Site icon KaltengPos

Akademisi Kritisi Penunjukan Pj Bupati dari Kemendagri, Ini Katanya

Aksi massa di Aula Jaya Tingang memprotes pelantikan Pj Bupati. ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

PALANGKA RAYA-Dilantiknya Penjabat (Pj) Bupati Barito Selatan (Barsel) dan Kotawaringin Barat (Kobar) mendapat perhatian dari sekelompok organisasi massa (ormas) di Bumi Tambun Bungai. Usulan dua orang pejabat dari Kemendagri menjabat sebagai Pj kepala daerah itu mendapatkan kritikan dari dari sejumlah akademisi. Mereka menilai keputusan itu tidak berlandaskan transparansi, prinsip otonomi daerah, dan demokrasi.

Akademisi Ilmu Pemerintahan dari Universitas Palangka Raya, Dr Ricky Zulfauzan SSos MIP mengungkapkan, Kemendagri telah mengambil keputusan sepihak dalam menunjuk Pj Bupati tersebut. Menurut Ricky, keputusan sepihak dari Kemendagri itu menjadi rawan untuk diprotes/ditolak karena tidak ada transparansi dalam penentuan Pj Bupatinya.

“Apalagi untuk Kabupaten Kotawaringin Barat yang tiba-tiba diganti tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Saya menduga, pemerintah pusat memang menyiapkan agenda sendiri yang belum tentu sejalan dengan agenda Pemprov Kalteng, ini bisa saja terkait Pilpres,” kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Palangka Raya (UPR) itu kepada Kalteng Pos, Rabu (24/5).

Terkait pemimpin harus merupakan putra daerah, apakah itu dibenarkan untuk memvalidasi penolakan Pj usulan Kemendagri, Ricky menyebut tidak ada syarat dalam Undang-Undang (UU) harus putra daerah, kecuali untuk Papua UU 21/2021 tentang Otsus Papua. Sikap pemerintah provinsi (Pemprov) Kalteng dalam menghadapi kasus ini, menurut Ricky, seharusnya netral.

“Sebagai kader partai menurut saya Gubernur harusnya taat dan tegak lurus pada agenda partainya. Bagi yang lain harus ada agenda penyeimbang agar cara-cara seperti ini ada yang melawan,” tambahnya.

Pelantikan Pj Bupati dari dua daerah itu mendapat penolakan dari sejumlah kelompok. Berkenaan dengan potensi apakah huru-hara berpotensi terus terjadi mengingat Pj Bupati tetap disahkan, Ricky berpendapat bahwa cara yang dilakukan Kemendagri RI itu bernuansa mencederai prinsip otonomi daerah dan berbau otoriter.

“Oleh sebab itu, cara-cara ala otoritarianisme begini harus dilawan. Tidak boleh ada di dalam pemerintahan yang demokratis ada upaya-upaya melanggengkan kekuasaan dengan mengabaikan atau bahkan memanipulasi suara rakyat,” tandasnya.

Sementara itu, Akademisi Ilmu Pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, Farid Zaky Yopiannor SE MSi berpendapat, dinamika penunjukkan Pj Bupati Barsel dan Kobar ini berada pada nuansa politis karena tidak bisa dinafikan tahun politik sudah membawa konsekuensi iklim politik yang semakin kentara. Tak hanya itu, keputusan itu ia nilai kurang demokratis. Namun, lanjutnya, narasi yang digunakan masyarakat untuk mengadvokasi keputusan itu harus lebih elegan, jangan menggunakan narasi pemimpin putra harus daerah karena bersifat kesukuan dan tidak profesional.

“Keputusan yang menjadi pijakan Kemendagri mempunyai cita rasa yang kurang demokratis, sehingga mengundang delegitimasi dari publik terutama karena euforia otonomi daerah itu sangat mengakar termasuk di Kalteng ini. Tetapi jika advokasi yang dilakukan menggunakan narasi putra daerah ini saya kira kurang tepat karena tendensius dan membuka celah perpecahan,” jelas Zaky, Rabu (24/5).

