PALANGKA RAYA-Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) resmi mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) untuk tahun 2023. Kenaikan UMP itu diumumkan di Aula Disnakertrans Provinsi Kalteng, Senin (28/11/2022).
Kepala Disnakertrans Kalteng Farid Wajdi mengumumkan UMP Kalteng tahun 2023 ditetapkan sebesar Rp.3.181.013 (tiga juta seratus delapan puluh satu ribu tiga belas ribu rupiah). “Naik sebesar 8,845 persen atau sebesar Rp258.497 dari sebelumnya,” tuturnya.
“Jadi UMP kita naik sebesar Rp258.297 dari UMP tahun ini Rp2.922.516,” tambahnya.
Dijelaskan Farid, kenaikan UMP ini atas pertimbangan yang mengacu pada beberapa variabel kondisi ekonomi daerah, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Di antaranya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi di Kalteng, yang mana menurut provinsi sebesar 7,25 persen. Inflasi gabungan di Kalteng sejak September 2021 hingga September 2022 menurut provinsi sebesar 8,12 persen. “Jadi itu hal-hal yang dipertimbangkan untuk kenaikan UMP kita,” tutur Farid.
Di tempat yang sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalteng Frans Martinus mengaku tidak setuju dengan kenaikan UMP.
“Sikap Apindo, dari seluruh Indonesia, menolak formula penerapan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 18 Tahun 2022. Kami tidak menolak kenaikan yang sesuai PP Nomor 36 Tahun 2021. Itu yang kami pegang dari awal karena sesuai dengan semangat Undang-Undang Cipta Kerja, kami berharap yang paling utama itu kepastian hukum,” ucap Frans di hadapan awak media, Senin (28/11).
Lebih lanjut ia mengatakan, kepastian hukum yang dimaksudnya yakni seperti yang tertera dalam UU CK dalam PP Nomor 36 Tahun 2021, bahwa pemerintah selama dua tahun tidak boleh melakukan perubahan apapun sesuai dengan formula tersebut.
“Kenapa ini saya katakan, karena semua sama, ini soal kepastian hokum, karena ketika ujug-ujug sebuah peraturan itu bisa berubah, bisa diubah anytime, akan berbahaya untuk investasi dan dunia usaha,” tuturnya.
Frans berpendapat, yang harus dipikirkan adalah kondisi dunia usaha yang baru recovery seperti saat ini. Mungkin yang sudah bekerja tidak masalah. Namun akan menjadi masalah bagi yang belum mendapatkan pekerjaan.
“Bagi yang pencari kerja bagaimana? Masyarakat yang sekarang sedang ngos-ngosan untuk bangkit kembali. Apindo tidak hanya berbicara untuk kepentingan pengusaha, tapi untuk kepentingan nasional, pekerja, pemerintah, pendapatan, kepastian hukum, investasi, dan kemudahan berusaha,” jelasnya.
Kembali ke masalah formula kebijakan, dijelaskan Frans, pada PP Nomor 36 sudah sangat jelas rumusan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
“Jadi itu yang menjadi acuan, dan selama ini dipakai, menurut kami angkanya cukup ideal kok, ketika bicara ekonomi kita baru recovery, tapi ketika ada pilihan terakhir yang dimentahkan, jadi pertumbuhan ekonomi atau inflasi, kalau plus kuadran tertentu tadi, ini kan menjadi permasalahan baru, apakah nanti tiap tahun formulanya harus berubah-ubah,” ungkapnya. Menurutnya perubahan itu tidak bisa dilakukan dengan mudah tanpa landasan hukum yang jelas.
Frans menegaskan soal angka UMP yang diumumkan. Pihaknya tidak menolak adanya kenaikan, jika formula yang digunakan adalah formula lama, dan tidak boleh diubah-ubah. Itu yang membuat pihaknya keberatan, sehingga tak ragu menolak kenaikan. “Ini kan ada undang-undang yang lebih tinggi di atasnya untuk penentuan, saya pikir sudah sangat clear,” ucapnya.
Frans mengakui kenaikan UMP sebesar Rp258.497 cukup memberatkan. Pihaknya menolak dengan tidak menandatangani berita acara kenaikan tersebut, karena menilai menggunakan formula yang baru.
“Itu cukup berat, makanya kami menolak dan tidak menandatangani berita acara, karena menggunakan formula yang baru, kalau menggunakan formula yang lama yaitu PP 36 Tahun 2021, kami siap tanda tangani, Apindo sudah terima, ketika formula itu diubah, kami serentak menolak, Apindo se-Indonesia ya,” terangnya.
Selain karena menggunakan formula baru, pihaknya juga keberatan dengan kenaikan UMP ini karena kondisi ekonomi di Kalteng baru di tahap recovery.
“Semua perusahaan baru mulai mendapatkan cashflow-nya, yang harus dipikirkan itu gelombang PHK yang sedang terjadi, kalau PHK itu sudah di depan mata, bagaimana kita mau merekrut pegawai baru,” katanya. “Jadi, kami menolak kenaikan UMP,” tandasnya. (dan/ce/ala)