Bukan lagi karangan bunga, tapi kini tamu-tamu yang datang ke Kalteng diberikan kalung dan gelang Lilis Lamiang. Sebagai barang adat, manik-manik khas Dayak ini biasanya diberikan tuan rumah kepada tamu sebagai tanda kehormatan.
MOHAMMD ISMAIL, Palangka Raya
DI sela-sela kunjungan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jenderal (Komjen) Gatot Eddy Pramono, Senin (14/6) pekan lalu, ada yang menarik yang terjadi, yakni pengenalan budaya Dayak melalui pemberian dan pemasangan kalung dan gelang Lilis Lamiang.
Kalung diberikan dan dipasangkan oleh Ketua Umum Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng H Agustiar yang juga merupakan Anggota Komisi III DPR RI. Sedangkan gelang dipasangkan oleh Ketua Harian DAD Kalteng Dr Andrie Elia yang juga Rektor Universitas Palangka Raya.
“Kalung Lilis sebagai tanda kehormatan dari masyarakat adat Dayak kepada Wakapolri yang telah mengunjungi Bumi Tambun Bungai, Bumi Pancasila, Kalimantan Tengah,” kata Andrie.
Pemberian kalung dan gelang Lilis Lamiang kepada tamu-tamu penting yang datang ke Kalteng mulai dikenalkan kembali sekitar 15 tahun yang lalu. Sebelumnya kepada setiap tamu yang datang, sebagai tanda penghormatan diberikan kalungan bunga.
“Dahulu kami mengusulkan ke gubernur, bagaimana jika kalung bunga yang diberikan ke tamu diganti dengan pemberian kalung Lilis Lamiang. Tujuannya untuk mengenalkan budaya Dayak ke tamu yang dating ke Kalteng,” ujar Winhard Oboy Djahan, perajin Lilis Lamiang di Palangka Raya.
Menurut Winhard, memperkenalkan kembali barang adat ini perlu waktu. Tidak bisa cepat. Seiring waktu kini manik khas Dayak ini mulai dikenal lagi. Tamu-tamu penting yang datang diberikan Lilis Lamiang sebagai bentuk penghormatan.
Tak hanya untuk tamu yang datang, Lilis Lamiang juga digunakan untuk berbagai keperluan adat. Di antaranya untuk acara lamaran. Seorang pria yang akan melamar perempuan Dayak, maka harus menyediakan mahar. Salah satunya Lilis Lamiang ini.
“Salah satu syarat meminang perempuan Dayak, seorang pria harus menyediakan Lilis Lamiang sebagai barang adat. Namanya Lilis Lamiang Turus Pelek. Karena punya filosofi, maka tidak bisa diganti dengan uang,” ujar Winhard yang mengaku tinggal di Jalan Sumbawa, Palangka Raya.
Lilis Lamiang ini bentuknya panjang dengan memiliki delapan sudut (octagon). Di tengahnya terdapat lubang. Delapan sudut dan satu lubang ini memiliki filosofinya. Artinya, dalam mambangun dan menjalani kehidupan berumah tangga, tidak bisa melihat dari satu sudut pandang saja, tapi juga harus dilihat dari sisi lain. Demikian pula dalam menentukan baik buruk dalam kehidupan bermasyarakat, juga harus dilihat dari berbagai sisi.
“Lilis Lamiang memiliki satu lubang saja dan lurus. Makna filosofinya bahwa pandangan kita harus lurus dan benar,” ujar Winhard yang sudah 15 tahun menekuni pembuatan Lilis Lamiang bersama anaknya.
Bahan baku Lilis Lamiang terbuat dari batu jenis cornelian, onyc, dan wood fossil. Ada pula dari obsidian glass yang berasal dari kaca atau obsidian natural glass dari lahar gunung berapi. Warnanya ada yang merah, putih, hijau, hitam, dan kuning. Ada pula percampuran dari beberapa warna.
“Bahan baku batu bisa didapatkan dari daerah Puruk Cahu dan Kahayan Hulu. Bentuknya masih bahan mentah berupa bongkahan batu. Ada juga barang setengah jadi yang diimpor. Biasanya dibeli di Jakarta,” tutur Winhard yang sudah belajar mengasah batu sejak 1996.
Untuk pembuatan dari bahan baku lokal, prosesnya dimulai dari memotong-motong batu menjadi persegi panjang. Kemudian membentuknya hingga menjadi sudut segi delapan. Lalu membuat lubang di tengah. Biaya produksinya lebih mahal dibandingkan bahan baku impor.
“Untuk membuat lubang pada satu Lilis Lamiang dari bahan baku lokal, paling sedikit perlu tiga sampai empat mata bor. Tingkat kekerasan jenis batu ini mencapai skala 7. Satu hari paling banyak bisa membuat 2-3 buah,” sebut Winhard.
Berbeda dengan bahan baku impor yang sudah setengah jadi. Menurut Winhard, karena batu sudah berbentuk panjang dan berlubang, jadi tinggal membentuk delapan sudut saja. Karena itu biaya produksinya lebih murah. Dalam sehari bisa membuat 7-8 buah.
Setelah jadi, Lilis Lamiang dirangkai dengan manik-manik bulat menjadi kalung. Satu kalung berisi 10 Lilis Lamiang. Sedangkan untuk gelang, ada satu Lilis Lamiang. Satu set harga kalung dan gelang dijual Rp1,6 juta. Jika gelang saja, harganya Rp150 ribu.
Dikatakan Winhard bahwa tak banyak orang yang menekuni pembuatan Lilis Lamiang di Palangka Raya. Keterampilan dan skill mengasah batu ini perlu latihan cukup lama. Ia sendiri pernah berlatih untuk pembuatan permata sampai 36 sudut.
“Waktu itu ada pelatihan. Saya dikirim oleh pemda untuk mengikuti pelatihan di Solo tahun 1996. Satu minggu belajar di sana dengan Pak Slamet Rahmanto. Sepulang dari sana, mulai mengerjakan pembuatan mata cincin. Baru 15 tahun terakhir ini beralih ke pembuatan Lilis Lamiang,” ucap pria kelahiran 6 Juni 1960 di Sepang Simin, Kabupaten Gunung Mas.
Ia berharap ada perhatian dari pemerintah untuk para perajin dan UMKM dalam mengembangkan usaha kerajinan. Para perajin bisa difasilitasi dan dikumpulkan di suatu tempat sehingga bisa berkembang. Lokasi itu juga bisa menjadi destinasi wisata, seperti desa kerajinan yang ada di Pulau Jawa. (sma/ce/ala)