Site icon KaltengPos

Selama Tahun 2022, 200 Ribu Orang Meninggal karena Jantung

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/11/2022). Raker tersebut membahas mengenai peningkatan capaian bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dan Bulan Imunisasi Nasional (BIAN), program penguatan pelayanan kesehatan rujukan, serta penguatan pelayanan kesehatan primer melalui pemindaian dan revitalisasi fungsi puskesmas. Foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com

PENYAKIT  katastropik seperti jantung, stroke, ginjal, dan kanker memakan banyak korban dan biaya. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin Kamis (29/12/2022) menuturkan, pasien yang meninggal akibat penyakit jantung mencapai 200 ribu orang setiap tahun. Sementara itu, total biaya pengobatannya menghabiskan sekitar Rp 9 triliun.

Budi menerangkan, salah satu penyebab tingginya pasien meninggal adalah penyebaran dokter spesialis yang tidak merata. Selain itu, tidak ada alat medis yang mumpuni untuk mengobati penyakit katastropik.

Khusus untuk penyakit jantung, awalnya Kementerian Kesehatan hanya berfokus pada 55 kota. Namun, melihat angka kematian yang tinggi dan biaya yang besar, dipersiapkan cath lab di 514 kabupaten/kota. Cath lab merupakan layanan kateterisasi jantung dan angiografi yang bertujuan untuk mendiagnosis penyakit jantung dan pembuluh darah sehingga membantu dalam intervensi selanjutnya.

”Dalam perjalanan waktu, saya baru sadar bahwa cath lab bukan hanya untuk serangan jantung. Tapi ada 12.500 sampai 15.000 bayi baru lahir yang terkena penyakit jantung bawaan,” kata Budi saat meresmikan cath lab di RSAB Harapan Kita.

Keberadaan cath lab itu dapat memperbanyak pasien jantung yang mendapatkan perawatan. Saat ini tindakan operasi pada bayi yang menderita penyakit jantung hanya bisa dilakukan untuk 6.000 bayi. Padahal, kalau tidak dioperasi dalam waktu satu tahun, pasien berpotensi meninggal.

Selain jantung, Kementerian Kesehatan menargetkan layanan stroke, ginjal, dan kanker dapat dilaksanakan di seluruh rumah sakit kabupaten/kota. Saat ini baru 50 persen kabupaten/kota yang rumah sakitnya memiliki alat kesehatan lengkap untuk empat penyakit itu. Contohnya, untuk penyakit jantung, tidak semua provinsi memiliki rumah sakit dengan fasilitas pasang ring. Dari 34 provinsi, yang bisa melakukan operasi hanya 28 provinsi. Sedangkan operasi jantung terbuka hanya bisa dilakukan rumah sakit di 22 provinsi.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Azhar Jaya menargetkan 34 rumah sakit di seluruh provinsi pada 2024 bisa melayani penyakit kanker, jantung, stroke, dan uronefrologi atau ginjal. Anggaran yang diperlukan untuk mengejar target 50 persen kabupaten/kota tersebut Rp 3,55 triliun. Anggaran tersebut akan disalurkan ke daerah. Dengan demikian, yang membeli alat kesehatan adalah pemerintah daerah.

”Saat ini 55 persen alat kesehatan sudah sampai di daerah. Dari 55 persen itu, ada alat yang sudah terpasang, ada juga yang dalam proses instalasi,” ujarnya. Ada 4 persen alat yang batal dibeli karena supplier tidak siap, tidak bisa inden, katalog turun tayang, dan gagal lelang. ”Pemerintah mempercepat pengiriman barang dan administrasi pertanggungjawaban keuangan akhir tahun. Pemerintah juga segera melakukan penggantian merek untuk barang yang tidak tersedia,” tutur Azhar.

Sebelumnya, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengakui bahwa distribusi dokter di Indonesia tidak merata. Banyak yang praktik di kota besar saja. Di Jakarta, misalnya, ada 8.704 dokter spesialis yang punya surat tanda registrasi (STR). Padahal, di Jogjakarta hanya ada 1.797 dokter spesialis. ”Dokter belum merata karena masih banyak yang di perkotaan,” kata Sekretaris KKI Imran Agus Nurali.(jpc)

Exit mobile version