*FAUZANNUR, Palangka Raya
DENGAN dibantu tongkat dari pipa air, Islamuddin berjalan pelan dari rumahnya menuju Masjid Baitul Amin. Rumah yang ditempati bersama keluarga kecilnya itu persis berada di belakang bangunan masjid. Sesekali tangan kanannya meraba tembok masjid. Ditemani anak bungsunya, Muhammad Ridwan Alfi Husni.
Sudah 11 tahun lamanya Islamuddin mengabdikan diri sebagai marbut masjid yang berlokasi di Jalan Mahir Mahar, Tjilik Riwut Km 8, Kelurahan Bukit Tunggal, Palangka Raya. Sejak kecil Islamuddin memang mengalami gangguan penglihatan. Hingga usianya memasuki 40 tahun, kedua matanya tak bisa melihat.
“Sejak saya lahir sudah ada gangguan penglihatan. Menginjak dewasa, saya pernah bisa melihat dengan jarak satu meter, tapi lama-kelamaan tidak bisa melihat lagi sampai sekarang ini,” ucapnya kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.
Sesampai di masjid, Islamuddin langsung menuju mimbar. Berjalan seperti orang yang memiliki penglihatan normal. Kemudian tangan kanannya mengambil mikrofon. Seperti sudah hafal letaknya. Setelah itu, dengan suara lantang Islamuddin mengumandangkan azan Zuhur. Sekaligus menjadi imam salat dari lima orang jemaah yang hadir.
Selama bulan Ramadan, pria kelahiran Banyuwangi itu sering menjadi imam salat Tarawih. Saat penulis menjadi makmum salat, bacaan dan suaranya terdengar merdu.
Belasan tahun Islamuddin berusaha memakmurkan masjid. Menjadikan masjid tempat yang bersih dan nyaman digunakan untuk beribadah.
Bersama istrinya La’is Mariyanti dan Ulfa Nurhayati Nuzul Hasanah (anak pertama), Iswatun Nazilah Zulhijjah, dan Muhammad Ridwan Alfi Husni (anak bungsu) tinggal di sebuah rumah yang berada di area masjid. Rumah itu dibangun atas inisiatif dan sumbangan warga.
“Ada yang nyumbang keramik, ada yang nyumbang semen, pasir, dan bahan bangunan lainnya,” tutur Islamuddin.
Islamuddin mengaku jika dirinya hanyalah lulusan sekolah dasar. Ketika masih balita, orang tuanya mengikuti program transmigrasi ke Pangkoh, Kabupaten Pulang Pisau. Islamuddin bukan lulusan pondok pesantren. Ia belajar mengaji dan mendalami agama Islam dari para ustaz yang ada di kampungnya.
“Saat itu saya datang ke para ustaz untuk belajar agama Islam,” bebernya.
Pada tahun 2010, ia bersama istri dan anak pertamanya merantau ke Palangka Raya. Kemudian ada warga yang menawarinya menjadi marbut. Tawaran itu diterimanya. Sementara sang istri berjualan gorengan untuk menunjang perekonomian keluarga. Bahkan sampai saat ini.
“Saya memang ingin merantau saat itu. Ingin membangun rumah tangga secara mandiri. Enggak mau merepotkan orang tua,” sebutnya.
Di mata sang istri, Islamuddin merupakan sosok yang istimewa. Seorang suami yang penyabar. Hampir tidak pernah berbicara dengan nada keras terhadap anak-anak. Keterbatasan fisik tidak menghalangi Islamuddin untuk terus berada di jalan Allah Swt. “Alhamdullillah, saya bersyukur sekali diberi suami seperti dia (Islamuddin, red). Benar-benar menjadi imam yang baik bagi kami sekeluarga,” ujarnya.
Dalam hati saya (penulis) berkata; kita perlu belajar pada orang yang kedua matanya tak bisa melihat, tapi masih punya tekada kuat untuk bekerja dan beribadah. Keterbatasan fisik tak harus membuat seseorang putus asa dan menyerah dengan keadaan. Karena itu, sudah sepantasnya kita yang memiliki tubuh normal mensyukuri apa yang telah diberikan Allah Swt. (ce/ram)