Mengikuti perjalanan bersama Geng Kapak, seniman, serta budayawan Kalteng, meninggalkan kenangan syarat kekeluargaan. Seminggu menjelajah hingga pedalaman Murung Raya, memberikan pengalaman tak ternilai harganya. Alam raya mengajari logika hingga metafisika menjadi kearifan lokal nan kekal.
ALBERT M SHOLEH, Puruk Cahu
PERSIAPAN mental ternyata tak kalah penting dibanding kesiapan fisik dan bekal. Perjalanan darat dengan jarak tempuh Palangka Raya – Kuala Kurun – Murung Raya hingga beberapa titik lokasi, mengikis keringat dan keyakinan.
Sembari mencoba menelusuri mozaik Dayak Siang, diawali dari Rumah Betang Apat, Desa Konut, Kecamatan Tanah Siang. Sebagian menyebut sebagai Betang Konut, rumah yang kini dihuni enam kepala keluarga dengan beragam agama.
Perjalanan ditemani 17 anggota Geng Kapak yang boleh dibilang seniman dan budayawan muda. Menari? Tentu saja mahir. Selain itu, mereka juga ada keterikatan leluhur Huma Betang Tumbang Apat dan Dayak Siang.
Tepat pukul 17.00 WIB tiba di Huma Betang. Barang bawaan, logistik, hingga alat musik dan kostum tari diangkut Geng Kapak naik rumah betang. Sedangkan penulis bersama empat orang fotografer dan videografer Hitam Putih Borneo (HPB), kegirangan melihat indahnya senja.
Pasang tripod untuk timelapse. Mondar-mandir mencoba bikin konten. Menerbangkan drone sebelum gelap, melihat sekitar Sungai Babuat, hingga mencoba mengintip air terjun Tomoku berjarak tak lebih 2 kilometer (km).
Namun, ratusan frame foto tampak blur alias tidak fokus, meski lensa sudah dikunci ke satu titik. Video? Lensa manual fokus pun seolah berbayang dan hilang fokus. Nasib drone? Sempat hilang kontak. Drone mengandalkan GPS. Lantaran tidak ada sinyal telekomunikasi, alhasil sulit dikendali. Hingga seperti menabrak pembatas awan, meski langit tampak cerah.
Belum sadar. Namun, kepala rombongan Jimy O Andin mulai menghampiri tim visual. Begitu juga Althur Malik yang langsung masuk rumah betang tatkala senja menuju gelap.
“Ayo masuk semua,” kata Jimy memanggil.
Peralatan foto, video, audio, alat musik, kostum, dan sejenisnya dikumpulkan di tengah huma betang. Dikelilingi seluruh rombongan dan keluarga tuan rumah. Ternyata mereka menggelar ritual. Ada telur, ayam, beras kuning, anding, dupa, dan lainnya.
Asianel, Basir atau Basi Tumbang Apat memimpin ritual. Jimy mencoba menatap wajah tim dokumentasi untuk tetap tenang dan mengikutinya. Usai doa dan niat izin dilantunkan basir, semua peralatan dibuat tampung tawar. Di akhir ritual, penyambutan tuan rumah terhadap tamu dengan menyediakan anding, memberikan nuansa lain. Segelas anding atau minuman tradisional tidak memabukkan. Cukup melegakan dan menghangatkan badan. Sebagai pembuka perkenalan dan saling sapa.
Althur Malik mengenalkan keluarga betang dan tamunya dengan bahasa Dayak Siang. Dari semua tim yang datang, hanya Jimy yang bisa. Kudapan, kopi, dan anding atau minuman tradisional (baram) menemani keakraban malam itu.
Sejak selesai ritual dan pengambilan gambar di betang dan sekitarnya, malam, pagi, siang, sore hingga malam lagi selalu ritual. Minimal minta izin atau mengutamakan tujuan baik.
“Di rumah betang ini ada poros tengah sebagai tanda untuk garis keturunan sebelah Andin dan Ura Tarung,” ucap generasi keempat leluhur Huma Betang Apat dari Keluarga Ura Tarung, Althur Malik.
Pria yang juga empunya panggilan Ali Laca Singa Bulo (Ontun Danum) itu menuturkan, Rumah Betang Apat dibangun pada 1897. Rumah di Sungai Babuat ini sudah dipugar. Merupakan rumah kedua. Sedangkan rumah betang pertama ada di daerah yang dinobatkan pemerintah sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT). Hanya tersisa bangunan saja.
Selain bercerita tentang silsilah keluarga dan moyang mereka, Althur teringat pesan dan pelajaran hidup turun-temurun. Ya, hidup dalam kebersamaan, hapakat. Huma betang dibangun untuk bersama, tidak bisa dibangun satu pilar.
