Site icon KaltengPos

PT BMB Minta Pemerintah Tinjau Kembali

Rudy dari PT BMB saat jumpa pers..


Buntut dari Men-LHK Mencabut 56 Izin Konsesi Kawasan Hutan di Kalteng

PALANGKA RAYA – Awal tahun 2022, pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan kebijakan yang menghebohkan. Sebanyak 340 pemegang izin konsesi kawasan hutan dari seluruh penjuru negeri dibuat pusing tujuh keliling.

Apalagi dalam SK Men-LHK RI Nomor: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 itu sebanyak 234 jelas-jelas dinyatakan untuk dicabut izinnya. Padahal luasan kawasan yang dikuasai atas izin konsesi yang dicabut itu jumlah mencapai 3.939.236,29 hektare.

Jumlah itu terdiri dari 42 izin yang dicabut sejak September 2015 hingga Juni 2021. Terakhir adalah 192 izin yang dicabut, juga termasuk dalam lampiran SK Men-LHK dimaksud. Dan sebanyak 109 izin dengan luasan 1.369.567,55 ha dinyatakan akan dievaluasi.

Jelas saja menghebohnya, karena sejatinya ada sejumlah perizinan tersebut yang diklaim sudah dilakukan sebagaimana mestinya dan berjalan dengan baik sesuai peruntukan. Bahkan  diperkuat dengan Hak Guna Usaha (HGU) diatasnya. Terkhusus untuk kawasan perkebunan sawit.

Ironisnya ternyata dari jumlah itu sebanyak 56 pemegang izin konsesi kawasan hutan itu berada di wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng). Hanya 19 yang dinyatakan dievalusi. Keputusan Men-LHK itu berlaku per 6 Januari 2022.

Salah satu pemegang izin konsesi hutan yang dicabut itu adalah PT Berkala Maju Bersama (BMB) yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Legal Senior Manager dan HRGA PT BMB Rudy Tresna Yudha mengatakan, pihaknya akan meminta klarifikasi dan kejelasan dari KLHK soal pencabutan izin dimaksud.

“Sebab dalam areal izin konsesi kawasan hutan yang dicabut itu sudah ada sertifikat HGU. Padahal HGU hanya dapat terbit di kawasan APL (Areal Penggunaan Lain, Red). Luasnya 9.445,46 hektare yang juga mencakup luasan pelepasan kawasan 8.559,45,” ucapnya di Yandros Caffe, Sabtu (8/1).

Bahkan sebagian kawasan itu sudah ditanami sekitar 5.000 hektare. Dalam area itu juga terdapat kebun plasma milik warga setempat. “Apabila izin PT BMB benar-benar dicabut, akan menambah beban pemerintah, lantaran 900 karyawan akan kehilangan pekerjaan, sebagian besar merupakan pekerja lokal,” ujarnya.

Padahal dari sisi perizinan, menurut Rudi pihaknya sudah memperoleh SK pelepasan kawasan seluas 8.559,45 hektare pada 2014 lalu. Saat ini mereka telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas kurang lebih 12.000 hektare dan sudah terdaftar dalam Online Single Submission (OSS).

Atas HGU dan pelepasan kawasan itu dijelaskan Rudi, bahwa mereka sudah mengusahakan sekitar 5.000-an hektare bersama masyarakat. Bahkan pabrik kelapa sawit (PKS) telah beroperasi di Kecamatan Manuhing dengan kapasitas 45-60 ton/jam. Tahun 2023 akan ada PKS di Kecamatan Kurun.

“Dengan terbitnya SK tersebut, menambah ketidakjelasan status dan fungsi areal saat ini. Karena seharusnya HGU hanya bisa terbit di areal APL? Apalagi selama ini pihaknya belum pernah mendapat peringatan tertulis dari Kementerian ATR/BPN terkait evaluasi penggunaan lahan HGU,” lanjutnya.

Termasuk dari Kementerian atau Dinas Perkebunan. Bahkan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) selalu baik. “Artinya lahan yang diberikan HGU digunakan secara aktif dan bukan lahan telantar. Kami mohon pemerintah meninjau kembali SK Menteri LHK tersebut untuk kepastian investasi kami,” pungkasnya. (ron)

Exit mobile version