PALANGKA RAYA – Cabai merupakan salah satu komoditas yang memicu inflasi di Kota Palangka Raya sebesar 0,06 persen dan Sampit 0,05 persen. Naiknya harga cabai ini disebabkan, diantaranya karena lahan tanam cabai terbatas, sehingga masih harus mengandalkan provinsi tetangga.
Ketua Kelompok Tani Wargo Molyo, Supendi, menyampaikan, naik turunnya harga sayuran termasuk cabai di Palangka Raya, karena masih mengandalkan provinsi tetangga yaitu Banjarmasin. Pasalnya, petani cabai di Palangka Raya belum bisa memproduksi cabai seperti petani di Banjarmasin.
“Kenapa produksi cabai Palangka Raya sedikit jika dibandingkan dengan Banjarmasin, karena petani di Palangka Raya adalah petani petani spot dengan luasan tanam yang kecil, sementara di Banjarmasin mereka memiliki hamparan yang luas untuk dijadikan lahan pertanian,” katanya kepada Kalteng Pos saat ditemui di lahan petani binaan, Rabu (12/4).
Menurut dia, di Banjarmasin hampir semua komoditi ada, termasuk cabai produksinya besar, sehingga untuk harga cabai, petani dari Palangka Raya hanya mengikuti. “Dengan produksi yang lebih besar tentu menjualnya tidak mungkin ke Jawa tetapi ke daerah-daerah yang ada di Kalimantan yang produksi cabainya masih kecil, dan ini secara otomatis daerah yang memproduksi cabai yang lebih kecil otomatis mengikuti harga yang produksinya besar,” terangnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, mendekati hari besar keagamaan, harga cabai juga kerap mengalami kenaikan, karena tingkat kebutuhan meningkat. Untuk saat ini harga jual cabai sudah mulai alami kenaikan, untuk penjualan dari petani ke tengkulak adalah Rp18.000 sampai Rp20.000 per kg.
“Sementara di pengecer harganya Rp30.000 per kg. Ada kemungkinan masih naik, kami berharap sebagai petani dikisaran Rp50.000 per kg,” tandasnya. (yan/aza)