat telah memasuki kawasan milik masyarakat Adat Kinipan belum menemui jalan keluar jelas. Keterlibatan pemerintah daerah dengan perusahaan dengan alasan penanaman investasi ini jadi dalih kuat untuk kemajuan daerah.

 

Wanda mengatakan untuk wilayah yang diambil itu setidaknya mencapai kurang lebih 10.000 hektare. Miris, saat Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan menyuarakan tentang hal itu, dirinya justru mendapat aduan tindak pidana yang dilaporkan oleh pihak perusahaan atas tuduhan menggiring masyarakat untuk menolak program plasma yang di adakan perusahaan.

 

Ia menyampaikan dari sekian banyak wilayah masyarakat adat, yang mendapat pengakuan di Kalteng baru kabupaten Gunung Mas sebanyak 14 wilayah lingkup desa. “Alasan kenapa pemetaan wilayah untuk masyarakat adat ini perlu ya agar keberadaan mereka diakui, bahwa mereka juga sama dengan masyarakat lain atas hak pengakuan,” tuturnya.

 

Tidak ada masyarakat yang hendak bersitegang dan berjibaku dengan pihak lain, terutama masyarakat adat nusantara justru mengharapkan kedamaian dan kerukunan antar masyarakat dan pihak lain dapat hidup berdampingan dan tentram.

Sejalan dengan kerukunan, Ketua Umum Adat Dayak Ot Danum, Guntur Talajan juga menggaungkan kedamaian antar warga khususnya Masyarakat Adat Dayak.

 

Baru-baru ini masih hangat tentang unjuk rasa oleh masyarakat adat dayak menolak terbentuknya ormas bernama Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya di Kalteng. Masyarakat adat dayak yang tergabung dalam ormas dayak menilai bahwa mereka cukup dengan ormas yang ada.

 

Selain itu, keberadaan GRIB juga di beberapa daerah juga ditolak karena berbenturan dengan organisasi lain. Ormas dayak di Kalteng mengatakan daripada mengesahkan pembentukan ormas baru, lebih baik ormas yang sudah terbentuk dikelola dan dibenahi untuk kemajuan masyarakat.

 

Sebagai Ketua Adat Dayak Ot Danum, Guntur menyampaikan pendapatnya bahwa ia bersama masyarakat Ot Danum itu bukan ormas tetapi kerukunan masyarakat. Hanya kedamaian dan ketentraman yang mereka harapkan diantara masyarakat dayak.

 

“Berpegang teguh falsafah Kalteng, di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung,”terangnya saat wawancara online via whatsapp.

 

Persoalan tentang benturan antar ormas ini kerap diperdebatkan, Guntur mengungkapkan selama untuk kesatuan dan kesejahteraan itu dianggap sah saja. Akan tetapi, keributan yang terjadi ini perlu disikapi dengan bijak dan tenang untuk kerukunan.

 

“Beberapa kali saya pernah diundang untuk mendamaikan beberapa ormas yang saling berbenturan, hal semacam ini kita selesaikan dengan duduk di satu meja dan posisi kepala dingin,”ungkapnya.

 

Ia menambahkan keterlibatan kerukunan Adat Dayak Ot Danum beberapa tahun silam, seperti tragedi 2001 di Sampit. Ia menyaksikan dalam proses perdamaiannya masih tersimpan dalam satu dokumen catatan dan buku sebagai bukti perdamaian Masyarakat Adat Dayak. Kearsipan ini juga masuk dalam sejarah perdamaian kalteng.

 

Di tarik ke tahun belakang lagi ada perdamaian Tumbang Anoi tahun 1894, perhimpunan dari utusan kelompok Masyarakat Adat Dayak sebanyak 400 kelompok dalam rangka perintisan persatuan dan pembaharuan meliputi keamanan, sosial, budaya, politik dan ekonomi.

 

“Masih di temukan perselisihan yang berkenaan dengan masyarakat adat dayak. Tetapi, kita semua menyadari bahwa akar dari perseteruan ini dikarenakan kesalahfahaman terhadap cara pandang,”jelasnya.

 

Untuk itu, Guntur menekankan pentingnya memahami arti kerukunan adat masyarakat guna terciptanya lingkungan, wilayah, desa yang aman, damai, dan sejahtera terbebas dari belenggu pihak yang memanfaatkan situasi panas antar masyarakat adat. (ovi/*afa/ala)

Exit mobile version