PALANGKA RAYA-Saling klaim kepemilikan lahan di Jalan Jintan dan Pramuka, Kelurahan Menteng bikin gempar. Mayoritas warga yang sudah belasan tahun memiliki legalitas tanah sertifikat hak milik (SHM) dibuat kaget bukan kepalang. Tanah yang sudah berdiri bangunan secara tiba-tiba diklaim dengan surat keterangan tanah (SKT). Merasa terusik, warga yang tanahnya diklaim menempuh upaya hukum.
Sejak awal Januari lalu warga Jalan Jintan dan Jalan Pramuka dihebohkan dengan terbitnya SKT dari Kelurahan Menteng atas nama Singkang. Dalam SKT itu mengklaim tanah milik sebagian warga milik atas nama Singkang. Berdasarkan keterangan Ketua RT 03/RW 06 Diarto (63), pihaknya sangat mengeluhkan karena terdapat banyak tanah kosong yang sudah dimiliki warga secara sah dengan bukti SHM dan bahkan tanah yang sudah terbangun rumah, tapi masih terklaim.
Diarto menyebut Singkang dan Perry sendiri membuktikan legalitas kepemilikan atas tanah yang selama ini dimiliki masyarakat dengan adanya SKT yang diterbitkan oleh Kelurahan Menteng. Namun, masyarakat telah memiliki SHM yang notabene memiliki kekuatan hukum lebih kuat. Diarto tidak dapat memastikan berapa hektare (ha) lahan yang diklaim oleh pihak Singkang.
“Saya tidak tahu persis ada berapa yang diklaim, tapi di sini kan banyak tanah warga yang sudah memiliki SHM,” kata Diarto saat ditemui Kalteng Pos, Kamis (26/1/2023).
Ia tidak dapat menyebutkan secara pasti kapan persisnya klaim oleh pihak Singkang. “Aku tidak ingat sudah berapa kali dia (Singkang) mengklaim kepemilikan tanah di sini. Tapi semenjak saya menjabat sebagai RT dua periode ini, sudah dua kali dia mencoba mengklaim kepemilikan tanah di sini,” bebernya.
Diarto mengaku kecewa terhadap sikap lurah dan perangkat kepala seksi pemerintahan (kasipem) di Kelurahan Menteng. Saat ini pihaknya tengah menempuh jalur hukum dengan melaporkan masalah tersebut kepada pihak inspektorat dan polres.
Upaya warga dalam menempuh jalur hukum dijelaskan lebih lanjut oleh Akhmad Taufik selaku kuasa hukum warga. Dikatakannya, pihaknya sudah mengirim surat ke berbagai instansi terkait di lingkup Pemerintahan Kota Palangka Raya yang ikut bertanggung jawab terkait masalah yang saat ini menimpa warga Jalan Jintan dan Jalan Pramuka.
“Saya sudah bersurat ke BPN agar memblokir jangan sampai sertifikat, lalu ke wali kota sudah saya masukkan ke pembatalan atas nama Singkang, hari Senin saya sudah audiensi dengan Asisten I untuk memberikan sanksi Lurah Menteng kalau telah memberikan petunjuk untuk penguasaan tanah kosong di Jalan Jintan dan Jalan Pramuka,” beber Taufik saat menghubungi Kalteng Pos via telepon WhatsApp, Rabu (25/1).
Berdasarkan pengamatannya, surat tanah yang dibuat oleh Singkang merupakan surat tanah palsu. Hal itu dibuktikan dengan tidak ditandatanganinya surat tersebut oleh Lurah dan Sumberdinata. “Kan dalam surat itu ada pernyataannya ya,” ucapnya.
Di tempat yang sama, seorang warga yang memiliki tanah di Jalan Pramuka, Marine (60), yang tanahnya juga terklaim mengatakan, pada awalnya ia tidak tahu bahwa tanah yang dibelinya sejak 2002 lalu itu harus tersengketa.
“Kami tidak tahu dulu itu, saya kira aman, kalau tahu begini saya kira tidak akan saya beli tanah itu, padahal tanah itu masih kredit,” katanya.
Ia baru tahu tanahnya terklaim sejak awal bulan Januari lalu. Ia berharap agar tanahnya dapat kembali menjadi miliknya tanpa harus bersengketa dengan pihak lain. Adapun tanah itu ia miliki atas legalitas SHM. “Kami berharap kepada lurah dan pihak terkait betul-betul bijaksana mempertimbangkan asas kepemilikan kami,” ungkapnya.
Helni (51), warga yang juga memiliki tanah di Jalan Jintan berharap agar pemerintah dapat menemukan solusi terbaik demi menyelesaikan permasalahan ini. Tanah itu ia miliki dengan legalitas SKT.
“Saya berharap agar inspektorat memberikan pembinaan ke lurah lalu dari pemerintahan bisa mencabut SPT (surat pernyataan tanah) itu,” harapnya.
