PALANGKA RAYA-Sejumlah petani di kawasan pengembangan food estate menyayangkan naiknya harga jual pupuk yang tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET). Keluhan para petani ini akhirnya mendorong pemerintah dan kepolisian turun tangan menindaklanjuti dan memastikan kebenaran di lapangan.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan (TPHP) Kalteng Sunarti melalui Kepala Seksi Pupuk dan Alsin Dardiansyah mengatakan, terkait informasi soal kenaikan harga pupuk di wilayah food estate, pihaknya telah merespons dengan menurunkan tim ke lapangan dan mendatangi langsung kios/toko pengecer.
“Jadi intinya itu kurang sosialisasi antara pemilik kios/toko pengecer dengan para petani, karena HET itu pada dasarnya hanya sampai di gudang kios/toko pengecer,” katanya kepada Kalteng Pos, Kamis (7/10).
Apabila pihak pemilik kios/toko pengecer yang mengantar langsung pupuk ke rumah-rumah petani, tentu dikenakan sewa atau ongkos kirim. Dan itu tergantung kesepakatan. Namun karena tidak ada sosialisasi, maka dianggap ada kenaikan harga pupuk di atas HET. Sebaliknya jika para petani yang mengambil sendiri pupuk di kios/took pengecer, maka harga jual pupuk sesuai HET.
“Selama ini pemilik kios/toko pengecer yang mengantar pupuk ke petani atau kelompok tani, tetapi ada yang tidak tahu bahwa HET itu berlaku hanya di kios/toko, kelompok yang lain tidak ada yang protes terkait harga ini, karena mereka tahu bahwa HET hanya sampai di kios, jadi persoalan ini lebih pada kesalahan komunikasi,” ucap Dardi.
Alsin menegaskan, penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan dinas pertanian terkait semestinya gencar melakukan sosialisasi agar tidak ada kesalahpahaman antara penjual/pengecer pupuk dengan para petani. Terkait permasalahan yang muncul belakangan ini, ia menambahkan, setelah dilakukan klarifikasi terhadap kedua belah pihak, yang melapor soal kenaikan harga pupuk sudah membuat surat pernyataan bahwa laporan mereka tidak benar.
“Prosedur pendistribusian itu dari produsen ke distributor, kemudian dari distributor ke gudang kios/toko pengecer, barulah pendistribusian dilanjutkan ke petani,” bebernya.
Seperti diketahui, petani di kawasan food estate Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) sedang tidak baik-baik kondisinya. Garda terdepan dalam menyediakan pangan ini butuh perhatian dari pemerintah. Itu menyusul mahalnya harga pupuk subsidi di kios/toko pengecer. Harga yang dijual ke petani dinilai tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah.
Tidak hanya soal HET yang dikeluhkan petani, tapi juga pendistribusian pupuk bersubsidi jenis Urea dan NPK Phonska yang terlambat. Hal ini membuat petani mendesak pemerintah pusat hingga daerah segera turun tangan mengatasi keluhan mereka. Pasalnya, jika tidak segera diatasi, dikhawatirkan memengaruhi hasil tanam tahun ini.
Perihal mahalnya harga pupuk bersubsidi ini dibenarkan oleh Mulyono selaku ketua Kelompok Tani (Poktan) Margomulyo, Desa Belanti Siam. Ia mengatakan, harga pupuk bersubsidi terutama jenis pupuk Urea dan NPK Phonska sudah naik sekitar Rp10 ribu sampai Rp20 ribu per sak 50 kg.
“Harga eceran tertinggi untuk pupuk Urea tercatat Rp112.500, tapi sekarang dijual ke petani Rp125.000 dan NPK Phonska harga HET-nya Rp115.000, tapi dijual di sini Rp135 ribu per sak 50 kg,” kata Mulyono yang mengaku kenaikan ini sudah terjadi sekitar sebulan terakhir.
Keterangan Mulyono ini dibenarkan rekan ketua poktan di desa itu, Pujiaman. Menurut Ketua Poktan Sido Mekar ini, selain harga jual yang dinilai mahal, pupuk yang didatangkan pun sering terlambat.
“Pupuk ini datang sih datang, tapi sering terlambat, tidak tepat waktu saat petani butuh untuk pemupukan,” terang Pujiaman yang mengaku tidak mengetahui persis penyebab keterlambatan datangnya pupuk bersubsidi. (abw/ce/ala)