SAMPIT-Sebuah bangunan besar berwarna merah mencolok langsung menarik perhatian siapa saja yang melintasi Jalan MT Haryono, Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
Dengan gaya arsitektur yang unik, bangunan ini menonjol di antara gedung-gedung sekitarnya. Bangunan tersebut adalah Klenteng Harmoni Kehidupan, tempat ibadah umat Konghucu.
Di bagian gerbang Klenteng, pengunjung akan disambut disambut dengan sabda Nabi Konghucu berbahasa Tiongkok.
Jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, sabda itu bertuliskan ‘Di empat penjuru lautan, semua umat manusia bersaudara”.
Klenteng itu terbagi menjadi dua bangunan. Bangunan pertama yang merupakan bangunan terbesar disebut dengan Litang. Tempat para umat melaksanakan ibadah secara berjamaah.
Tepat di sampingnya terdapat sebuah Altar untuk umat Konghucu melaksanakan ibadah secara pribadi. Nuansa khas Tionghoa semakin terasa ketika menjajaki Altar.
Wenshi Suhardi, pemuka agama Konghucu di Kotim sekaligus penjaga Klenteng Harmoni Kehidupan dengan telaten membersihkan dan merawat bangunan tersebut.
Ia menceritakan dengan detail seluruh bangunan itu beserta filosofinya. Bau dupa yang khas ditambah dengan ornamen-ornamen khas Tionghoa berhasil memukau mata.
Di bagian teras Altar, terdapat tempat menyerupai kuali besar yang digunakan para umat untuk membakar dupa yang berbentuk lidi.
Di tempat itu, para umat melakukan ritual peribadahan kepada Tuhan atau Tian. Di bagian atasnya terdapat tiga patung malaikat penjaga langit di kepercayaan Konghucu.
Masuk ke dalam Altar, ada patung nabi Konghucu bernama Kongzi. Nabi yang lahir pada 551 Sebelum Masehi (SM) dan wafat pada 479 SM merupakan nabi yang menyempurnakan ajaran agama Konghucu.
Tepat di depan patung nabi Kongzi terdapat mangkuk besar berisi minyak dan lilin yang harus tetap menyala. Lilin adalah pelita yang memiliki filosofis keimanan.
“Dalam ajaran Konghucu, lilin ini harus tetap menyala karena melambangkan iman. Iman itu tidak boleh padam dalam hati kita, iman itu harus tetap menyala,” ujarnya, saat Kalteng Pos berkunjung ke klenteng.
Masuk ke bagian dalam, ada patung berjubah hijau bernama Wie Tho Poo Sat yang merupakan murid dari Buddha Gotama.
Meski dewa tersebut diperuntukkan untuk ajaran agama Buddha, Klenteng Harmoni Kehidupan tetap menerima pada penganut Buddhis yang ingin beribadah ke Klenteng.
“Kita menghargai ada yang beribadah tidak melulu umat Konghucu di sini. Kadang-kadang juga ada umat Buddhanya kita persilahkan ibadah di sini. Karena banyak yang datang dari luar daerah,” katannya.
Di tengah Altar, lantunan pujian berbahasa Tiongkok terdengar merdu di telinga. Di ruangan itu, terdapat patung-patung dewa dalam kepercayaan Konghucu.
Ada dewa penjaga lautan bernama Tian Shang Sheng Mu yang biasa disembah oleh para nelayan agar hasil tangkapan menjadi baik dan terbebas dari badai.
Lalu ada dewa Tu Ti’ Pa Kung penjaga bumi yang biasa disembah oleh para petani dengan harapan bisa menghasilkan hasil tani yang baik dan bebas dari hama. Kemudian, ada dewa Xuan Tian Shang Dewa penjaga langit yang bertugas menjaga peredaran tata surya.
Selain itu, ada dewa kejujuran, keadilan dan kebenaran. Dewa yang yang dipanggil Guan Yu Kwan Kong dikenal sebagai dewa yang sangat menjunjung tinggi ajaran konghucu.
Hal itu digambarkan dengan patungnya yang memegang kitab suci agama Konghucu, Chun Qiu Jing yang merupakan Kitab Sejarah Zaman Dinasty Qiu.
Sebuah kitab yang ditulis oleh Nabi Kongzi pada Zaman Dinasty Qiu. Gwan Yu/Kwan Kong adalah salah satu murid dari muridnya Nabi Kongzi yang lahir pada Zaman Dinasty Han.
