JAKSA Agung RI Burhanuddin melaunching Rumah Restorative Justice secara serentak di 9 (sembilan) wilayah Kejaksaan Tinggi yakni Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kejaksaan Tinggi Aceh, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, dan Kejaksaan Tinggi Banten secara virtual dari ruang kerjanya masing-masing.
Hadir dalam acara ini yaitu Ketua Komisi Kejaksaan RI Dr. Barita Simanjuntak, S.H. M.H. CfrA, Para Kepala Kejaksaan Tinggi beserta jajaran, Para Kepala Kejaksaan Negeri setempat beserta jajaran, Para Gubernur berserta jajaran Forkompimda, Para Bupati dan Walikota berserta jajaran Forkompimda, Para Aparat Pemerintah Daerah setempat, Para Tokoh Adat, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, dan Civitas Akademisi setempat.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr. Fadil Zumhana menyampaikan bahwa selama dibelakukannya Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kejaksaan RI telah menyelesaikan 821 (delapan ratus dua puluh satu) perkara di seluruh Indonesia melalui keadilan restoratif.
“Untuk menghadirkan keadilan di tengah masyarakat, maka perlu kiranya dibuatkan ruang atau tempat penyelesaian masalah dengan konsep perdamaian melalui musyawarah mufakat sebelum perkaranya masuk ke ranah penegak hukum,” ujarnya.
Dibentuknya Rumah Restorative Justice, sebagai tempat dalam menyelesaiakan segala permasalahan di masyarakat; Kehadiran Rumah Restorative Justice mampu menggali kearifan lokal dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; Rumah Restorative Justice adalah sebagai tempat musyawarah mufakat telah membuka harapan untuk memnciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat.
aksa Agung menyambut baik diselenggarakannya acara ini, karena kegiatan ini merupakan sebuah manifestasi bukti keseriusan kita dalam menjalankan salah satu fokus pembangunan hukum di Indonesia, yaitu berkaitan dengan implementasi restorative justice sebagaimana yang diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dimana Arah Kebijakan dan Strategi Bagian Penegakan Hukum Nasional ditujukan pada perbaikan sistem hukum pidana dan perdata, yang strateginya secara spesifik berkaitan dengan penerapan keadilan restoratif.
“Tidak dipungkiri lagi Keadilan Restoratif telah menjadi salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana, dimana hal yang menjadi pembeda dari penyelesaian perkara ini adalah adanya pemulihan keadaan kembali pada keadaan sebelum terjadinya tindak pidana, sehingga melalui konsep penyelesaian keadilan restoratif ini maka kehidupan harmonis di lingkungan masyarakat dapat pulih kembali. Konsep keadilan restoratif merupakan suatu konsekuensi logis dari asas ultimum remedium yaitu pidana merupakan jalan terakhir dan sebagai pengejawantahan asas keadilan, proporsionalitas serta asas cepat, sederhana dan biaya ringan, oleh karena itu penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingan korban dan kepentingan hukum lain,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan, konsep keadilan restoratif utamanya ditujukan untuk memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat, sehingga Jaksa sebagai penegak hukum dan pemegang asas dominus litis, dalam rangka pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan harus lebih mengutamakan perdamaian dan pemulihan pada keadaan semula, bukan lagi menitikberatkan pada pemberian sanksi pidana berupa perampasan kemerdekaan seseorang.
Perdamaian melalui pendekatan keadilan restoratif merupakan perdamaian hakiki yang menjadi tujuan utama dalam hukum adat, sehingga sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sangat mengutamakan kedamaian, harmoni dan keseimbangan kosmis. Lebih lanjut pada hakikatnya keadilan restoratif selaras dengan nilai-nilai Pancasila khususnya Sila Kedua yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan untuk diperlakukan sama dimuka hukum dan juga merupakan cerminan dari Sila Keempat dimana nilai-nilai keadilan diperoleh melalui musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian masalah.
Mengingat proses pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif membutuhkan nilai-nilai keadilan dan kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat setempat, maka dalam hal ini Kejaksaan memandang diperlukan suatu ruang guna dapat menghadirkan Jaksa lebih dekat ditengah-tengah masyarakat untuk dapat bertemu dan menyerap aspirasi secara langsung dari tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat, guna menyelaraskan nilai-nilai tersebut dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia guna mengambil keputusan dalam proses pelaksanan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Ruang ini, Jaksa Agung berharap dapat menjadi sebuah rumah bagi aparat penegak hukum khususnya Jaksa untuk mengaktualisasikan budaya luhur Bangsa Indonesia yaitu musyawarah untuk mufakat dalam proses penyelesaian perkara.
