Site icon KaltengPos

Ambil Secukupnya, Masak Secukupnya, Jadi Tak Ada Sampah Makanan

KEBUN DI ATAS RUMAH: Jessica Halim di kebun yang terletak di rooftop kediamannya di Jakarta. Mayoritas kebutuhan dapurnya terpenuhi dari kebun tersebut. FOTO: JESSICA HALIM UNTUK JAWA POS

Kebun di rooftop rumah Jessica Halim bukan cuma tempat sekitar 75 persen kebutuhan dapurnya berasal, melainkan juga laboratorium alam tempat anak-anaknya belajar. Dia mengombinasikan buah, sayur, dan bunga untuk mengendalikan hama.

FERLYNDA PUTRI, Jakarta

AWALNYA kangkung. Jessica Halim menyemai bibitnya di media tanam. Dua-tiga hari kemudian berkecambah. Ketika genap empat minggu, sudah bisa panen.

Gampang, praktis, dan bisa dilakukan tanpa keluar rumah, bahkan ke halaman sekalipun. Cukup ke rooftop kediamannya yang terletak di Jakarta. 

”Sebelumnya saya pikir berkebun itu susah, karena harus bagi waktu dan merawatnya,” tutur perempuan karier sekaligus ibu dua anak itu saat dihubungi Jawa Pos (Grup Kalteng Pos).

Panen kangkung membuatnya bangga sekaligus ketagihan. Dia mencoba melanjutkan dengan menanam bumbu dapur. Bibitnya ada di dapur. ”Kebetulan saya memang suka masak,” ujarnya.

Ternyata bumbu dapur seperti jahe, kunir, dan kencur juga dapat dengan mudah bertunas. Tancapkan saja pada tanah, lalu beberapa hari akan bertunas.

Dan, tahu-tahu dari keisengan mengisi waktu selama pandemi pada hampir 1,5 tahun terakhir, rooftop-nya sudah jadi kebun, bahkan supermarket. Terkait tanaman-tanaman itu, ada yang dia beli sendiri bibitnya, ada yang memperbanyak dengan stek atau cara lain, ada juga pohon yang didapatnya dari teman dan kolega.

Dari sana 75 persen kebutuhan dapurnya berasal. Juga tempat dia, suami, serta kedua anak mereka bermain dan bersantai.

Dari ”belantara” di atas rumahnya itu pula dia memetik banyak pelajaran hidup. Salah satunya mengajari dia agar tidak membuang sampah makanan.

”Saat panen, saya ambil secukupnya saja, membiarkan sebagian untuk jadi bibit. Dengan demikian, saya juga masak secukupnya. Jadi, nanti tak buang sampah makanan,” katanya.

Dua hari lalu (13/7), di Insta story, Jessica pamer bitterballen. Bitterballen buatannya tidak berbahan baku kentang, melainkan talas yang dipanen dari kebunnya. Dia menyisakan pangkalnya agar tumbuh tunas dan bisa dipanen lagi kapan-kapan.

Berkebun juga mendorong Jessica terus belajar. Dia tak lagi asal menanam. Terus mencari tahu tanaman apa dapat digunakan sebagai apa.

Jessica menginstal aplikasi untuk mengenali jenis tanaman dari daunnya. Agar saat membuang gulma, tanaman yang bermanfaat tidak ikut tercabut.

Jessica juga belajar mengombinasikan hasil kebunnya. Selain talas, dia juga panen daun kencur. Daun kencur itu dimasak tumis dengan jamur kuping. Cabainya tentu didapat juga dari kebun.

Di Instagram, Jessica terbilang kerap memperlihatkan masakannya. Dia bisa membuat roti dari ubi, gyoza kale, atau gado-gado kebun. Dinamai demikian karena hampir seluruh bahannya dari kebun. Ada daun kacang panjang, bayam brasil, hingga asparagus.

”Dulu saya dapat bibit asparagus saat cari bibit untuk microplant,” tuturnya.

Kalau masakan western, asparagus biasanya disandingkan dengan steak daging. ”Dengan menanam sendiri, saya akhirnya belajar memakan yang belum pernah saya makan,” ujarnya.

Salah satu yang akhirnya dikonsumsi adalah lenca. Buah lenca biasanya dimakan dengan lalapan atau pecel.

Dengan menanam sendiri, anak-anaknya juga jadi gemar makan sayur. Sebab, mereka dilibatkan selama proses menanam. Terkadang saat mengolah hasil panen pun ikut ke dapur.

”Saya sering bilang ke anak, ayo ke supermarket di atas,” ucapnya.

Jessica juga belajar kegunaan tanamannya selain untuk dimakan. Misalnya, daun jinten yang bisa difungsikan sebagai antiseptik. Kalau ada luka, cukup diolesi daun jinten yang dilumatkan.

Oyong yang biasa dibuat sup ternyata dapat digunakan sebagai alat cuci piring. Oyong yang tua dan berserat dikeringkan. Nanti bertekstur seperti busa cuci piring.

Ulat dan hama lain tak menjadi musuh serius. Semua tanaman Jessica tak menggunakan pupuk kimia. Semuanya organik.

Dan, namanya menanam secara organik, otomatis harus berdampingan dengan alam. Termasuk memaklumi keberadaan hama. Cukup dikendalikan. Tidak perlu mengontrol berlebihan terhadap kebunnya.

Dalam lanskap yang berbeda, Jessica tak ubahnya karakter Korot dalam novel Tahun Penuh Gulma karya Siddhartha Sarma. ”Dia mencabuti musuh-musuhnya dan merawat teman-temannya, sampai hujan berhenti dan lapisan tanah bagian bawah mengeras sedikit, dan petak-petak bunganya aman.”

Jessica mengombinasikan buah, sayur, dan bunga di kebunnya untuk melawan musuh-musuhnya (baca: hama) dan merawat teman-temannya (baca: tanaman). Bunga matahari, misalnya, ditanamnya agar belalang tak menggerogoti sayurannya.

Selain itu, menanam bunga mengundang serangga untuk membantu penyerbukan. ”Jadi seperti hutan. Bekerja dan tumbuh dengan sendirinya,” imbuhnya.

Termasuk memelihara ayam agar kotorannya bisa digunakan sebagai pupuk. Jadi, kebun miliknya bukan hanya tumbuhan, tapi juga ada hewannya.

Jessica juga membuat pupuk cair dari limbah makanan yang diberi gula jawa. Pengusir hamanya menggunakan kulit bawang.

Jawa Pos mencoba mempraktikkan resep mengusir hama dari Jessica itu. Kulit bawang yang biasanya dibuang, direndam dengan air, lalu didiamkan dua malam.

Airnya lantas dituang ke semprotan burung untuk kemudian disemprotkan ke sawi, daun bawang, dan pohon cabai depan rumah. Semoga saja berkurang daun yang bolong karena dimakan hama.

Kebun Jessica di rooftop itu juga akhirnya menjadi sumber pengetahuan alias laboratorium alam untuk kedua putrinya. Metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu, misalnya, tidak hanya dilihat di buku atau internet.

”Lebih dari buku dan internet, mereka bisa melihatnya langsung di kebun,” katanya. (*/c19/ttg/jpg/ce/ala)

Exit mobile version