Reny D Arista merupakan salah satu peserta Kelas Foto Borneo (KFB) yang memiliki minat tinggi terhadap dunia fotografi. Perempuan berlatar belakang pendidikan pertanian itu mencoba mengabadikan gambar salah satu petani karet di Kalteng. Lewat lensa kamera, ia ingin menyampaikan bahwa ada seabrek persoalan dan aspirasi yang dialami penyadap karet di Bumi Tambun Bungai.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
PENERANGAN malam di salah satu cafe Jalan Seth Adji, Palangka Raya, Minggu (13/8) lalu, lumayan temaram. Namun, di dalam cafe itu suasana nampak riuh. Puluhan orang asyik menyaksikan presentasi tugas akhir dari enam orang peserta Kelas Foto Borneo (KFB) angkatan ke-6. Ada peserta, juri, dan penonton. Saling berinteraksi. Tanya jawab dan saling tanggap menggema ke seluruh penjuru ruangan. Diselingi tawa para juri yang mencoba mencairkan suasana.
Lima pasfoto berukuran 16R dan satu lagi berukuran 20R memikat saya (penulis, red) untuk melihat lebih dekat. Pada pasfoto itu ada macam-macam gambar plus deskripsi. Semuanya merupakan karya-karya tugas akhir siswa KFB angkatan ke-7. Karya-karya itu terbingkai tema Profesi yang Hampir Lekang oleh Zaman.
Ada enam lembar foto. Dari seorang pengemudi kapal lintas daerah, kolektor musik piringan hitam, wanita penyadap karet, pemuda perajin mandau, perajin sedotan ramah lingkungan, hingga sejarawan yang mengetahui seluk-beluk rumah ibadah secara turun-temurun.
Mata saya tertuju pada karya foto yang menampilkan seorang wanita setengah abad lebih. Di sebelah kanannya ada pohon karet. Wanita itu memegang benda berwarna putih di dalam batok kelapa, yang tak lain merupakan getah karet. Ia duduk bersila. Wajahnya tampak tersenyum. Kepalanya ditutupi sandung dari kain yang diikat. Membawa lanjung. Mengenakan baju merah bertuliskan make it happen.
Sekali lihat, saya langsung tahu maksud si pemotret. Bahwa ada penyadap karet di Bumi Tambun Bungai yang tengah menggantungkan harapan pada usaha itu. Namun persoalan yang berkembang dewasa ini membuat penyadap karet lesu penghasilan. Dampak rendahnya harga karet. Bahkan tak sedikit yang menjadi pekebun sawit. Tak heran jika profesi penyadap karet mulai ditinggalkan, karena dinilai kurang menjanjikan.
Dalam deskripsi gambar, diterangkan bahwa wanita setengah abad lebih itu bernama Sriwati (58). Ia merupakan salah satu dari sedikit orang yang masih bertahan menjadi penyadap karet di Desa Bahu Palawa, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau. Butuh waktu kurang lebih 1,5 jam perjalanan dari Kota Palangka Raya menuju desa itu.
Sebenarnya sejak muda Sriwati sudah menyadap karet, karena merupakan kegiatan berkebun pada masa itu di kampung halamannya. Namun seiring waktu, ibu berpindah tempat kerja sehingga meninggalkan perkebunan karet. Ketika memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan sebelumnya, Sriwati kembali lagi ke Desa Bahu Palawa.
“Awalnya menyadap karet bukan pekerjaan utama, beliau fokus bekerja dengan orang yang menambang emas, tapi pekerjaan tersebut sangatlah berat, karena harus mengangkat pasir dan batu,” kata sang fotografer, Reny D Arista, ketika mempresentasikan karyanya di hadapan empat juri.
Akhirnya, lanjut wanita berusia 28 tahun itu, Sriwati memutuskan menjadi penyadap karet, karena pekerjaan itu tidak menguras banyak tenaga. Waktu kerjanya pun lebih fleksibel. Meskipun terkena dampak pandemi dan harga karet yang tak kunjung naik, Sriwati tetap bertahan dengan pekerjaan itu. Padahal di usia senjanya itu, Sriwati seharusnya menikmati waktunya bersama anak dan cucu.
“Perpaduan latar belakang pendidikan saya di bidang pertanian, lalu saya dikasih tugas akhir profesi yang melawan zaman, saya langsung mikir penyadap karet. Sebelumnya saya mikir, apa sih yang sedang turun di Kalteng? Ya, mereka, penyadap karet kita,” kata wanita yang merupakan sarjana agribisnis jebolan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) itu di sela-sela kegiatan.
Awalnya Reni mengaku cukup kesulitan mencari penyadap karet yang dekat dengan Kota Palangka Raya. Namun setelah melakukan pencarian demi pencarian, dibantu juga rekan-rekan KFB, akhirnya ia menemukan Sriwati.
Reny menjelaskan mengenai keprihatinan sang penyadap karet tersebut. Dikatakannya, penghasilan yang didapatkan Sriwati tidak banyak. Bahkan, terkadang dalam satu minggu, penyadap karet wanita itu tidak mendapatkan hasil sama sekali.
“Ibu (Sriwati, red) rata-rata dalam satu minggu dapat 35 kg karet, keuntungan dari itu dibagi tiga banding dua dengan pemilik kebun. Dua untuk pemilik kebun, tiga untuk dia, berapa pun hasil yang didapat,” kata wanita lulusan magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang.
Dalam seminggu, lanjut Reny, penyadap hanya mendapatkan untung sekitar Rp65 ribu hingga Rp85 ribu. Sebelum dipotong dengan bagian pemilik kebun sekitar Rp300-an ribu.
“Saya juga riset ke berbagai artikel. Kemarin waktu sawit (harga, red) turun gila-gilaan, pemerintah berupaya menstabilkan harga. Sementara untuk karet, hampir sepuluh tahun ini harganya tidak mengalami peningkatan signifikan,” ungkapnya.
Menurut wanita yang bekerja sebagai karyawan swasta itu, pemerintah perlu membuat kebijakan agar harga karet bisa naik kembali, sehingga dapat mendongkrak ekonomi masyarakat lapisan bawah yang menggantungkan harapan hidup dari usaha itu.
Salah satu pengajar di KFB, Deny Krisbiantoro menjelaskan, KFB sudah berdiri sejak 2018. Hingga saat ini KFB sudah meluluskan enam angkatan dengan lebih dari 50 orang. Meski demikian, yang memang menggeluti profesi dari lulusan KFB, tak sampai setengah dari total lulusan seluruh angkatan.
Menurut Deny, tiap tahun pihaknya menargetkan satu angkatan. Seperti diketahui, pembelajaran fotografi terkadang agak molor, karena yang mengikuti kelas dari berbagai latar belakang.
“Kami juga berusaha untuk memaksimalkan pelatihan dengan memadatkan waktu. Namun mempertimbangkan kesibukan peserta, maka lebih baik kami maksimalkan satu tahun untuk satu angkatan,” ujarnya.
Pegiat fotografi itu menjelaskan, para peserta yang mengikuti KFB memiliki berbagai motivasi dan tujuan. Ada yang ikut demi menunjang profesi. Ada yang sekadar tertarik dan ingin tahu. Namun ada pula untuk modal bekerja.
“KFB dibentuk dengan tujuan menjadi wadah berbagi pengetahuan yang dibuat secara terstruktur, khususnya terkait seni fotografi, sehingga secara keilmuan pun bisa dipertanggungjawabkan,” tandasnya. (*/ce/ala)