PALANGKA RAYA-Saling klaim tanah di Jalan Jintan dan Pramuka menarik perhatian. Singkang W Kasiman yang disebut-sebut mengklaim sepihak tanah warga yang masuk kawasan Kelurahan Menteng tersebut angkat bicara. Singkang pun menjelaskan asal-usul tanah yang kini menjadi polemik itu.
Singkang menceritakan mengenai kronologi pembelian tanah tersebut. Sambil menunjukkan setumpuk dokumen, Singkang menjelaskan asal-usul tanah sengketa itu kepada wartawan di kediamannya, Jalan Galaxi Raya, Palangka Raya, Sabtu (28/1/2023).
Diungkapkan Singkang, tanah seluas 6,15 hektare (ha) itu dibelinya tahun 2000 dari seorang yang bernama H Hapid, yang kala itu tercatat sebagai warga Jalan Pattimura, Palangka Raya. “Saya beli tanah itu seharga Rp175 juta dan baru lunas tahun 2007,” kata Singkang sembari menunjukkan kuitansi pelunasan pembelian tanah tersebut.
Tanah yang dibelinya itu berlokasi di belakang Masjid Darussalam, masuk ke Jalan Pangeran Antasari, tembus sampai Jalan Pramuka. Dikatakan Singkang, H Hapid memperoleh tanah tersebut dengan jalan membeli dari seseorang yang bernama H Moch Ramlie pada 1993 lalu.
“H Ramlie dulunya seorang direktur perusahaan developer, PT Sukma Indah Permai, rencananya mau membangun perumahan di tanah tersebut, tapi tidak jadi,” tutur Singkang.
Ia menambahkan, H Ramlie memperoleh tanah tersebut berdasarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Palangka Raya Nomor: 35 500.1.42.Site.VI.1993 tentang Penunjukan Site dan Pemberian Lokasi Tanah kepada PT Sukma Indah Permai untuk Pembangunan Rumah Sangat Sederhana di Jalan G Obos, dengan luas lahan 6,15 ha. SK wali kota untuk PT Sukma Indah Permai itu dikeluarkan pada 28 Juni 1993 dan ditandatangani oleh wali kota saat itu, Drs DN Singaraca.
Kemudian, lanjut Singkang, oleh H Hapid tanah tersebut kemudian dibuatkan surat keterangan tanah (SKT) dengan nomor register 138.593/004/V/1993 atas nama dirinya sendiri, SKT nomor register 138.593/002/V/1993 atas nama H Ramli, dan nomor register 138.593/003/V/1993 atas nama Madsuri. Ketiga SKT itu diterbitkan pada 11 Mei 1993 dan ditandatangani oleh Camat Pahandut waktu itu, Drs Salman Murad.
“Ketiga surat pernyataan tanah itu terdaftar pada buku register tanah tahun 1993,” kata Singkang.
Tanah itulah yang kemudian dibeli Singkang. Setelah pembayaran dilunaskan pada awal Januari 2007, lalu Singkang memecah tanah seluas 6,15 ha tersebut menjadi 16 bidang/kaveling dengan ukuran bervariasi. Ada yang seluas 24×100 meter2, ada pula yang berukuran 15X200 meter2. Sebanyak 16 kaveling tanah itu kemudian dibuatkan berita acara pemeriksaan tanah di Kantor Kelurahan Menteng oleh staf Bidang Pemerintahan Kelurahan Menteng bernama Sumberdinata dan ditandatangani pada 15 Januari 2007 oleh L Panalu selaku lurah yang menjabat saat itu.
Berdasarkan surat berita acara pemeriksaan tanah tersebut, Singkang kemudian mengajukan pembuatan surat pernyataan penguasaan tanah (SPPT) baru di Kelurahan Menteng. Singkat cerita, pada tahun 2021 diterbitkan SPPT oleh Kelurahan Menteng, dan kini menjadi polemik lantaran sejumlah warga pun mengaku mengklaim sebagai pemilik atas tanah-tanah itu.
Singkang mengaku sangat sakit hati melihat banyak orang yang mengaku sebagai pemilik tanahnya itu. Sudah hampir 10 tahun lebih ia melihat sendiri satu per satu bangunan didirikan di atas tanahnya.
“Saya sudah menanyakan dari mana mereka bisa mendapat tanah itu, tetapi semua jawabanya tidak jelas,” ujarnya.
Diakui Singkang, dari total seluas 6,15 ha tanah miliknya tersebut, saat ini sekitar hampir 2,5 ha telah dikuasai oleh orang lain. Karena itu ia menantang para warga yang mengaku sebagai pemilik tanah di atas tanahnya itu untuk menujukkan bukti-bukti sejarah kepemilikan tanah yang diklaim mereka tersebut. “Ayo buka, mereka bisa enggak menunjukan dari mana asal tanah itu mereka beli,” kata Singkang.
Singkang juga mengatakan sudah menulis surat kepada berbagai instansi pemerintah di lingkup kota, mulai dari Kelurahan Menteng sampai ke tingkat pemko, untuk mengadukan perihal polemik kepemilikan tanah tersebut. Ia mengaku saat awal membeli tanah itu pada 2000 lalu, ia pernah membangun sebuah pos jaga di area tanah tersebut.
“Pos itu dibangun di muara jalan sebelah kiri kalau kita masuk dari Jalan Pangeran Antasari, pos ini kurang lebih tiga bulan ada yang menjaganya,” ujar Singkang.
Kala itu tanahnya masih aman. Namun semenjak pos tersebut tidak dijaga lag, mulai muncul orang-orang yang menggarap dan mengklaim lahan itu.
Ditanya soal adanya warga yang mengaku sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas kaveling tanah tersebut, Singkang mengaku tidak mau peduli soal itu. Dikatakannya, sudah sejak lama ia mengajukan pembuatan SHM tanah itu ke BPN, tapi tidak pernah berhasil.
“Saya sudah berulang kali urus itu, mulai dari tahun 2010 sampai 2011 (mengajukan pembuatan SHM) tapi diberitahu BPN bahwa disitu tidak diberikan izin untuk mengeluarkan sertifikat karena merupakan wilayah merah atau zona merah,” ungkap Singkang sembari menjelaskan bahwa zona merah berarti masuk dalam rencana tata ruang wilayah Provinsi Kalteng sehingga belum bisa dilakukan pembebasan kawasan.
Singkang pun merasa heran jika ada warga yang bisa mengantongi SHM untuk tanah di daerah itu. Karena itu Singkang berencan untuk segera bertindak menguasai kembali tanah miliknya yang sudah diklaim oleh sejumlah warga tersebut.
Pria yang berprofesi sebagai pengacara ini mengaku siap meladeni laporan maupun gugatan di pengadilan soal kepemilikan tanah itu.
“Tunjukan bukti punya Anda, atas dasar apa Anda mengaku memiliki (tanah) itu, sejak kapan anda memiliki, dari siapa anda beli, adakah bukti penyerahan, silakan tunjukkan, keluarkan bukti aslinya, saya siap melayani,” pungkasnya. (sja/ce/ala)