Pilar-pilar ini menggambarkan saudara, anak cucu yang saling jaga persaudaraan. Perselisihan diselesaikan dengan kekeluargaan (kesepakatan/kapakat). Tidak ada kehidupan sebagai dasar kehidupan keluarga selain kebersamaan kapakat itu sendiri.
“Jangan lupa leluhur! Meski kita tidak melihat dengan kasatmata, tapi leluhur ada di sekitar. Kita bisa merasakan melalui bukti dan warisan adat istiadat. Kita jaga, hormati,” tuturnya.
“Ingat, kita tidak menyembah, tapi menghormati mereka melalui adat istiadat yang diwarisi,” tutupnya.
Geng Kapak mandi di sungai tepat di depan betang. Yang lain siap menari untuk didokumentasi. Mandi di sungai dengan kedalaman sekitar enam meter. Debit air setinggi dada orang dewasa, meski dua hari sebelumnya disapu banjir lebih dari dua meter, memberikan pengalaman luar biasa. Bermodal senter, jernihnya air Sungai Babuat membuat batu di dasarnya tetap terlihat.
Usai mandi dan membersihkan diri, Jimy Oktolongere Andin/El Nazer Sarajan Ganap (Ontun Bahi/Kaju) juga mengatakan, di rumah leluhur mereka, memberikan bukti fakta Dayak Siang. Keragaman merupakan keniscayaan. Terbukti enam kepala keluarga di rumah betang ini punya keyakinan berbeda. Ada Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu Kaharingan. Inilah bukti kekeluargaan di tengah keragaman.
Falsafah Huma Betang. Ya, inilah bukti dari leluhur. Nah, sebagai generasi masa sekarang, banyak hal yang dititipkan moyang dan orang tua untuk tetap dilestarikan. Mulai dari budaya hingga alam dan lingkungan. Tetap menjadi manusia yang berkearifan lokal. Jangan kalah dengan perjalanan dan tantangan perkembangan zaman.
Jimy yang juga dosen di Universitas Palangka Raya tersebut menegaskan, sebagai contoh kata bijak burung nyaru, yang memiliki makna di mana hidup selalu menjunjung tinggi kearifan lokal dan bisa menyesuaikan zaman. Seperti halnya dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, maupun istilah think globally act locally (berpikir global bertindak lokal).
“Mau tinggal di desa dan kota sampai planet lain, kita sesuaikan sebagai orang Dayak yang berkearifan lokal (suno sonik / cucu cicit),” kata Jimy yang juga merupakan Ketua Dewan Kesenian Palangka Raya (DKPR).
Tepat di bawah pilar utama Huma Betang Apat, Jivy Ritchardo Andin/Kuleh Tarung Apui (Ontun Apui) menjabarkan tentang upaya menjaga dan melestarikan seni budaya.
Althur lebih berperan sebagai keturunan yang sering berkomunikasi dengan leluhur dan mahir penalaran metafisika. Jimy lebih bermain di wilayah edukasi dan menyebarluaskan seni budaya. Sedangkan Jivy tekun dengan generasi muda dan penerus, sekaligus sebagai filter kepada generasi di bawahnya.
“Sebagai bagian keluarga besar Betang Tumbang Apat, panggilan jiwa dan rohani tetap melestarikan budaya leluhur. Kiat yang saya lakukan sampai detik ini yakni terus melestarikan kesenian tari, musik, tradisi, maupun yang bersifat marginal. Generasi muda ambil bagian sebagai pelaku seni budaya, bukan penonton,” ungkap Jivy.
Pemuda yang juga abdi negara di Diskominfo Murung Raya itu menilai, budaya tidak boleh hilang karena jati diri dan identitas manusia. Belajar dari pesan leluhur dan orang tua, dengan bukti rumah betang, upaya sebagai pewaris tentu saja tidak akan membiarkan modernisasi menggerus adat istiadat Dayak.
Untuk itu, ia membentuk komunitas, sanggar, kelompok kecil, hingga kumpulan bernama Geng Kapak yang beranggotakan pemuda pelestari seni budaya dan adat istiadat, khususnya Dayak Siang.
“Kami bentuk kelompok kecil yang memberikan dampak positif. Mengarahkan ke hal positif, tidak berbaur budaya yang merusak generasi penerus, karena berangkat dari seni, kita dapat membentuk karakter pemuda yang terus melestarikan dan mengembangkan seni budaya berbagai cara, sistem, dan pola,” ucapnya.
Dalam pengembangan seni, ia menegaskan, tidak membatasi keinginan pemuda dengam cara masing-masing. Asal, tujuannya melestarikan seni budaya, menghormati adat istiadat leluhur Dayak sebagai bagian dari Bumi Tambun Bungai dan NKRI. (*/ce/bersambung)