Site icon KaltengPos

Gereja Imanuel GKE Mandomai, Pusat Penyebaran Kristen di Kalimantan 

KUALA KAPUAS-Gereja Imanuel GKE Mandomai merupakan gereja tertua di Bumi Tambun Bungai. Sudah lebih dari satu abad gereja ini eksis. Titik awal penyebaran agama Kristen di Kalteng pun dimulai dari tempat itu. Lahir 69 tahun sebelum kemerdekaan, memiliki konstruksi yang unik, dan menyimpan berbagai benda warisan kekristenan sejak prakemerdekaan, menjadikan gereja tersebut masuk dalam warisan budaya pada kategori rumah ibadah.

Gereja Imanuel persis menghadap Sungai Kapuas. Beberapa meter dari Pelabuhan Mandomai. Berada di Desa Saka Mangkahai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas. Bangunan tersebut berdiri ditopang oleh fondasi kayu ulin. Tingginya dari permukaan tanah sekitar lutut orang dewasa. Seluruh struktur bangunan terbuat dari kayu. Tampak sederhana. Gereja Imanuel menyajikan bentuk yang berbeda dari gereja-gereja masa kini.

Nama Gereja Imanuel yang ditulis dalam bahasa Jerman dapat terlihat di gerbang masuk. Namun gerbang itu sudah tidak digunakan lagi saat ini. Sekilas dipandang, orang mungkin akan mengira bangunan tersebut bukanlah gereja. Sebab, konstruksi yang ditampilkan tidak seperti bangunan gereja umumnya.

Namun ketika diamati lebih dekat, akan tampak jelas ciri khas bangunan gereja. Ada simbol salib di bagian atas bangunan. Nama Gereja Imanuel GKE Mandomai yang tertulis dalam bahasa jerman juga terlihat di balkon bagian depan gereja, berlatar papan putih, persis menghadap arah masuk bangunan gereja.

Sebagian besar bangunan berupa dinding diwarnai cat biru muda. Dinding kayu terbuat dari kayu jenis medang baru. Disusun melintang sebagai tembok bagi bangunan tua tersebut. Cat putih menjadi warna bagi jendela dan railing yang terbuat dari kayu ulin. Tiang-tiang penyangga bangunan diberi warna merah tua seperti tumbuhan kayu manis.

Di bagian atap, berdiri tegak tiga menara yang tersusun berjejer. Posisi menara bagian tengah lebih mundur dari dua menara lainnya. Menara-menara itu biasa disebut oleh masyarakat dengan sebutan candi, karena bentuknya yang menyerupai candi. Simbol salib berdiri tegak pada tiap puncak menara. Berwarna putih keabu-abuan. Namun warna catnya sudah mulai memudar.

Seluruh bangunan memang terbuat dari kayu. Namun konstruksi bangunan menunjukkan keunikan yang berbeda dari bangunan kayu pada umumnya di Kalteng. Terlihat dari bentuk jendela dan bentuk keseluruhan bangunan yang bergaya arsitektur Eropa. Perbedaan yang mencolok dapat terlihat pada bentuk pintu dan jendela gereja yang unik.

Di sebelah kanan gereja, ada makam pendiri sekaligus pendeta pertama gereja, C. C. Hendrich. Hendrich merupakan misionaris asal Jerman dalam organisasi Zending Barmen yang tiba di Mandomai pada tahun 1869. Sejak saat itu ia menyebarkan agama Kristen di Kalimantan. Kala itu usianya 32 tahun. Pada nisan itu tertulis kalimat bahasa Dayak; Idje Batiroh Hong Kasanang, yang dalam bahasa Indonesia berarti Seseorang Telah Beristirahat Dalam Tenang. C. C. Hendrich lahir pada 19 September 1837 dan wafat pada 12 April 1894 pada usia ke-57 tahun karena tuberkulosis.

Sebelum memasuki bagian dalam Gereja Imanuel, pada pintu masuk bagian tengah atas, tertulis tahun-tahun penting penanda pemugaran besar-besaran pada gereja. Setelah masuk ke bagian dalamnya, ada tiga mozaik Yesus yang berada di bagian belakang panggung gereja, tempat pendeta berkhotbah. Tiga mosaik tersebut masing-masing menggambarkan sejarah kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus. Mosaik-mosaik itu merupakan peninggalan paling berharga bagi gereja ini. Selain itu, ada piano, terompet, mimbar, dan bangku jemaat.

