Site icon KaltengPos

Kelembapan Gambut Kurang dari 60 Persen

AGUS PRAMONO/KALTENG POS SUSAH PADAM: Petugas memadamkan lahan gambut di Jalan Karya Hapakat, Tjilik Riwut Km 16, beberapa waktu lalu.

PALANGKA RAYA-Kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah (Kalteng) masih terus terjadi. Meski hujan yang turun kurang lebih tiga hari terakhir menyebabkan luasan karhutla berkurang, tetapi kondisi itu tak membantu memulihkan kelembaban tanah gambut.

Gambut saat ini dalam kondisi kering. Rata-rata sudah turun melebihi 40 cm. Kelembaban gambut juga sudah kurang dari 60 persen. Jika gambut kering dan rusak, maka fungsi gambut yang bisa menyerap air akan hilang. Mengembalikan fungsinya secara utuh juga akan sangat sulit.

“Saat musim kemarau mudah terbakar, saat musim hujan akan banjir,” ujar Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Joni Harta melalui Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Merty Ilona kepada Kalteng Pos, Sabtu (26/8).

“Akan ada dampak jangka panjang dari kerusakan gambut ini,” tambahnya.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk memulihkan gambut. Mulai dari menjaga hidrologis atau tata kelola air gambut, kemudian menjaga ekosistem gambut selalu basah atau tergenang air dan lembab. “Hal ini dapat dilakukan dengan intervensi menyekat kanal. Lalu dengan penanaman dan pengkayaan pohon, atau juga dengan menjaga ekosistem gambut tidak diganggu,” ungkapnya.

Terpisah, peneliti dari Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (Cimtrop) Universitas Palangka Raya, Dr Kitso Kusin SE MSi menyebut, tinggi muka air gambut pada musim kemarau tahun ini mengalami penurunan. Ada tiga daerah di Kalteng yang rentan terjadi kebakaran.

Tiga daerah itu memiliki lahan gambut yang dalam, dinamakan dengan kesatuan hidrologis gambut (KHG). Paling besar berada di kawasan Sebangau, Katingan. Kedua, berada di daerah Kapuas-Barito, di kawasan antara Sungai Kapuas dan Barito. Kawasan gambutnya cukup luas. Ketiga, yang paling besar adalah di Pulang Pisau, antara Kahayan dengan Sebangau.

“Tiga daerah tersebut memiliki kondisi gambut yang dalam. Kedalaman lahan gambut di Tumbang Nusa sedalam 15 meter dari permukaan tanah,” jelas Kitso kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang kerjanya.

Pada musim kemarau seperti saat ini, lanjut Kitso, tinggi air tanah gambut akan turun. Menurunnya tinggi air tanah ini menyebabkan terjadinya pengeringan gambut. Itulah yang menyebabkan lahan menjadi rawan terbakar.

“Kebakaran tidak terjadi dengan sendirinya. Ada yang bilang karena puntung rokok. Namun menurut penelitian kami, puntung rokok itu hanya satu persen menyebabkan kebakaran, sebagian besarnya dari ulah manusia,” jelas pria yang menamatkan studi doktor Ilmu Lingkungan di UPR.

Wilayah pinggir Sungai Sebangau sangat rawan terbakar. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadi di jalan lintas kabupaten Palangka Raya-Kapuas, jalan trans Kalimantan. Sebab, di daerah-daerah itu, hampir tiap musim kemarau selalu ada titik api.

“Di lokasi-lokasi itu harus disiagakan, agar kebakaran tidak terjadi. Kalau misalkan terlihat ada yang menebas-nebas di lahan, kemudian membakar, tinggal menunggu waktu saja api akan meluas,” ujarnya.

Adapun untuk di Kota Palangka Raya, wilayah paling rawan terjadi karhutla adalah Kecamatan Jekan Raya, tepatnya di lingkar luar. Kemudian di Kecamatan Pahandut ke arah Kelurahan Kalampangan dan di Kecamatan Sebangau. Tiga daerah itulah yang menurut Kitso rawan terjadi karhutla.

“Khusus di Kota Palangka Raya, tiga daerah itu yang paling rawan, karena ketiga daerah itu memiliki lahan gambut yang besar dan masih banyak lahan kosong,” tambahnya.

Menurut hasil identifikasi pihaknya, manusia menjadi faktor dominan penyebab kebakaran. Kitso menyebut, karhutla dapat terjadi karena ada oknum yang sengaja membakar lahan.

“Kebanyakan karena sengaja membakar, tapi motifnya bermacam-macam. Ada yang untuk membersihkan lahan dan lain-lain,” ujarnya.

Menurut Kitso, pembersihan lahan menjadi motif utama masyarakat melakukan pembakaran lahan. Kegiatan itulah yang kemudian dapat memicu karhutla. Banyak orang yang berpikir bahwa musim kemarau merupakan waktu yang tepat untuk membersihkan lahan dengan cara membakar. Atau mungkin bisa juga ada yang sengaja membakar dengan motif tertentu.

“Pembakar itu pintar. Mereka biasanya beraksi pada malam hari. Atau mereka membakar dari arah belakang lahan. Bisa juga mereka membakar pakai obat nyamuk yang di bawahnya ada bensin. Kemudian pelaku segera meninggalkan lokasi dan tinggal menunggu lahan terbakar,” jelasnya.

Exit mobile version