JAKARTA–Isu politisasi birokrasi menjadi salah satu bahasan lanjutan dalam rapat dengar pendapat (RDP) panitia kerja (panja) revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Sejumlah pakar meminta agar isu itu juga masuk dalam pembahasan perubahan UU 5/2014 tersebut.
Masukan pertama disampaikan pakar politik LIPI Siti Zuhro yang hadir secara virtual. Dia menggarisbawahi isu yang kerap mengemuka terkait ASN adalah netralitas mereka pada masa pemilu/pilkada. Siti mendorong agar RUU ASN bisa meningkatkan profesionalisme birokrat dan menjadikan birokrasi tidak bersifat partisan.
Menurut Siti, demokrasi dan birokrasi tidak dapat dipisahkan. Demokrasi yang baik otomatis akan menghasilkan birokrasi yang bersih pula. Secara konseptual, proses demokratisasi dan debirokratisasi saling terkait dan keduanya saling mendorong perbaikan masing-masing. ”Jadi, kalau demokrasinya maju dan kualitasnya meningkat, pastinya birokrasinya juga meningkat,’’ jelas Siti kemarin (29/6). Dia berharap ada penegasan konseptualisasi demokrasi dan birokrasi dalam RUU tersebut.
Isu yang sama juga dikemukakan Zudan Arif Fakrulloh. Ketua umum DPN Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) tersebut menyatakan bahwa selalu terjadi irisan antara birokrasi dan politik. Untuk itu, mau tidak mau, intervensi politik terhadap birokrasi masih terjadi. Terutama di pemerintahan daerah. Dia mencontohkan dalam setiap perhelatan pilkada lima tahun sekali, sistem karier ASN di daerah juga terpengaruh.
Hal yang sering terjadi adalah pejabat dinas diganti atau dicopot oleh kepala daerah yang baru berdasar partisipasinya selama pilkada. ’’Intervensi politik terhadap birokrasi masih saja terjadi, baik dalam tata kelola maupun penempatan dalam jabatan,’’ jelas Dirjen Dukcapil Kemendagri itu.
Hal itu, kata Zudan, harus dibenahi. Adanya pergantian berdasar peran politik atau bukan karena fungsi bisa mengganggu denyut nadi birokrasi. (deb/c6/bay/jpg)