Menurut Zaky, sah-sah saja pemerintah daerah terus speak up dan bersuara ke pemerintah pusat, tetapi menyarankan agar menggunakan narasi advokasi yang elegan melalui basis data pembangunan daerah yang mumpuni, bukan dengan eksploitasi narasi pemimpin harus putra daerah.

“Upayakan terjadi konflik yang konstruktif sehingga jendela perubahan kebijakan pada level pusat bisa terbuka dan mampu mengakomodir aspirasi daerah,” ucapnya.

Secara legal formal penunjukan Pj Bupati tersebut sah karena sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun persoalannya adalah pada aspek mekanisme penunjukkan yang minim transparansi.

“Atas hal itu sah-sah saja publik beranggapan bisa saja terjadi sembarang tunjuk. Aturan yang ada perlu direformasi dengan melibatkan publik secara luas untuk menilai integritas dan kapasitas calon Pj yang ditunjuk oleh kemendagri,” tuturnya.

Terkait potensi huru-hara yang terjadi, menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) UMPR ini, Huru hara ini tersebut tergantung bagaimana komunikasi persuasif dari pemerintah dan Forkopimda.

“Karena mereka punya resource untuk mengelola dinamika lokal ini. Perlu kepala dingin dan kebesaran hati karena perubahan iklim politik lokal sedang terjadi menuju 2024 pun demikian nuansa di pusat pun sudah semua serba politik. Peran opinion leader perlu diperkuat untuk merangkul publik yang kecewa sembari menyusun aksi yang lebih elegan melalui upaya reformasi kebijakan berbasis bukti,” tandasnya.

 

Terpisah, kader PSI Kalteng Eldoniel mengatakan, sebagaimana satu keluarga yang memiliki kepala rumah tangga berikut anggotanya, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini adalah keluarga besar yang memiliki kepala negara yaitu presiden berikut lembaga perangkat negara yang melengkapinya (legislatif, eksekutif, yudikatif) sampai ke tingkat daerah di seluruh pelosok negeri ini.

“Layaknya seorang kepala keluarga yang menginginkan yang terbaik bagi anggota keluarganya tentu Kepala Negara melalui Pemerintah Pusat pun menginginkan yang terbaik bagi Kalteng berikut wilayah yg ada di dalamnya, termasuk Kabupaten Barito Selatan dan Kotawaringin Barat,” ucap Eldoniel, kemarin.

“Sebagai warga Dayak, warga asli Kalteng dan warga negara Indonesia tercinta yang merupakan bagian dari keluarga besar NKRI, kita seyogyanya percaya sepenuhnya pada keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat melalui Kemendagri serta Gubernur Kalteng dalam hal menentukan Pj Bupati adalah keputusan yang baik untuk kebaikan Kalteng khususnya Kabupaten Barsel dan Kobar dan tentu itu semua bukanlah sebuah bencana bagi kedua kabupaten tersebut,” katanya.

Kalaupun ada riak riak penolakan, menurut Eldoniel, barangkali itu atau lebih tepatnya sebagian masyarakat Kalteng, dan sebaliknya tentu ada pula masyarakat Kalteng yang berpendapat bahwa memberi kesempatan kepada pj bukan warga lokal yang secara kewenangannya terbatas hingga nantinya terpilih kepala daerah baru pilihan masyarakat setempat justru menjadi kesempatan untuk menunjukan kepada pemerintah pusat bahwa administrasi pemerintahan di daerah telah berjalan dengan baik sebagaimana mestinya sesuai keinginan dan impian masyarakat.

“Intinya adalah semuanya tentu diputuskan atas dasar niat baik berikut norma serta mekanisme aturan yang berlaku dalam keluarga besar NKRI dimana Kabupaten Barsel dan Kobar merupakan anggota dari keluarga besar (NKRI) tersebut,” tandasnya. (dan/yan/ala)

Exit mobile version