Kalteng memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, termasuk kopi. Salah satu anak muda asal Desa Tumbang Jutuh, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas (Gumas) mencoba meraup untung dari usaha kopi yang dikembangkannya sejak 2015 yang lalu.
ANISA B WAHDAH, Palangka Raya
INDUSTRI kopi bernama Kaltfood yang beralamatkan di Jalan Basir Jahan, Kota Palangka Raya ini menjadi usaha terakhir Dedi Setiadi, karena berbagai usaha yang ia tekuni sebelumnya selalu gagal.
Dedi merupakan sosok pemuda yang berjiwa bisnis. Gaji yang ia dapatkan dari bekerja sebagai tenaga kontrak di suatu instansi digunakannya untuk mengembangkan usaha, seperti usaha karet, rotan dan lainnya. Namun, tak ada satupun yang berhasil.
Ide untuk menekuni usaha kopi khas Kalteng ini ketika ia hampir putus asa karena kegagalan yang terus dialami sebelumnya. Apalagi saat itu ia harus berhenti bekerja karena masa kontrak kerjanya selesai.
Kebutuhan hidup selalu ada. Pengeluaran tiap hari juga pasti. Namun tidak ada pemasukan. Ia pun mulai memutar otak dan melihat potensi di Desa Tumbang Jutuh kala itu. Tanaman kopi tak banyak dikelola orang. Ia pun mencoba mencari jalan bisnis melalui potensi kopi di desanya.
“Awal mula usaha ini dari saya berhenti bekerja karena kontrak kerja habis, saat itu saya kerja sebagai tenaga penyuluh lapangan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Gunung Mas,” katanya saat dibincangi Kalteng Pos di rumahnya, Jalan Basir Jahan, belum lama ini.
Dedi memulai usaha kopi dari nol. Dimulai dengan masuk ke hutan mencari sampel kopi di beberapa titik. Dimulai dari wilayah Gumas. Dari beberapa sampel yang didapatkan, kemudian secara autodidak ia mengolah menjadi kopi, lagi-lagi gagal.
Hasil kopi yang ia olah tidak seperti kopi yang dijual orang. Bahkan rasanya pun jauh dari kata nikmat. Namun, ia tidak berhenti di situ. Terus mencoba mencari cara mengolah kopi agar terasa nikmat jika diminum. Upaya itu berlangsung enam bulan lamanya, hingga akhirnya rasa yang ditemukan hampir setara dengan kopi di pasaran.
“Walau saya sudah menemukan cara mengolah kopi yang enak, tapi saya tidak punya modal untuk mengembangkan usaha,” katanya.
Suatu ketika, ia mengikuti program pinjaman dana dari salah satu badan usaha milik negara (BUMN) untuk pelaku usaha kecil. Saat tim survei dari BUMN datang ke rumah industri kopi miliknya, para tim survei tidak memberikan respons positif.
“Saat itu saya sempat pesimis tidak akan mendapat bantuan, karena kondisi rumah industri tidak layak dan masih bergabung dengan rumah pribadi,” katanya.
Namun tak disangka-sangka, seminggu kemudian ia mendapat informasi bahwa ia berhak mendapat bantuan sebesar Rp25 juta. Dana itu langsung ia gunakan untuk membeli alat pengolahan kopi.
“Alat pertama yang saya beli adalah mesin giling kopi, dana itu habis hanya untuk beli alat saja,” ucap pria berusia 33 tahun ini.
Persoalan muncul lagi. Meski ia sudah memiliki alat, tapi ia tidak punya uang untuk membeli bahan baku. Karena niat yang besar untuk berusaha, ia pun memberanikan diri meminjam uang dari keluarganya sebagai modal membeli bahan baku kopi.
“Alat sudah punya, bahan baku sudah ada, tapi saya juga perlu modal membuat kemasan untuk dipasarkan, saya pun cari akal dengan meminjam uang dari teman,” kisah dia.
Walau semua modal itu dari hasil pinjaman, tapi Dedi bisa mewujudkan kopi khas Kalteng dengan olahan modern dan kemasan yang cukup menarik. Tidak heran, karena Dedi menyelesaikan pendidikan terakhir dengan menerima beasiswa program pemerintah di Sekolah Tinggi Manajemen Industri.
“Saya mulai memproduksi kopi olahan saya dengan dua varian, hanya menawarkan dua bungkus kopi saja kepada teman-teman saya,” tutur pria kelahiran Tumbang Jutuh, 19 Juni 1988.
Respons positif databg dari para penikmat kopi kala itu. Karena itu, Dedi pun mencoba meningkatkan kualitas kopi olahannya. Ia menjajakan kopinya secara keliling dari rumah ke rumah dan ke toko-toko. Alhasil ada toko yang tertarik dan menginginkan suplai kopi darinya sebanyak 100 bungkus untuk pemesanan pertama.
“Saat itu saya belum punya izin, kemudian melihat respons positif dari pasar, saya mencoba mendaftarkan usaha saya,” katanya.
Kemudian Dedi memberanikan diri meminjam uang di bank untuk mengembangkan usahanya dan membeli mesin dan peralatan tambahan. Usahanya terus berkembang. Pada tahun ketiga usahanya, ia sudah bisa membayar utang-utangnya dan mengembalikan modal.
“Sebagian keuntungan saya gunakan untuk beli bahan baku, karena alat-alat sudah ada dan utang sudah ditutup,” ucapnya.
Untuk bahan baku, lanjut dia, berawal dari Gunung Mas. Namun saat ini bahan baku didatangkan dari hampir seluruh wilayah Kalteng. Ia menerima bahan baku dari masyarakat berbentuk biji kopi. Kemudian diolah, dimulai dari penjemuran. Kini, ia sudah memiliki rumah industri yang ia bangun di depan rumah tinggalnya.
“Ada beberapa jenis kopi yang kami gunakan, yakni arabica meksi hanya sedikit, exelsa, dan robusta liberika, varietas kopi di Kalteng ini berasal dari peninggalan zaman Belanda, di Kalteng ini merupakan variestas asalannya,” tegasnya.
Ia juga mengolah kopi yang dikombinasikan dengan tumbuhan herbal Kalteng, seperti Dayak Coffee dan teh. Untuk penyebaran produk Kaltfood seperti Coka Munyin Coffee, Coka Peaberry Coffee, Coka Med Coffee, Dayak Coffee, dan yang terbaru Teh 850 Bajakah sudah ada di toko oleh-oleh se-Kalimantan. Bahkan di luar Kalimantan pun ada, seperti di wilayah Jabodetabek.
“Sejak terjadi pandemi, kondisi usaha jadi sakit, daya beli masyarakat turun, di ritel pun penjualan kami sisa 20 persen saja,” jawab Dedi.
Padahal, sebelum pandemi ia memproduksi 12 hingga 15 ribu per varian dalam sehari. Namun sejak pandemi, dalam sehari produksi hanya berkisar di angka seribuan saja.
“Dulu sebelum pandemi, karyawan saya mencapai 15 orang, tapi pandemi mengakibatkan penurunan produksi, sehingga mau tak mau diambil kebijakan untuk pengurangan karyawan, sekarang tinggal dua orang saja,” pungkasnya. (*/ce/ala)