Banyak cerita menarik ketika menginjakkan kaki di Provinsi Papua. Selain merekam dan menyaksikan ingar bingar kemeriahan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX, juga ada sejumlah tradisi Bumi Cenderawasih yang tak bisa dilupakan.
EMANUEL LIU, Jayapura
KEMERIAHAN PON XX Papua sudah dirasakan ketika kontingen olahraga dari berbagai provinsi tiba di Bandara Sentani, Jayapura. Anak-anak muda Papua dengan baju khas adat, menyuguhkan tari tradisional. Pertunjukan itu dilakukan setiap menyambut peserta yang datang ke Papua dari penjuru Nusantara.
Selain kaya akan kesenian dan budaya, Papua juga memiliki tradisi turun-temurun yang masih terjaga hingga kini. Salah satunya tradisi mengunyah pinang. Ketika
bertugas meliput perjuangan kontingen Kalteng, saya sering melihat masyarakat lokal setempat mengunyah pinang. Kebiasaan warga mengunyah pinang itu hanya terlihat di halaman hotel, venue pertandingan, dan tempat fasilitas umum lainnya.Bahkan selama perhelatan PON, warga lokal mengunyah pinang sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Di beberapa sudut Kota Jayapura, mudah dijumpai pedagang yang menjual pinang.
Selama ini, saya berpikir bahwa hanya lansia yang punya kebiasaan mengunyah pinang. Namun, pada PON kali ini, saya menyaksikan sendiri anak-anak muda di Papua yang saban hari mengunyah pinang. Saya dan kontingen PON pun mencoba menjajal permen ala orang Papua pengganti rokok itu. Menurut masyarakat setempat, dengan mengunyah pinang bisa menguatkan gigi dan gusi. Selain itu, sensasi saat mengunyah pinang sangatlah unik. Ada kombinasi manis dan asam bak rasa pasta gigi.
Bagi masyarakat lokal di sana, tradisi inni sudah diturunkan sejak berabad-abad lalu. Tidak hanya untuk menjaga kesehatan gusi dan gigi, pinang dan sirih juga menjadi tanda keakraban dan persaudaraan bagi sesama warga Papua.Perhelatan olahraga akbar kali ini diwarnai dengan aksi mengunyah pinang. Bukan hanya masyarakat lokal, tapi juga para perwakilan dari 34 provinsi.
Ada juga yang celoteh bahwa pinang adalah permennya orang Papua. Dengan ikut mengunyah pinang, sebagai bukti kecintaan terhadap tanah Papua. Termasuk saya (wartawan Kalteng Pos) dan rekan-rekan dari Kalteng selama 19 hari berada di Kota Jayapura.Memang ada yang berbeda dari cara menguyah pinang orang Papua dengan masyarakat lainnya di Indonesia.
i tempat lain, biasanya mengunyah pinang yang sudah dikeringkan atau biji pinangnya saja. Namun, masyarakat Papua beda. Mereka justru makan pinang yang masih mentah. Kulit yang dikupas bukan untuk dibuang. Setelah mendapatkan daging buah, kulit pinang tetap dikunyah. Bagi warga Papua, kulit pinang berfungsi untuk membuat kesat daging saat dikunyah.
Selain itu, dengan mengunyah kulitnya, rasa pinang menjadi tidak pahit. Biasanya mereka akan membuang ludah hasil kunyahan pertama hingga ketiga.Secara ilmiah, kebiasaan ini tak jelas fungsinya. Namun, menurut kepercayaan masyarakat Papua, jika air liur dari kunyahan pertama kali ditelan, akan mengakibatkan rasa pusing dan muntah. Setelah tiga kali mengunyah, barulah daging pinang berikutnya dicocol ke kapur sirih, lalu dikunyah kembali.Cara makan pinang khas Papua ini dipercaya lebih bersahabat bagi kita yang kebanyakan belum pernah atau belum terbiasa.
Sensasi segar dan manis akan membuncah di mulut. Bahkan kadang membuat kita ingin menjajalnya lagi dan lagi.Di setiap venue cabang olahraga yang dipertandingkan di Papua, banyak warga lokal yang menjajakan dagangan. Ada juga yang membawa sendiri dari rumah. Warna tanah yang dilewati pun berubah menjadi merah.Beberapa kali panitia pun harus mengingatkan kepada pace maupun mace yang sedang menyaksikan pertandingan atau perlombaan, agar tidak membuang ludah pinang sembarangan.
Di beberapa ruang ganti atlet, ofisial dan para atlet ada yang terlihat asyik mengunyah pinang dengan penuh keakraban.Saya dan rekan wartawan beserta tenaga medis kontingen Kalteng tak mau ketinggalan mencoba sensasi mengunyah pinang.”Memang awalnya sangat kurang enak rasanya, tapi jika dicoba beberapa kali, barulah akan ketemu kehormatannya yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata,” ucap Simon, salah satu pelatih dayung Kalteng.
Menurutnya serasa ada yang kurang selama berada di Jayapura, jika tidak mengunyah pinang. Ada kekhasan rasa yang dinikmati. Karena penasaran, saya dan beberapa anggota kontingen memutuskan membeli pinang. Dibawa pulang ke posko nginap untuk dicoba sensasinya. Waktu santai pun kami gunakan untuk menjajal pinang.Memang selain membuat merah pada lidah dan bibir, ada rasa yang begitu sensasional. Bahkan ada yang sampai muntah, karena baru pertama kalinya.
Namun karena penasaran, terus dicoba. Alhasil, mengunyah pinang jadi kebiasaan kami, mewarnai keakraban kami selama tinggal di posko. Selain mengunyah pinang, kebiasaan tidak menggunakan helm menjadi pemandangan tak asing di sana. Sekalipun lewat di depan polisi yang tengah mengatur arus lalu lintas, siang maupun malam.Polisi tampaknya lebih fokus mengatur lalu lintas ketimbang memperhatikan pengendara yang tidak menggunakan helm saat berkendara.”Di sini memang sudah jadi hal yang biasa Kaka. Sebenarnya banyak juga kecelakaan dan tidak selamat korbannya kerena tidak menggunakan helm.
Apalagi kalau di bawah pengaruh minuman keras. Sudah banyak kejadian seperti itu,” kata Richard, salah satu warga Kota Jayapura.Menurutnya, kendati masyarakat terlihat acuh menggunakan helm, tapi tidak sedikit yang mematuhi atran dalam berkendara. Bukan karena takut terhadap polisi, tetapi lebih pada menjaga keamanan dan keselamatan diri. “Dalam hati kecil saya, memang sangat mengharapkan agar masyarakat di sini mematuhi peraturan dan rambu-rambu lalu lintas. Terutama menggunakan helm saat berkendara. Namun apa mau dikata, banyak yang tidak menghiraukan. Justru menganggap itu sebagai hal yang biasa,” tuturnya. (*/ce/ala/bersambung)