Setelah 146 tahun berdiri, bentuk bangunan gereja masih dipertahankan, sejak ditetapkan menjadi cagar budaya sekitar tahun 1984-1985. Telah berdiri sejak 1876. Semenjak ditetapkan sebagai cagar budaya, bentuk asli gereja ini terus dipertahankan. Sebelum tahun itu, bentuk bangunan gereja ini masih terus diubah. Ditambah maupun diganti sebagian atau hampir keseluruhan. Hingga sampailah pada rehaban yang dilakukan tahun 1976. Sejak ditetapkan jadi cagar budaya, tampilan gereja ini dipertahankan.

Tokoh masyarakat setempat, Uhing Mihing, mengerti betul sejarah Gereja Imanuel. Usianya sudah 72 tahun. Sedikit bungkuk saat berjalan. Suaranya terdengar serak. Pria yang akrab disapa Pak Uhing itu antusias menceritakan sejarah gereja. Uhing mengaku, datuknya merupakan salah satu yang ikut mendirikan gereja ini. Pengalaman datuknya itu kemudian disampaikan turun-temurun lewat penuturan demi penuturan hingga sampailah kepadanya.

Tak hanya mengandalkan penuturan, Uhing juga membawa buku literatur berjudul Sejarah Gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai 1876-2016 (140 tahun) yang disusun oleh CH Bambang Ikat, Irin E Nanyan, dan A Sabran Bulat.

Gereja Imanuel menjadi saksi sejarah penyebaran agama Kristen di Kalteng. Cerita-cerita bersejarah telah mengawali berdirinya gereja ini. Menelisik sejarah gereja ini juga tak lepas dari ragam cerita dan kisah awal mula penyebaran agama Kristen di Kalteng.

Uhing menuturkan, salah satu organiasi yang membidangi perinjilan berbasis di Jerman, Zending Barmen, menetapkan Kalteng sebagai basis penyebaran agama Kristen di Kalimantan. Organisasi pekabaran Injil itu telah menetapkan dalam sidang umumnya pada 4 Juni 1834, bahwa Kalimantan dijadikan sebagai pulau daerah perkabaran Injil.

Sejak saat itulah misionaris-misionaris asal Jerman mulai berdatangan ke Kalimantan untuk melakukan misi penyebaran agama Kristen. Salah satu lokasi yang menjadi tempat berlabuh para misionaris itu adalah Sungai Kapuas, yang kala itu sempat dibangun beberapa pos penyebaran. Namun saat itu belum dibangun gereja yang menjadi tempat peribadatan umat Kristen.

Awal melaksanakan misi penyebaran agama Kristen, ada banyak kendala yang ditemui. Masih banyak warga setempat yang buta huruf dan ada gesekan yang terjadi antara kaum ningrat setempat dengan Belanda yang berujung pada sentimen rasial terhadap orang kulit putih. Kaum ningrat kemudian sulit membedakan kaum kulit putih asal Belanda dan bukan Belanda, sehingga proses penyebaran agama Kristen tersendat.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1869, misionaris C.C. Hendrich tiba di Mandomai. Setahun kemudian, Hendrich membuka pangkalan/stasi baru pekabaran Injil di Mandomai.

“Seiring itu terbentuklah jemaat Kristen Mandomai yang merupakan cikal bakal jemaat GKE Mandomai saat ini,” tutur Uhing kepada Kalteng Pos, Minggu (11/12).

“Jadi misionaris pertama yang ke sini adalah C.C. Hendrich, makamnya persis berada di samping gereja ini,” tambahnya.

Gereja Imanuel, lanjut Uhing, digagas dan dirancang sendiri oleh C.C. Hendrich. Dilatarbelakangi oleh motivasi membangun rumah ibadah bagi jemaat di lingkungan sekitar. Gereja yang selanjutnya dinamakan Gereja Imanuel itu kemudian menjadi gereja tertua di Kalimantan sekaligus titik awal penyebaran agama Kristen di Kalteng.

