ANISA B WAHDAH, Palangka Raya
Kedai ini tak hanya berkonsep menyatukan alam dengan aktivitas manusia, tapi juga menyatunya sosial masyarakat.Sesuai konsepnya, kedai ini mengolah hasil kebun ke meja makan dan kembali ke kebun lagi, sekaligus mengurangi sampah plastik.
Lebih banyak menggunakan bahan yang bisa didaur ulang dan kembali ke kebun. Seperti daun pisang yang digunakan untuk bungkus makanan, bisa didaur ulang dan menjadi pupuk.Salah satu volunter Kedai Itah, Ashadi Ragil mengatakan, sebelum kedai tersebut didirikan, ia yang bernaung di Yayasan Permakultur Kaliamnyan memang sudah sejak lama mengurangi penggunaan bahan-bahan plastik. Menggantikannya dengan bahan-bahan yang bisa kembali ke alam.
.“Makanan di sini dibungkus dengan daun pisang, sedotan dari purun, kelapa langsung dengan batoknya, memang ada sampah dari kotak susu yang tidak bisa didaur ulang menjadi pupuk, tapi tetap kami manfaatkan dengan cara dipres jadi bata,” katanya saat diwawancarai di Kedai Itah, belum lama ini.Diungkapkannya, dengan konsep ini secara tak langsung pihaknya ingin menyampaikan pesan kepada pengunjung agar mengurangi penggunaan sampah plastik
Melalui Kedai Itah dapat memberikan contoh kepada masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan.“Dengan konsep kami ini, minimal kami tidak lagi menambah jumlah limbah, seperti diketahui saat ini Indonesia darurat sampah plastik,” ungkapnya.Ide berdirnya kedai ini berawal dari kumpulnya para komunitas yang belajar bersama dan sharing di Yayasan Permakultur Kalimantan.
Untuk menyediakan wadah bagi para komunitas, akhirnya didirikanlah kedai ini. Tak disangka, setelah kedai yang berdiri pada awal 2020 lalu ini akhirnya banyak dikunjungi masyarakat.“Awalnya kedai ini sebagai wadah bagi para komunitas, tapi lama-lama banyak dikunjungi masyarakat secara umum,” katanya.Semula menu yang disajikan hanya beberapa.
Yang disajikan berasal dari kebun yang dikelola oleh Permakukultur, seperti singkong, kepala, jamur, dan beberapa lainnya. Namun seiring menjamurnya pengunjung, menu pun makin bervariasi.“Untuk menambah varian menu, kami menggandeng masyarakat sekitar, kami juga memberi kesempatan bagi siapapun yang mau menjual produknya di kedai ini,” ucap pria 23 tahun ini.
Menariknya lagi, kedai yang dikonsep menyatu dengan alam ini benar-benar terasa. Konsep kesederhanaan yang ditonjolkan menjadi daya tarik bagi para pengunjung. Jauh berbeda dengan fasilitas yang ditonjolkan pada kafe-kafe di perkotaan. Jika kafe atau kedai di perkotaan berlomba-lomba memberikan layanan wifi, ruangan dingin ber-AC, dan kursi empuk nan mewah, tapi tidak dengan kedai yang satu ini.
Betul-betul menyatu dengan alam.“Fasilitas yang bisa kami berikan hanya dengan duduk di tanah beralaskan selembar karpet dengan pemandangan kebun di sisi kiri dan kanannya,” ucap pria alumnus Univeristas Palangka Raya jurusan Program Studi Agroteknologi ini.
Ashadi menyebut, pengunjung yang datang dari berbagai kalangan. Dari anak muda hingga yang tua. Pejabat, komunitas, hingga keluarga besar. Tak hanya dari wilayah Tangkiling, tapi juga warga ibu kota.“Bahkan ada yang datang dari Banjarmasin, Katingan, dan Sampit, mereka bilang penasaran dengan tempat ini, karena di tempat ini bisa bernostalgia dengan alam,” tuturnya.
Pria yang lahir pada 29 Maret 1998 ini mengatakan, di tengah pandemi saat ini, penerapan protokol kesehatan menjadi perhatian serius pihaknya. Bahkan, Satgas Covid-19 juga datang memantau dan memberikan edukasi soal pencegahan penularan Covid-19.
“Kami buka dari Kamis hingga Minggu, hari lainnya kami aktif di kebun,” ucapnya.Sementara itu, salah satu pemilik dapur pecel, Tejo mengatakan sangat terbantu dengan adanya Kedai Itah. Sejak pandemi Covid-19 melanda, penghasilannya jadi terganggu karena job proyek yang sepi. Ia memutuskan membantu istrinya mengolah pecel untuk dititipkan di Kedai Itah.
“Istri saya yang memasak di rumah, anak saya mencatat keluar masuk pecel yang dipesan Kedai Itah, dan saya yang mengantarkan pecel ini dari rumah ke kedai, dalam sehari bisa bolak balik lima hingga sepuluh kali,” katanya saat dibincangi.Pesanan pecel melonjak tiap akhir pekan, yakni Sabtu dan Minggu. Dalam sehari bisa mencapai 100 bungkus bahkan lebih. Sedangkan pada Kamis dan Jumat pesanan hanya berkisar 60 hingga 70 bungkus.“Lama-lama kami kewalahan dan istri saya membayar pekerja untuk membantu proses produksi pecel,” ucapnya.Omzet yang diterima tiap Minggu malam mencapai Rp2 juta hingga Rp3 juta. Keuntungan bersih yang didapatkan sekitar Rp1 juta hingga Rp2 juta.
Pendapatan itu hanya dalam jangka waktu empat hari dalam sepekan. Dengan demikian, dalam sebulan ia bisa mendapatkan pendapatan bersih kisaran Rp6 juta.“Dengan adanya kedai ini, perekonomian kami sangat terbantu, terlebih di tengah pandemi seperti saat ini,” ucapnya.Penghasilan dari penjualan pecel itu sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga meski ia tidak lagi bekerja di proyek. Bahkan saking banyaknya orderan di kedai, terkadang pelanggan datang langsung ke rumah demi mendapatkan pecel.
Terpisah, Mery yang merupakan salah satu pengunjung mengatakan sudah dua kali datang ke Kedai Itah, meski harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari Kota Palangka Raya.“Awalnya saya dengar cerita teman-teman tentang kedai ini, saya jadi penasaran, kemudian ingin kembali lagi ke sini,” katanya.Perempuan berkacamata ini merasakan keunikan yang tersaji di kedai tersebut.
Konsep kembali ke alam yang ditawakan benar-benar dirasakan pengunjung. Ditambah lagi menu hidangan yang disajikan khas makanan pedesaan.“Makan nasi jagung di tengah kebun, saya merasa seperti berada di kampung halaman, tidak rugi jika saya datang jauh-jauh dari Palangka Raya untuk menikmati suasana ini,” tutupnya. (*/ce/ala)