Site icon KaltengPos

Hutan Binasa dan Keserakahan Manusia

MEMILIH BERTAHAN DI TRUK: Belasan kendaraan terjebak banjir di jalan trans Kalimantan Palangka Raya-Gunung Mas, Desa Penda Barania, Selasa (16/11). FOTO: AGUS PRAMONO/KALTENG POS

PALANGKA RAYA-Banjir yang nyaris merata di semua kabupaten/kota di Kalteng menjadi sorotan. Rusaknya alam disebut-sebut akibat keserakahan manusia yang tak henti-hentinya mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (SDA). Kian tahun wilayah hutan yang binasa terus meluas. Beralih fungsi menjadi lahan pertambangan, perkebunan kelapa sawit, hingga kegiatan hak pengusahaan hutan (HPH), maupun aktivitas ilegal lainnya. Tak terkendalinya perusakan hutan ini menjadi faktor utama bencana alam yang sudah dua pekan melanda Bumi Tambun Bungai.

Parahnya kondisi banjir yang melanda beberapa wilayah di Kalteng, membuat para pegiat lingkungan geram. Salah satunya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng. Para aktivis lingkungan ini menyebut kondisi lingkungan di Kalteng telah mencapai tahap kritis. Terjadinya musibah banjir hendaknya menjadi pengingat bagi pemerintah untuk segera melakukan upaya nyata dan serius dalam hal mitigasi lingkungan. Karena hal itu merupakan satu satu cara untuk mengantisipasi banjir yang lebih parah di waktu mendatang.

Kepala Departemen Organisasi dan Pendidikan Walhi Kalteng Bayu Herinata menyarankan agar pemerintah  segera melakukan audit lingkungan, sekaligus melakukan evaluasi terhadap perizinan yang dimiliki industri ekstraktif  (HPH, pertambangan, perkebunan) yang ada di 14 kabupaten/kota. Bayu menyebut, terjadinya bencana banjir ini tidak lepas dari rusaknya lingkungan alam.

“Salah satu indikatornya adalah makin sering dan meluasnya kejadian bencana alam/bencana ekologis di Kalteng,” kata Bayu Herinata kepada Kalteng Pos, Minggu (21/11).

Bayu juga menyampaikan data yang dimiliki oleh Walhi terkait perubahan status hutan di Kalteng saat ini. Dikatakannya, perubahan tutupan hutan menjadi non-hutan (deforestasi) yang terjadi di Kalteng dikategorikan dalam empat kategori. Pertama, hutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 682.115 ha atau 35,71%. Kedua, hutan menjadi hutan tanaman seluas 100.730 ha atau 5,27%. Ketiga, hutan menjadi area tambang seluas 63.139 ha atau 3,31%. Dan keempat, hutan menjadi lahan pertanian lainnya seluas 1.064.213 ha atau 55,71% dari total deforestasi yang terjadi di Kalteng.

Tingginya tingkat deforestasi ini dinilai Walhi sebagai salah satu faktor utama kerusakan alam, sehingga menimbulkan bencana alam seperti banjir yang terjadi belakangan ini. Karena itu, dalam rangka penanggulangan bencana alam di Kalteng, Bayu menyarankan agar pemerintah pusat maupun daerah segera menerapkan kebijakan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Permen LHK Nomor  03 Tahun 2013 tentang Audit Lingkungan.

“UU  Nomor  32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Permen LHK Nomor  03 Tahun 2013 tentang Audit Lingkungan dapat menjadi landasan dalam melakukan audit lingkungan terkait usaha atau kegiatan yang melakukan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta berdampak terhadap lingkungan hidup,” ujar pria yang mulai aktif di Walhi sejak 2013.

