Site icon KaltengPos

Ketertarikan di Bidang Forensik Muncul Ketika Ikut Ayah Dinas di Papua

dr Ricka Brillianty Zaluchu bersama para dokter muda disambut hangat jajaran pimpinan redaksi Kalteng Pos.ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

Podcast Ruang Redaksi Kalteng Pos kembali kedatangan tokoh inspiratif. Dia adalah Dokter (dr) Ricka Brillianty Zaluchu, dokter berpengalaman di bidang forensik. Banyak kisah menarik yang dibagikannya. Perbincangan di Ruang Redaksi itu juga akan ditayangkan di kanal YouTube Kalteng Pos.  

 

DHEA UMILATI, Palangka Raya

 DOKTER forensik merupakan salah satu profesi medis yang memiliki peran krusial dalam sistem peradilan. Sosok dr Ricka tentu sudah tidak asing di telinga aparat penegak hukum di Kalteng. Dia menjadi dokter pertama forensik di Kalteng yang bertugas sejak 2015 lalu. Kendati demikian, hingga saat ini ia belum berjodoh dengan jabatan pegawai negeri sipil (PNS), meski sudah mengabdi cukup lama.

Menjadi PNS tentu merupakan impian tak sedikit orang. Tidak terkecuali dr Ricka Brillianty Zaluchu. Namun ia mengaku peluangnya menjadi PNS belum ada.

“Nasib yang belum membawa saya ke sana (menjadi PNS). Kalau memang pemerintah, Bapak Gubernur berkehendak meminta saya menjadi PNS, dengan senang hati saya akan membantu masyarakat,” ujarnya saat berbincang ringan di podcast Ruang Redaksi Kalteng Pos, Kamis (21/9).

Ia menceritkan, kedatangannya ke Kalteng bersamaan dengan tragedi jatuhnya pesawat Air Asia di Pangkalan Bun. Saat itulah tugas pertamanya di Kalteng.

Terhitung sudah kurang lebih 8 tahun menjalani profesi sebagai dokter forensik di Kalteng. Saat ditanya alasan pemprov tidak memberikan status PNS kepadanya yang sudah mengabdi cukup lama, ia menyebut mungkin saja nasib belum berpihak padanya.

dr Ricka Brillianty Zaluchu (kiri) bersama petugas kamar jenazah ketika memotong kain kafan semasa pandemi Covid-19. AGUS PRAMONO/KALTENG POS

Dokter Ricka pernah berencana mengajukan diri menjadi PNS dan mengikuti tes di forensik Polri sekitar tahun 2021. Namun terlintas di benaknya, siapa yang akan menggantikan posisinya. Itulah salah satu pertimbangan yang membuatnya mengurungkan niat.

“Rezeki tiap orang berbeda, mungkin Allah membukakan pintu rezeki lain bagi saya,” tuturnya.

Ia pun termotivasi dengan ucapan sang suami bahwa mengabdi kepada bangsa dan masyarakat tidak selamanya dengan menjadi seorang PNS.

Sebagai dokter forensik pertama di Kalteng, dr Ricka memiliki segudang pengalaman. Ada hal menarik perihal awal ketertarikan dr Ricka dengan bidang forensik. Wanita kelahiran Jakarta itu sejak kecil sudah diarahkan orang tuanya untuk menjadi seorang dokter.

Lalu tumbuhlah keinginan menjadi seorang dokter obgygn (obsteri dan ginekologi). Namun pengalaman hidupnya saat masih duduk di bangku SMP telah mengubah cita-citanya. Kala ia melihat langsung jenazah anak buah sang ayah. Yang mana saat itu ayahnya yang merupakan anggota Polri berdinas di Papua.

“Di situ saya melihat langsung bagaimana jasadnya (anak buah ayahnya, red). Dari situ mulai muncul perasaan ingin tahu. Waktu itu saya masih duduk di kelas 7 SMP,”bebernya seraya menyebut saat ini ayahnya kini yang berusia 78 tahun masih aktif menjadi penasihat hukum di salah satu perusahaan.

Dokter Ricka menemukan tambatan hatinya saat sudah menjadi seorang dokter muda yang tengah menjalani masa koas di Universitas Diponegoro. “Kebetulan saya koas di forensik Undip, saat itulah saya dipertemukan dengan jodoh saya,” kekehnya.

Saat ditanya bagaimana cara mengetahui berapa lama jangka waktu kematian seseorang berdasarkan kondisi jasad, ia mengatakan dengan melihat ada tidaknya belatung.

“Belatung merupakan indikasi bagaimana jasad yang sudah membusuk, yang tentunya berbau dan akan memancing lalat untuk datang dan meninggalkan telur,” terangnya.

Telur itulah yang nantinya akan menjadi belatung. Diperkuat dengan pertambahan panjang belatung.

“Jadi bisa dihitung sejak ditinggalkan oleh lalat tadi sampai dia menjadi lalat dewasa, rata-rata 11 hingga 12 hari, tergantung jenis lalat,” jelasnya.

Sebagai dokter forensik, ibu dua anak itu dituntut harus jeli dan cermat saat berhadapan dengan kasus. Sehingga akan diketahui berapa lama sudah jasad tersebut meninggal.

“Jika jasad sudah mulai kering, maka sudah hampir telah meninggal 3 bulan, tetapi dilihat juga kondisi cuaca sekitar TKP seperti apa,” katanya.

Dikatakannya, tak jarang seorang dokter forensik turut dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus yang berhubungan dengan kematian.

Ia punya pengalaman menangani kasus pembalap yang meninggal sekitar medio 2016. Kala itu korban ditemukan meninggal di rumah pribadi dalam kondisi gantung diri.

“Saat itu saya dimintai pihak polsek untuk memeriksa jasad korban tiga bulan setelahnya. Meninggalnya bulan Agustus, tetapi diperiksa bulan November,” ucapnya.

Sesuai permintaan keluarga, kubur pun digali. “Semua tulang-tulang saya periksa. Lalu saya cocokkan dengan foto-foto di TKP. Saya menemukan kejanggalan, setelah mencocokkan dengan tulang-tulang. Akhirnya terungkap penyebab, siapa orangnya, siapa dalangnya, dan siapa pelakunya,” jelasnya.

Dapat dikatakan bahwa pekerjaan dokter forensik adalah bagian integral dalam sistem peradilan, yang memiliki peran penting dalam mengungkap kebenaran di balik kasus kematian misterius atau terkait tindak pidana.

Ada kontribusi dalam menegakkan keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Sayangnya, sarana prasarana yang berhubungan dengan forensik masih belum memadai  di Kalteng. “Kamar jenazah itu memang bukan bagian yang terlalu banyak menghasilkan dalam rumah sakit. Namun kalau tidak ada, bagaimana untuk melalukan perawatan?” tuturnya.

Sejauh ini, lanjutnya, perawatan dilakukan dengan sangat sederhana. Beberapa kali sampel darah harus dikirim ke laboratorium DNA Mabes Polri untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Karena itu ia berharap ke depannya sarana prasarana pendukung lebih diperhatikan demi menunjang kinerja bidang forensik. (*/ce/ala)

Exit mobile version