Site icon KaltengPos

Putra-Putri Kebudayaan Nusantara: Membawa Filosofi Huma Betang sebagai Perekat Persaudaraan

TAMU REDAKSI: Putra dan Putri Kebudayaan Nusantara Kalteng Doni Miseri Cordias Domini dan Cindy Destasya Masal saat berpose di depan Kantor PT Kalteng Pos Press, kemarin (18/10). FOTO: DENAR/KALTENG POS

Budaya Kalimantan Tengah (Kalteng) yang melimpah tentu perlu dilestarikan. Terlebih filosofi Huma Betang yang menjadi fondasi masyarakat Bumi Tambun Bungai dalam mempererat tali persaudaraan di tengah ragam perbedaan.

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

MASYARAKAT Kalteng terkenal dengan toleransi yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Tak hanya lingkup Kalteng. Pada dasarnya Indonesia juga memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda, tapi tetap satu. Semboyan ini erat hubungannya dengan filosofi Huma Betang masyarakat Kalteng yang hingga saat ini masih dijunjung tinggi.Generasi penerus tentu harus memahami ini. Tidak hanya memahami, tapi juga wajib melestarikan.

Jika tidak, nilai budaya ini lambat laun akan pudar seiring masuknya budaya luar ke Bumi Tambun Bungai. Bahkan, untuk menumbuhkan filosofi Huma Betang, perlu ditanam sejak dini pada calon-calon generasi bangsa di Bumi Pancasila ini.Melalui ajang Putra-Putri Kebudayaan Nusantara (PPKN), Doni Miseri Cordias Domini dan Cindy Destasya Masal akan memperkenalkan filosofi Huma Betang ini pada ajang nasional yang akan dilaksanakan di Yogyakarta pada 3 hingga 9 November nanti.

Hari ini, dua putra-putri Bumi Tambun Bungai ini pamit. Selasa (2/11) mereka akan bertolak menuju Yogyakarta untuk mengikuti ajang ini.“Besok kami berangkat untuk ikut acara yang dimulai pada 4 November hingga final pada 7 November nanti, sejak Kamis (4/11) kami sudah sibuk dengan berbagai kegiatan hingga final,” kata Cindy saat diwawancarai, Minggu (31/10).

Pada ajang ini, Cindy akan menampilkan beberapa kebolehan sesuai dengan jadwal. Seperti unjuk bakat Tari Dadas. Pada final nanti ia akan menjelaskan advokasi Huma Betang. Pada advokasi Huma Betang itu, Cindy menyebut bahwa kehidupan keluarga yang tinggal dalam Huma Betang menjadi alat untuk mempererat persaudaraan di tengah perbedaan.

“Huma Betang menjadi tempat tinggal beberapa kepala keluarga. Dalam rumah ini dihuni oleh orang-orang yang berbeda ras bahkan agama, di sinilah terbentuk toleransi antarsesama,” ucap perempuan kelahiran Palangka Raya, 15 Desember 2001 lalu.Filosofi ini terus tumbuh dan telah memberikan bukti nyata hingga saat ini. Buktinya, di beberapa titik di Kota Cantik ini, terlihat ada rumah ibadah yang dibangun berdampingan. Ada pula dalam satu rumah ditempati anggota keluarga dengan perbedaan agama yang dianut.

“Gaya hidup yang saat ini serbamodern dan berteknologi tinggi memudahkan budaya luar masuk Kalteng, hal ini perlu diantisipasi agar budaya kita tetap lestari,” ucapnya.

Perempuan yang tengah menempun pendidikan di Fakultas Kedokteran HKBP Nomensen Medan ini menyebut, menumbuhkembangkan filosofi Huma Betang perlu dimulai sejak dini. Bisa dari lingkungan keluarga hingga lembaga pendidikan.Sementara itu, Doni Miseri Cordias Domini meminta dukungan dan doa masyarakat Kalteng, termasuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng. Melalui ajang ini, ia berharap ada dampak positif bagi perkembangan kebudayaan di Kalteng ke depan.

“Kami memohon doa dan dukungan, semoga kami bisa menampilkan dan memberikan yang terbaik pada ajang nasional ini, sekembalinya nanti bisa memberi dampak pada kemajuan budaya dan pariwisata di Kalteng,” tuturnya.Berpengalaman Menapak Tilas Rute Panglima Besar Jenderal Soedirman====JUDUL BARUCindy, juga pernah mengikuti tapak tilas Jenderal Soedirman yang dinamai RPS. Kegiatan itu merupakan peringatan atau cara anak muda mengingat perjuangan Panglima Besar Jenderal Seodirman. Jenderal Soedirman merupakan panglima pertama Angkatan Bersenjata Indonesia dan jenderal pertama dalam sejarah TNI yang terkenal dengan taktik gerilya dalam perang melawan penjajah.

“Saya kan masuk di SMA Presiden, sekolahnya ini menggunakan sistem semimiliter. Tentu kehidupan kami di asrama layaknya kehidupan militer, semua memiliki peraturan,” kisah Cindy.Kala itu (2017 lalu), diadakan seleksi untuk mengikuti kegiatan jalan jauh RPS, berupa lari selama 12 menit untuk diketahui berapa putaran yang bisa dijalani. Saat diumumkan, ternyata Cindy lolos. Ia berhak mengikuti tahap selanjutnya, yakni latihan selama kurang lebih satu bulan.“Kami dilatih jalan jauh seperti berangkat dan pulang sekolah, walaupun setiap pulang latihan itu muka merah dan kulit jadi hitam,” ucapnya.

Bagi Cindy, hal itu bukan masalah. Justru pengalaman itu makin memperkuat stamina tubuhnya. Menurutnya, kecantikan seorang perempuan tak hanya sekadar soal penampilan fisik yang menawan, tapi juga soal isi kepala serta hal-hal positif yang dilakukan. “Saat mulai perjalanan tapak tilas itu, pagi-pagi kami sampai di lokasi perjalanan di bukit, di bawahnya ada Pantai Parang Tritis. Perjalanan pun dimulai. Dalam perjalanan, saya dan teman-teman sekolah saya hampir ingin menyerah karena tidak sanggup lagi, tapi saya tetap memaksakan diri, karena sedikit lagi perjalanan selesai,” bebernya.

Dari kegiatan itu, Cindy mendapat banyak pengalaman yang begitu berarti. Bisa belajar menjalani kehidupan sebagai seorang siswa Akademi Militer (Akmil). Dari situ ia belajar bahwa perempuan pun bisa kuat dan seimbang dengan laki-laki.“Yang terpenting adalah niat dan konsisten dalam melakukan yang kita pilih dan jalani, yang paling penting bahwa makna dari kegiatan RPS ini yakni kita sebagai generasi penerus bangsa dapat mengetahui perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam membela negara. Walaupun dalam kondisi sakit, Jenderal Soedirman memilih terus berjuang. Dari kegiatan inilah jiwa patriotisme dan nasionalisme saya terbentuk,” tutur Cindy. (*/ce/ala)
Exit mobile version