Dijelaskannya lagi, audit lingkungan penting dilakukan, terutama jika terjadi kondisi kecelakaan, bencana, maupun keadaan darurat yang menimbulkan dampak besar dan luas terhadap keselamatan, kesehatan manusia, dan lingkungan hidup. Ditambahkannya pula, audit lingkungan berguna juga untuk mengetahui sejauh mana daya dukung dan daya tampung lingkungan di Kalteng dengan banyaknya agenda pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, terkhusus di sektor pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

“Termasuk juga di dalamnya akan dilakukan evaluasi terkait perizinan industri ekstraktif sumber daya alam (HPH, HTI, pertambangan, perkebunan) dan kegiatan pemanfataan lahan skala luas seperti proyek Food Estate,” ujar pria yang juga merupakan anggota Perhimpunan Pencinta Alam Comodo Fakultas Ekonomi  UPR ini.

Bayu mengatakan, jika hasil audit lingkungan nanti menyatakan daya dukung dan daya tampung lingkungan tidak dapat terpenuhi, maka perizinan dan kegiatan proyek harus dihentikan untuk mencegah bertambah parahnya kerusakan lingkungan.

Selain melakukan audit lingkungan, lanjut Bayu, Walhi juga menyarankan upaya mempertahankan hutan alam dan wilayah gambut yang tersisa harus dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya dengan tidak memberikan izin baru terkait perubahan status kawasan hutan untuk pembukaan hutan.

Pemulihan lingkungan ini, dikatakan Bayu, harus dilakukan secara serius oleh pemerintah, termasuk kegiatan penanaman kembali hutan-hutan kritis yang menjadi benteng terakhir pencegah bencana ekologis harus makin diperluas dan dimasifkan. “Pemulihan ekosistem penting seperti kawasan hutan rawa, gambut, dan mangrove, itu menjadi bagian penting dalam proses pemulihan lingkungan yang harus dilakukan,” pungkasnya.

Pegiat lingkungan lainnya dari Save Our Borneo (SOB), Habibi juga menyoroti hancurnya hutan di Kalteng. Ia mengatakan, hilangnya tutupan hutan di Kalteng ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Faktor paling utama adalah alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan HTI. “Selain itu, hilangnya tutupan hutan juga disebabkan kegiatan HPH, pembangunan jalan dan permukiman, kebakaran hutan, dan lain-lain,” kata Habibi kepada Kalteng Pos, Minggu (20/11).

Berdasarkan data Mapbiomas Indonesia, total deforestasi Kalteng selama 2000-2019 seluas 1,9 juta hektare. Rinciannya; Palangka Raya 38.943 ha, Gunung Mas 182.655 ha, Pulang Pisau 140.855 ha, Kapuas 296.257 ha, Katingan 201.663 ha, Kotawaringin Timur 270.554 ha, Seruyan 141.578 ha, Kotawaringin Barat 183.954 ha, Lamandau 166.941 ha, Sukamara 71.826 ha, Barito Selatan 35.206 ha, Barito Timur 50.879 ha, Barito Utara 76.045 ha, dan Murung Raya 51.389 ha.

Habibi mengatakan bahwa Pemprov Kalteng harus bertindak cepat atas kondisi yang terjadi saat ini. Karena di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan terdapat tiga kabupaten/kota.

“Kepada pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi izin atau konsesi yang ada, karena pemerintah daerah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk itu,” katanya.  

Dari hasil evaluasi akan diketahui perusahaan mana saja yang izinnya tidak sesuai. Jika terbukti, maka bisa ditindak sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku. Selain itu, pemerintah harus setop memberikan izin konsesi. Karena hutan dan lahan yang menjadi penangkap air sudah menurun.

Berdasarkan data dari Mapbiomas Indonesia, sejak 2000 hingga 2019 hutan alam di Palangka Raya hilang seluas 38.943 ha, Gunung Mas hilang 182.655 ha, dan Pulang Pisau hilang 140.855 ha. “Hal ini tentu menjadi perhatian serius pemerintah agar tetap menjaga hutan dan habitatnya tidak rusak,” tuturnya.

Menyikapi hal itu, Wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin menyampaikan belum mendengar informasi yang dipaparkan SOB tentang adanya lahan yang hilang sejak 2000 sampai 2019 sebanyak 38.943 ha. Fairid menyebut, belum ada data resmi yang diterima dan disampaikan kepada pihaknya terkait hilangnya fungsi hutan lahan atau berkurangnya lahan di Kota Palangka Raya sejak 2000 hingga 2019.