Beliau pengikut Ajaran Kongzi sampai akhir hayatnya. Dia juga dikenal dengan keberaniannya. Dikisahkan, dewa tersebut meninggal dalam medan pertempuran dengan keadaan kepala terpenggal.
“Biasanya dewa ini disembah oleh para pejabat militer, termasuk hakim, jaksa dan sebagainya untuk meminta restu,” ungkapnya.
Tepat di sampingnya, ada Thai Shang Lao Jun yang merupakan dewa dari aliran Tao. Dari sumber lain, dewa tersebut dikenal dengan dewa obat.
Banyak orang datang kepadanya untuk meminta kesembuhan khsusnya para tabib. Lalu, ada dewa Fu De Zheng Shen yang dikenal sebagai dewa rezeki.
Dewa itu banyak disembah oleh para pedagang dan pembisnis dengan harapan bisa meraih kesuksesan. Nama dewa itupun memiliki filosofis.
Fu yang berarti rezeki, De berarti kebajikan dan Zheng Shen berarti sesuatu yang harus ditegakkan. “Artinya kalau kita ingin banyak rezeki harus banyak berbuat kebajikan,” katanya.
Di bagian sumber suara pujian yang terdengar, terdapat patung dewi Kwan Im. Dewi yang sering disembah oleh keluarga yang ingin meminta keharmonisan.
Di bagian belakang Altar, ada sesepuh lokal yang dipercaya beragama Muslim. Ia bernama Eyang Putri. Di bagian atas gambarnya terdapat tulisan ayat kursi yang terpampang. Hal itu menggambarkan toleransi beragama yang kuat dalam klenteng tersebut.
Klenteng Harmoni Kehidupan adalah satu dari tiga klenteng umat Konghucu di Kalteng. Dua diantaranya ada di Kota Pangkalan Bun dan Sukamara.
Berusia seperempat abad, klenteng itu menjadi pusat ibadah dan salah satu warisan budaya di Kotim.
Klenteng itu dibangun pada tahun 1999 dan diresmikan tahun 2000. Bangunan itu merupakan hibah. Awalnya, umat Konghucu di Kotim beribadah di Tridharma. Tridharma sendiri menampung tiga ajaran yaitu, Buddha, Khonghucu, dan aliran Tao.
Banyaknya umat Konghucu yang beribadah saat itu membuat tempat ibadah Tridharma tidak cukup. Sehingga didirikanlah Klenteng untuk umat Konghucu.
“Bangunan dan tanah ini hibah dari almarhum Bapak Hadi Siswanto. Awalnya umat Konghucu beribadah di Tridharma,” bebernya.
Menurut Wenshi Suhardi, Klenteng tersebut sudah berdiri sendiri. Sedangkan Klenteng yang ada di Kota Pangkalan Bun masih menjadi satu dengan ajaran Buddha dan Tao. Hal itu menjadi pembeda dari Klenteng lain di Kalteng. Menurutnya, ajaran Buddha yang berasal dari India memiliki perbedaan dengan ajaran Konghucu.
Selain menjadi tempat ibadah, klenteng itu juga berperan sebagai pelestari budaya Tionghoa.
Gelaran seperti Barongsai dan festival tradisi Tionghoa menjadi wadah pelestari budaya. Sejarah mencatat, budaya tradisi Tionghoa berakar dari agama Konghucu.
“Sejarah mencatat bahwa budaya dan tradisi Tionghoa berasal dari agama Konghucu. Karena agama ini adalah agama tertua. 3000 tahun sebelum nabi Konghucu lahir, agama ini sudah ada. Kalau diakumulasikan sekitar 5000 tahun yang lalu,” tuturnya.
Dari catatan sejarah, budaya Tionghoa di Kotim sudah masuk ribuan tahun yang lalu. Budaya itu dibawa oleh para pendatang asal Tiongkok yang merantau di tanah Borneo. Mereka sudah menyatu dan berbaur dengan masyarakat lokal sejak dulu.
“Ribuan tahun yang lalu ada pendatang dari tiongkok khususnya dari suku Han yang merantau ke Kalimantan. Mereka sudah ada di sini sebelum kolonial Belanda,” ungkap pria yang berasal dari Jakarta itu.
Di zaman penjajahan Belanda, orang Tionghoa dimanfaatkan sebagai mediator dengan suku lokal. Belanda yang ingin mengeruk kekayaan di tanah Kalimantan, memanfaatkan kedekatan antara orang Tionghoa dan masyarakat lokal.(mif/ala)