Ada cara tersendiri bagi Zein Alitamara Mufthihati menikmati musik pada setiap liriknya. Jika kebanyakan orang menikmati musik melalui suara, ia justru menikmati melalui mata.
ANISA BAHRIL WAHDAH, Palangka Raya
HOBINYA memang di bidang seni. Ia pun pernah menempuh pendidikan desain komunikasi visual (DKV) di Bina Nusantara (Binus) Jakarta. Kesehariannya tak lepas dari desain grafis, bidang yang ia geluti selama ini, khususnya poster.
Poster yang menjadi favoritnya bertemakan musik. Saat bekerja sehari-hari, ia sering mendengarkan music. Dari situ ia terinspirasi ingin menuangkan setiap lirik musik menjadi karya yang tidak lagi dinikmati dengan telinga, tapi melalui matanya.
Namun, saat ini ia mulai merambat pada isu-isu lingkungan dan budaya, mengingat Kalteng memiliki ragam kekayaan budaya, seperti musik dan lainnya. Kebanyakan budaya Kalteng dituangkan melalui karya seperti motif-motif. Kini ia mencoba hal lain, seperti pesan-pesan pada lagu Dayak yang dituangkan pada poster.
Zein memang dibesarkan di keluarga yang memiliki hobi di bidang seni. Ayah, ibu, kakak, dan adiknya pun sama-sama mencintai seni. Tak heran semua karyanya begitu menyatu dengan jiwa. Karya tangannya pun sudah tersebar ke beberapa negara di dunia.
Kesukannya pada poster berawal dari tugas akhir menyelesaikan pendidikan pada 2014 lalu. Inspirasi awal bermula dari tugasnya yang membuat sebuah buku berisikan lagu-lagu Ebit G Ade yang dituangkan dalam bentuk visual yakni poster. Pengalaman ini menjadi salah satu awal mula ketertarikannya menikmati musik melalui poster.
Sejak kembali dari kuliah di Jakarta pada 2015 lalu, hingga saat ini kesehariannya masih mengoret-ngoret kanvas dan berkarya dari digitalisasi. Ia pulang ke Palangka Raya ingin mengenalkan poster kepada mayarakat Kota Cantik. Ia wujudkan dengan membuat studi kecil bernama Studio Kurik di dalam resto milik orang tuanya.
“Ada ruangan kecil di dalam resto, sebelum pandemi terjadi, dari 2016 hingga 2019 saya aktif membuat kegiatan seni, berkolaborasi dengan seni bidang lainnya,” katanya saat dibincangi, belum lama ini.
Studio yang dibangunnya itu memang dikhususkan untuk pameran. Ia ingin memperkenalkan kepada masyarakat bahwa poster itu berbeda dengan lukisan. Lukisan lebih menonjolkan estetika, sementara poster memiliki pesan yang ingin disampaikan pada setiap gambarnya.
“Saya ingin poster yang saya buat itu seperti lukisan, artinya sebuah poster yang memiliki pesan yang estetik,” tuturnya.
Selain dipamerkan di studio, perempuan kelahiran Palangka Raya, 2 Desember 1991 lalu juga aktif mengikuti kompetisi, memperkenalkan dan memamerkan posternya pada berbagai kegiatan di luar daerah, bahkan hingga luar negeri. Negara yang sudah ia jajaki untuk memamerkan karyanya seperti Rusia, Finlandia, Swiss, Jerman, Korea, dan Dubai.
“Di dalam negeri saya sudah memamerkan karya saya di Surabaya, Jakarta, dan Bali,” bebernya.
Ia menyebut, tidak semua pameran yang diikutinya di sejumlah negara dihadiri langsung. Ada beberapa karya yang ia kirimkan dalam bentuk file lalu di-print pihak panitia. Yang pernah dihadiri langsung adalah pameran yang dilaksanakan di Dubai.
“Awalnya saya berpikir soal dana untuk datang ke sana (luar negeri, red), tapi beberapa waktu lalu panitia penyelenggara di Dubai mengundang saya, kemudian saya ajukan proposal, akhirnya bisa berangkat ke sana tanpa pakai dana pribadi,” katanya.
Di tengah semangatnya menciptakan karya dan membuat proposal untuk bisa hadir pada pameran posternya, terhalang oleh pandemi Covid-19. Hingga saat ini, poster yang ia ciptakan sudah mencapai sekitar 600 poster dengan berbagai tema. Ada yang dipamerkan. Ada pula yang dikomersialkan.
“Dari 2015 lalu sampai sekarang ini, sudah 600 karya yang saya buat, terlebih pada 2015 lalu saat terjadi kabut asap di Palangka Raya, hampir setiap hari saya bikin poster,” ucapnya.
Ada beberapa karyanya yang dijual ketika mengikuti kompetesi karena ada pengunjung yang berminat membelinya. Ia juga sering menerima pesanan dari para klien untuk membuat poster dengan tema-tema tertentu.
“Untuk harganya memang berbeda, yang original harganya lebih mahal daripada yang print,” ujar perempuan berusia 30 tahun itu.
Pemesan tak hanya dari dalam kota, tapi juga dari luar Palangka Raya, bahkan luar negeri. Wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin pun pernah memesan posternya untuk menghiasi dinding-dinding pada bangunan Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya.
“Sebelum pandemi pernah diminta Bapak Wali Kota untuk mengisi lorong-lorong bangunan di Pemko Palangka Raya dengan poster bermotif Dayak, poster ini memang saya buat khusus dan hanya ada di Pemko Palangka Raya, jika ingin melihat poster itu, adanya hanya di sana,” pungkasnya. (*/ce/ala)