Perbaikan gizi masyarakat yang difokuskan pada 1.000 hari pertama kehidupan anak dan usia remaja, menjadi komponen utama pembangunan kesehatan berkelanjutan. Upaya ini sebagai investasi dalam pembangunan SDM Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.
ANISA B WAHDAH, Palangka Raya
ADE Nadhira, gadis cilik berusia 15 bulan saat ini tengah mendapat perawatan di RS dr Murjani, Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Anak bungsu dari empat bersaudara ini didiagnosis menderita gizi buruk saat masuk rumah sakit (RS) pada November dan Desember 2021 lalu.
Kini Ade Nadhira dirawat lagi di RS lantaran mengalami panas, kejang-kejang, dan diare. Gadis cilik yang satu ini memang cukup sulit diajak makan.
“Anaknya memang susah makan, badan kurus. Sebelumnya sakit-sakit biasa dan diobati biasa saja,” kata kolega orang tuanya, Sari saat dihubungi Kalteng Pos dari Palangka Raya, Selasa (25/1).
Sari pun menggalang dana untuk membantu orang tuanya mencukupi keperluan Ade Nadhira. Meski saat ini pengobatan Ade ditangani BPJS, tapi masih membutuhkan uluran tangan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari selama proses perawatan.
“Kami perlu bantuan seperti pampers, susu, dan makanan sehat untuk Ade, lantaran ayahnya sudah meninggal dunia, hanya ada ibunya yang mengurusi keempat anak, terlebih anak bungsunya sakit,” katanya saat diwawancarai, Selasa (25/1).
Setelah kepergian sang suami, Yuliatin Ningrum (ibunda Ade Nadhira) mau tak mau menjadi tulang punggung keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, ia bekerja sebagai asisten rumah tangga dan berjualan. Namun semenjak anak bungsunya sakit, ia tidak bekerja lagi sehingga tidak punya penghasilan.
“Semenjak anaknya masuk rumah sakit, beliau (Yuliatin, red) tidak kerja lagi karena fokus mengurus anaknya yang dirawat di RS, karena itulah mereka butuh bantuan untuk keperluan anaknya. Bagi yang mau membantu, bisa mengubungi kami di nomor ponsel 087728746645,” beber Sari.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Kalteng Mars Khendra Kusfriyadi mengatakan, beberapa kasus gizi buruk yang terjadi biasanya karena ada penyakit penyerta. Misalnya TBC atau penyakit infeksi lain yang menyebabkan penurunan gizi anak sampai ke tingkat gizi buruk.
“Jadi yang perlu diperhatikan adalah mengatasi penyakitnya terlebih dahulu, kemudian meningkatkan status gizi,” katanya saat dibincangi Kalteng Pos.
Berkenaan anak yang biasanya susah makan, lanjutnya, bukan berarti kemudian menjadi gizi buruk. Tentu ada penyebab lain. Untuk mengatasi anak-anak yang susah makan, ada banyak trik dan tips yang bisa dilakukan oleh ibu-ibu.
“Misal saja dengan membuat variasi menu makanan dan menciptakan suasana menyenangkan bagi anak, agar mereka mau makan dan terhindar dari permasalahan gizi ke depannya,” tegasnya.
Persagi yang sudah memiliki kepengurusan DPD dan DPC kabupaten/kota se-Kalteng, bersinergi dengan program-program dinas kesehatan (dinkes) provinsi maupun kabupaten/kota.
“Kami sangat mendukung program mereka, kami sebagai ahli gizi bisa melakukan pengabdian kepada mayarakat dengan memberi konseling gizi kepada remaja-remaja yang mengalami obesitas serta konseling gizi kepada ibu hamil soal pemenuhan kebutuhan gizi selama masa kehamilan,” ucapnya.
Langkah tersebut bertujuan agar ibu hamil dapat melahirkan anak yang tidak berisiko stunting, seperti berat badan rendah. “Hari Gizi Nasional kali ini diisi dengan aksi bersama mencegah stunting dan obesitas, dan kami terus bersinergi dengan pemerintah,” ujarnya.
Sementara itu, Pj Sekda Kalteng Nuryakin melalui Asisten Administrasi Umum Setda Kalteng Lies Fahimah saat membuka kegiatan peringatan Hari Gizi Nasional di Poltekkes Kemenkes Palangka Raya mengatakan, arah pembangunan kesehatan dititikberatkan pada upaya promotif preventif, karena dapat memberikan dampak yang lebih luas dan lebih efisien dari sisi ekonomi.
Diungkapkannya, permasalahan kesehatan dan gizi remaja akan memengaruhi kualitas hidup pada usia produktif dan usia selanjutnya. Saat ini, Indonesia masih dihadapkan pada beban ganda masalah gizi. Yaitu masih tingginya prevalensi stunting dan wasting atau obesitas serta kekurangan zat gizi mikro.
“Permasalahan tersebut dapat dipengaruhi oleh kebiasaan asupan gizi yang tidak optimal, infeksi berulang, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, dan kurangnya aktivitas fisik,” ungkapnya.
Upaya pencegahan masalah gizi ganda dilakukan melalui berbagai upaya, baik intervensi spesifik dan sensitif, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan anak. Mengacu pada RPJMN 2020-2024, percepatan penurunan stunting menjadi 14 persen dan wasting menjadi 7 persen pada 2024, menjadi salah satu tujuan pembangunan kesehatan.
“Untuk mencapai target tersebut, perlu dilakukan penguatan intervensi spesifik dan sensitif yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan fokus pada sasaran seperti yang diatur dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2021 yaitu remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0 sampai 59 bulan,” bebernya.
Meskipun saat ini masih dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19, lanjut dia, berbagai upaya modifikasi pelayanan kesehatan dan gizi terus dilakukan. Persoalan kesehatan dan gizi tidak dapat diselesaikan oleh bidang kesehatan saja, tapi memerlukan dukungan dan kontribusi lintas program dan lintas sektor profesi serta semua mitra pembangunan. (*/ce/ala)