“Belum ada data resmi saya terima, yang pasti selama kepemimpinan saya, tidak ada mengeluarkan izin untuk menghilangkan kawasan hutan di Kota Palangka Raya,” ungkapnya saat dikonfirmasi via WhatsApp, Minggu (21/11).

Terkait data yang dipaparkan oleh SOB, Fairid menyarankan lebih baik dilakukan pengecekan silang dahulu kebenaran datanya dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), karena pihak BPKH-lah yang tahu soal pelepasan kawasan hutan. 

“Sedangkan program ke depannya untuk mencegah banjir di Kota Cantik, akan kami konsultasikan dengan pihak provinsi. Intinya saat masih dalam tahap koordinasi dan konsultasi, saya tidak mau memberi tanggapan lebih. Saat ini Pemko Palangka Raya sedang berusaha mencegah terjadinya karhutla. Bahkan program penanaman pohon oleh Dinas Lingkungan Hidup sampai saat ini rutin dilaksanakan,” pungkasnya.

Sementara itu, Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran menyebut, terjadinya banjir karena sungai-sungai kecil yang hilang dan terjadi pendangkalan sungai besar. “Kita di Kalteng berada di antara 11 sungai, sehingga jika tidak benar-benar memperhatikan aspek lingkungan, maka akan mengakibatkan banjir dan lainnya,” kata Gubernur H Sugianto Sabran kepada media saat memantau banjir dan menyerahkan bantuan kepada warga terdampak pada beberapa lokasi di Palangka Raya.

Menurutnya, terjadinya pendangkalan sungai karena banyaknya perusahaan HTI dan perkebunan sawit yang menanam sawit hingga ke bibir sungai dengan jarak 50-100 meter.

“Saya minta kepada pemerintah pusat memberi ketegasan kepada perusahaan, jarak perkebunan sampai bibir sungia minimal 500 meter, untuk mencegah terjadinya abrasi sungai. Ini menjadi tugas bersama ke depan baik legislatif maupun eksekutif,” tegasnya.

Termasuk juga lokasi illegal mining, illegal logging, dan lainnya yang dapat mengakibatkan hilangnya sungai-sungai kecil. Begitu juga perusahan yang menyebut diri legal, tapi tidak menjaga kelestarian lingkungan.

“Semestinya walaupun korporasi masuk, harus tetap menjaga jangan sampai merusak lingkungan yang dampaknya dapat merugikan masyarakat luas. Kesadaran semua pihak harus diperhatikan, karena alam dan manusia saling membutuhkan. Jangan serakah. Yang mengakibatkan lingkungan rusak dan ekosistemnya hilang itu karena ulah manusia,” pungkasnya.

Terpisah, Anggota DPRD Kalteng dari Komisi II Henry M Yosep mendorong agar pemerintah mengevaluasi semua perizinan yang diberikan kepada perusahaan besar swasta (PBS). “Banjir yang terjadi saat ini harus segera disikapi dengan bijak. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah harus ada, terutama dalam upaya mengevaluasi pemberian izin baru bagi PBS yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, batu bara, kayu, dan lainnya. Bila perlu disetop dahulu untuk izin baru,” kata Wakil Ketua Komisi II Bidang SDA Henry M Yoseph, Minggu (21/11).

Menurut politikus Partai Nasdem itu, izin PBS yang beroperasi di wilayah hulu Kalteng harus benar-benar dievaluasi oleh pemerintah secara cermat dan tepat. Karena jika itu tidak dilakukan, maka dampaknya akan tetap dirasakan masyarakat Kalteng.

“Semua aktivitas perusahaan yang dianggap memengaruhi dan berdampak bagi lingkungan, mesti jadi perhatian. Juga harus ada solusi ke depan, sehingga bencana seperti saat ini tidak terulang lagi. Masyarakat yang jadi korban nanti,” tegasnya. (sja/nue/ahm/ce/ala)

Exit mobile version