Adapun dasar filosofi penyebutan rumah disini dikarenakan rumah merupakan suatu tempat yang mampu memberikan rasa aman, nyaman dan tempat semua orang kembali untuk berkumpul dan mencari solusi dari permasalahan yang disebabkan adanya perkara pidana ringan sehingga dapat memulihkan kedamaian, harmoni dan kesimbangan kosmis di dalam masyarakat. Oleh karena itu izinkan saya dalam kesempatan ini memberikan nama ruang tersebut dengan nama Rumah Restorative Justice (Rumah RJ).
“Perlu bapak ibu ketahui mengapa saya namakan rumah RJ bukan kampung RJ, karena menurut saya, kampung RJ akan terikat secara spesifik oleh wilayah artinya kearifan dan nilai nilai yg digali akan dibatasi oleh wilayah kampung itu saja, sedangkan rumah RJ terkandung maksud tidak ditujukan pada masyarakat tertentu ataupun wilayah tertentu, rumah RJ harus dapat menggali dan menyerap nilai nilai dan kearifan yg tumbuh dan berkembang di masyarakat secara umum tidak terikat oleh wilayah atau lapisan masyarakat tertentu,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan, Pembentukan Rumah RJ diharapkan dapat menjadi contoh untuk menghidupkan kembali peran para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan penegak hukum khususnya Jaksa dalam proses penegakan hukum yang berorientasikan pada keadilan subtantif.
Di samping itu, pembentukan Rumah RJ juga diharapkan menjadi suatu terobosan yang tepat, karena dalam hal ini akan menjadi sarana penyelesaian perkara diluar persidangan sebagai solusi alternatif memecahkan permasalahan penegakan hukum tertentu yang belum dapat memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat seperti sebelum terjadinya tindak pidana.
Selanjutnya, Jaksa Agung mengatakan bahwa terdapat 31 (tiga puluh satu) rumah Restorative Justice yang akan dilaunching, dan Jaksa Agung berharap Rumah RJ ini dapat menjadi pilot project yang nantinya dapat ditiru dan dikembangkan di wilayah lain, sehingga melalui kehadiran Rumah RJ ini, Jaksa Agung mengharapkan dapat menjadi rujukan penegak hukum untuk mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses penyelesaian perkara.
“Selain itu Rumah RJ juga saya harapkan dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman secara komprehensif tentang manfaat dari penyelesaian tindak pidana melalui konsep restorative justice,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung berharap bahwa semangat membangun Rumah RJ, janganlah terjadi hanya pada saat acara peluncurannya saja, oleh karena itu, kepada para Kajati perlu Jaksa Agung ingatkan bahwa menghadirkan keadilan subtantif pada masyarakat adalah kewajiban, tugas dan tanggungjawab kita, sedangkan menghadirkan rumah RJ ditengah masyarakat adalah cara kita mewujudkan keadilan subtantif yang diharapkan oleh masyarakat, Rumah RJ adalah rumah kita bersama, rumah bagi para pencari keadilan, sehingga tolong jaga, rawat dan tumbuh kembangkan eksistensinya, agar rumah RJ dapat terus berkontribusi dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
“Saya juga sangat berharap adanya dukungan penuh dari bapak-ibu Gubernur, Bupati dan Walikota, serta tentunya bapak ibu Forkompimda, karena kami sangat menyadari dukungan penuh bapak ibu sekalian sangat berarti dalam percepatan upaya mewujudkan kesejahteraan hukum bagi masyarakat,” ujar Jaksa Agung.
Berpijak dari tujuan dan manfaat dari dibentuknya Rumah RJ ini, Jaksa Agung meminta kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum membuat pola pengawasan dan melakukan monitoring guna memastikan Rumah RJ berjalan sebagaimana maksud dan tujuannya serta manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat para pencari keadilan.
Setelah memberikan sambutannya, Jaksa Agung juga melakukan dialog langsung secara dalam jaringan (daring/virtual) dengan masyarakat serta pimpinan daerah untuk mengetahui respon positif dari keberadaan Rumah RJ ini. Selain itu, beberapa kepala daerah sangat mendukung dan siap memfasilitasi segala kegiatan untuk kedepannya.
Dalam dialog dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat, seluruh pihak menyambut positif keberadaan kampung RJ, membangkitkan nilai-nilai komunal dan nilai luhur yang ada di dalam masyarakat, dan sangat mengapresiasi bahwa keberadaan Rumah RJ ini dapat mengembalikan kembali marwah musyawarah mufakat sebagai nilai luhur bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila. (hms/ala/ko)