Hanya bermodalkan dana seadanya yang dikumpulkan dari jemaat setempat. Saat itu terkumpul dana 70 gulden. Lalu ditambah bantuan dana dari teman-teman Hendrich di Jerman.

“Tahun 1875 mulai merealisasikan pembangunan gereja ini, selesai dikerjakan tahun 1876, hanya beratapkan daun rumbia tanpa dinding,” jelasnya.

Pembangunan gereja selesai akhir Februari 1876. Memakan waktu kurang lebih setahun. Penahbisan gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai dilaksanakan 3 Desember 1876. Sejak saat itu jemaat mulai menggunakan Gereja Imanuel GKE Mandomai sebagai tempat ibadah.

Kemudian pada tahun 1905, misionaris C Hendrich, anak dari C.C. Hendrich, menggantikan atap gereja menjadi atap sirap.

Tahun 1930, banguna gereja direnovasi. Tak hanya perbaikan, tapi juga ada penambahan luas bangunan. Proses itu dipimpin oleh misionaris S Weisser dari Zending Basel, Swiss. Penambahan luas bangunan menjadi 24×12 meter guna menambah kapasitas/daya tampung, mempertimbangkan jumlah jemaat yang terus bertambah. Namun Uhing tidak mengetahui pasti luas awal bangunan gereja sebelum dilakukan penambahan. Pada berbagai referensi pun fakta itu tidak ditemukan. Selain perluasan, juga dilakukan pembuatan candi kiri dan kanan seluas 15 meter persegi. Dari yang semula hanya ada satu candi menjadi tiga candi.

Selanjutnya tahun 1972, Pdt Sudjarwadi IM SMTh melakukan perbaikan gereja meliputi pelapisan sebagian lantai dengan sistem saluang murik (saling silang), mengganti sebagian tongkat, dan memasang instalasi listrik. Perbaikan saat itu mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui Departemen Agama RI.

Empat tahun kemudian, perbaikan besar-besaran dilakukan lagi menjelang peringatan ke-100 tahun Gereja Mandomai. Pekerjaan yang dilaksanakan saat itu adalah mengganti atap sirap seluruhnya, melapis plafon dengan papan plywood pada bagian sisi kiri dan kanan dalam gereja, mengganti lantai depan pada teras gereja, mengganti sekaligus melakukan pelebaran tangga masuk, melapisi dinding belakang dengan sirap, memasang dinding pelapis bagian dalam seluruhnya, pengecatan dan pengapuran, dan melakukan perbaikan instalasi listrik.

“Biaya perbaikan sebagian besar mendapat bantuan dari pihak Zending Basel, ditambah sumbangan dari anggota sidang jemaat GKE Mandomai serta warga Mendomai yang berdomisili di luar Mandomai,” jelas Uhing.

Perbaikan besar-besaran kembali dilakukan tahun 1999. Pekerjaan yang dilakukan merupakan kelanjutan proyek Depdikbud Kanwil Kemenag Kalteng Bidang Kebudayaan, yang meliputi penambahan atau membangun kembali candi yang di tengah sehingga kembali menjadi tiga candi yang sebelumnya sempat jadi dua candi saja, kanan dan kiri, lalu membuat pagar keliling kompleks gedung gereja menggunakan kayu ulin. Kemudian menata saluran air dengan cor beton dan sistem solong menyeberang jalan agar air tidak tergenang di sekitar gedung gereja, dan mengganti tangga naik ke loteng yang sebelumnya berupa tangga lurus dijadikan tangga bentuk bordes tempat yang sebelumnya ada di sebelah kanan dipindah ke sebelah kiri masuk.

Saat ini beberapa bagian bangunan gereja mengalami kerusakan. Koster Gereja Imanuel GKE Mandomai, Wariso menuturkan menara atau candi yang ada di atas, sebagian atap, sebagian dinding, dan sebagian lantai rusak karena lapuk.

“Segala menara yang di atas, atap, dinding, dengan lantai itu perlu diperbaiki, dinding di dalam ini ada sebagian yang rusak, apalagi jemaat tidak dapat naik ke lantai dua gereja beberapa bagian lantai sudah keropos,” ucapnya. (dan/ce/ala)

Exit mobile version