Tanda apostrof di atas huruf itu menyembunyikan sesuatu. Begitu pula dua huruf terakhir di judul lagu, RI. Seharusnya kapital, tapi ditulis dengan huruf kecil. Jadi, seharusnya judul lagu itu: Bagimoe Neg’RI. RI jelas mengacu kepada Republik Indonesia yang ketika lagu itu ditulis pada 1942 masih berada dalam ”kandungan.”
“JUDUL sebenarnya disembunyikan karena waktu itu masih dalam penjajahan Jepang,” tutur Adira Hesti Ksvara sembari menunjukkan notasi tulisan tangan asli Kusbini kepada Jawa Pos (Grup Kalteng Pos).
Adira adalah cucu Kusbini, penulis lagu yang di kemudian hari dikenal dengan judul Bagimu Negeri tersebut. Itulah salah satu lagu perjuangan yang demikian patriotik dan maknanya mendalam sampai sejumlah kalangan menyebutnya ”lagu kebangsaan kedua.”
Begitu populernya lagu tersebut, tapi tak banyak yang tahu bahwa Kusbini harus menyiasati ketatnya pengawasan Jepang demi menuliskan judul. Dan, berkat strategi penjudulan tersebut, dia lolos saat diinterogasi pasukan Jepang. Padahal, Jepang menginterogasinya dengan menghadirkan ahli sastra asal negeri mereka sendiri. Namun, tutur Adira, sang ahli pun angkat tangan saat berusaha membongkar sesuatu di balik judul itu.
”Ahli sastra ini tidak bisa membuktikan apa pun,” jelas pria 27 tahun tersebut kepada Jawa Pos (Grup Kalteng Pos) saat ditemui di rumahnya di Perumahan Wonolelo Indah, Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (15/8).
Kusbini lahir di Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, pada 1 Januari 1910. Mengutip situs Arti Definisi Pengertian, dia mengenyam pendidikan di HIS Jombang, lalu melanjutkannya ke MULO Surabaya. Di Surabaya inilah dia sering bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Selanjutnya, dia menempuh pendidikan di Sekolah Musik Apollo, Malang.
Pada 1937–1942, dia banyak bermain keroncong bersama Annie Landouw, Abdoellah, dan Gesang. Memasuki masa penjajahan Jepang, dia memimpin orkes sekaligus menjadi pemain biola pada Hoso Kanri Kyoku yang kelak menjadi RRI.
Pada 1950, Kusbini bekerja di P&K Jogjakarta. Di masa tuanya, dia menulis sejumlah buku. Di antaranya, Kumpulan Lagu-Lagu Keroncong Indonesia dan Sejarah Seni Musik Keroncong Indonesia. Di Jogjakarta pula, Kusbini mengembuskan napas terakhir pada 28 Februari 1991.
Dalam penjudulan lagu Bagimu Negeri, Kusbini sempat meminta pendapat dari Soekarno, sahabatnya yang di kemudian hari menjadi presiden pertama Indonesia. Soekarno pula yang meminta judulnya diubah untuk mengantisipasi kecurigaan Jepang. ”Tapi, begitu ditanya diubah menjadi apa, Soekarno berceletuk tidak tahu,” ujar Sapta Ksvara Kusbini, anak ketujuh Kusbini dan ayah Adira.
Setelah Kusbini bertirakat dengan berpuasa selama tiga hari, didapatkanlah ide, strategi, berkelit, atau apalah namanya itu.
Bagimu Negeri sempat digugat J. Moejo Semedi yang mengklaim sebagai penulis lagu tersebut dengan judul Padamu Negeri. Namun, Kusbini akhirnya memenangi perkara hukum pada 1978 tersebut.
Kelincahan Kusbini dalam membuat lagu, kata Sapta, ditopang dengan kecerdasannya dalam mengolah bahasa. Menurut Sapta, sang ayah mendalami bahasa Sanskerta. ”Dalam nama anak-anaknya juga ada kelincahan mengolah kata dan campuran bahasa Sanskerta,” ungkapnya.
Ksvara merupakan akronim dari Kusbini suara. Kusbini diwakili dengan huruf K dan kata suara dalam bahasa Sanskerta adalah svara. ”Jadi, (ada) suara Kusbini dalam nama-nama anaknya,” jelasnya.
Pada 2017, Bagimu Negeri juga sempat dikritisi penyair Taufik Ismail. Larik keempat dalam liriknya, Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami, dinilai Taufik tak tepat karena jiwa raga hanya untuk Tuhan. Sapta menjelaskan bahwa sebenarnya frasa jiwa raga merujuk kepada manusia yang saat lahir terdiri atas jiwa dan raga. ”Kalau kemudian ada yang mengartikan sesuatu, semua itu perspektif,” jelasnya.
Warisan Kusbini bukan hanya segudang lagu. Bahkan lintas bidang seni. Sapta mengungkapkan bahwa sang ayah sejatinya juga perupa. Saat ini ada peninggalan karyanya yang masih disimpan keluarga. Yakni, berupa dua buah patung bernama Hukum Rimba dan Anggoro Kasih. Penampakan Patung Hukum Rimba seperti seekor macan yang sedang menerkam sapi. Patung Anggoro Kasih berbentuk seekor ular yang melilit dan akan memakan dunia.
Ada juga warisan Kusbini dalam dunia pendidikan, yaitu Sekolah Olah Seni Indonesia (SOSI). Sekolah seni itu didirikan Kusbini semasa hidup. ”Saat saya masih kecil dan duduk di bangku kelas V SD itu, sudah ada SOSI,” kata Sapta yang kini berusia 58 tahun.
Saat itu Kusbini yang mengajar sendiri di SOSI. Dengan guru selegendaris itu, tentu saja murid-muridnya lantas menjadi tokoh seni yang berpengaruh. Misalnya, seniman tari Bagong Kussudiardja, musikus M.P. Siagian, dan penyanyi Prananingrum. Dari generasi yang lebih muda, lulusan SOSI, antara lain, Ebiet G. Ade dan Eross Sheila on 7. ”Masih banyak lagi murid lulusan SOSI,” tuturnya.
Sapta juga mengajar di SOSI, bahkan sejak masih berusia 15 tahun. Musik memang diajarkan Kusbini kepada semua anaknya. ”Hingga semua anaknya memahami dan ahli dalam musik,” ujar pengajar di Sekolah Menengah Musik Jogjakarta tersebut.
SOSI masih terus berupaya menggeliat. Beberapa waktu lalu, beberapa alumnusnya bermaksud menghelat seabad Kusbini. Sayangnya, rencana itu belum terwujud. ”Tapi, kami memiliki rencana selanjutnya,” katanya.
Anak-anak Kusbini ingin kembali menyalakan ”api” di SOSI. Dengan berbagai cara, semata-mata agar warisan Kusbini terus memberikan arti untuk negeri. Karena itu, ada rencana untuk kembali mempertemukan alumni SOSI. Entah secara virtual atau temu langsung. Tentunya dibingkai dalam sebuah acara musik atau seni. ”Semoga bisa terlaksana,” kata Sapta. (idr/c14/ttg/jpg)