Masalah kemudian mengerucut pada pertanyaan apakah SKT bisa diterbitkan oleh pemerintah kota (pemko) tanpa harus berkoordinasi dengan pihak terkait, salah satunya Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kepala BPN Kota Palangka Raya Y Budhy Sutrisno mengatakan, pada prinsipnya BPN memiliki ranah kebijakan pada penerbitan sertifikat saja. Sedangkan penerbitan SKT masuk dalam ranah kewenangan pemerintah daerah, dalam hal ini pemko melalui kelurahan setempat.
“Tidak ada kewajiban dari kelurahan kalau membuat surat harus koordinasi ke BPN, lalu saya yakin bahwa pihak kelurahan sudah memiliki SOP tersendiri terkait penerbitan SPT (surat pernyataan tanah),” jelas Budhy kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin.
Berkenaan dengan masalah apakah pihak kelurahan bisa menerbitkan SKT kendati warga telah memiliki SHM, Budhy menjelaskan hal itu sebaiknya sudah memang jangan dilakukan. “Di BPN kan tanah yang bersertifikat sudah bisa diakses di aplikasi Sentuh Tanahku, mereka bisa mengecek di situ, apakah di lokasi yang mau diterbitkan itu sudah bersertifikat atau belum,” katanya.
Budhy juga mengaitkan masalah pertanahan dengan sifat hukum Indonesia yang menerapkan hukum pertanahan stelsel negatif. Maka konsekuensi dari situ adalah belum tentu warga yang sudah terlebih dahulu memiliki tanah bersertifikat selamanya akan menjadi pemilik tanah berlegalitas sertifikat itu.
“Hukum kita kan sifatnya stelsel negatif, maka berlaku konsekuensi bahwa sertifikat itu adalah bukti yang kuat terkait dengan hak kepemilikan orang sepanjang tidak ada orang yang membuktikan sebaliknya,” jelasnya.
Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia dan Singapura yang menerapkan hukum tanah stelsel positif. Artinya, warga yang sudah memiliki sertifikat tanah akan mutlak memiliki tanah itu. “Makanya berbeda, di kita kan stelsel negatif, artinya sertifikat tanah yang dimiliki warga hanya akan kuat sepanjang tidak ada yang membuktikan sebaliknya,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa memang lurah tidak memiliki kewajiban jika dia harus membuat SPT harus bertanya terlebih dahulu ke BPN. Tetapi dalam beberapa kasus, dalam membuat SKT lurah sering bersurat kepada pihaknya untuk menanyakan apakah pada titik tertentu di bidang tanah tertentu itu sudah terbit sertifikat atau belum.
“Memang ada beberapa kelurahan yang melakukan seperti itu, tapi itu bukanlah suatu kewajiban,” ujarnya.
Agar kasus ini dapat diselesaikan dengan baik, Budhy memaklumi bahwa kasus tanah di Palangka Raya cukup banyak. Namun hal yang bisa dilakukan atau menjadi opsi agar permasalahan ini bisa diselesaikan adalah melalui mediasi antara para pihak.
“Bisa dengan mediasi antar para pihak bersengketa, baik mediasi yang dilaksanakan langsung antara para pihak, bisa dengan mediator di kelurahan, bisa dengan mediator dari BPN, melalui mediasi ini tentu saja akan bisa dicapai mufakat atau win-win solution,” jelasnya.
Jika nanti mediasi itu menemui jalan buntu, barulah kemudian dilanjutkan dengan upaya penegakan hukum. “Upaya penegekan hukum itu melalui jalur litigasi, yakni di pengadilan,” tandasnya.
Dihubungi terpisah, Lurah Menteng Rossalinda Rahmanasari mengaku masih belum mendapat laporan perihal sengketa tanah itu. Namun dia membenarkan jika Singkang pernah mengajukan beberapa surat pernyataan menggarap tanah (SPMT) ke kelurahan, tapi tidak semua disetujui.
“Kami belum dapat laporan. Masalah itu masih kami telusuri dan pelajari terlebih dahulu. Namun saya tegaskan bahwa kelurahan bersikap netral dalam hal ini,” ujar Rossalinda kepada Kalteng Pos, Kamis (26/1/2023).
Dia mengaku belum bisa menjelaskan terinci, karena tidak ingin salah memahami permasalahan. Apalagi tak ada laporan masuk. Ia mengimbau warga di Jalan Jintan dan Pramuka untuk melapor ke kelurahan dan menjelaskan duduk perkara, sehingga pihak kelurahan bisa mengetahui.
“Warga bisa datang ke kelurahan. Kalau memang ada masalah dengan surat yang sudah kami keluarkan, kami akan evaluasi,” terangnya.
Sementara itu, ketika Kalteng Pos mengonfirmasi Singkang, yang bersangkutan belum bisa memberikan tanggapan. “Saya masih di Jakarta. Sabtu baru pulang. Setelah itu kita koordinasi ya,” tulisnya melalui pesan WhatsApp, kemarin. (dan/uni/ce/ala)