Site icon KaltengPos

Prosesi Wisuda Sekolah Tidak Boleh Dipaksakan

RAPAT : Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Kotim Riskon Fabiansyah (kedua dari kiri) saat mengikuti rapat belum lama ini. BAHRI/KALTENGPOS

SAMPIT– Dunia pendidikan di Indonesia memang perlu masih perlu banyak berbenah. Setelah sebelumnya di salah satu daerah ditemukan group whatsApp LGBT di jenjang pendidikan sekolah dasar, sekarang yang sedang viral masalah prosesi wisuda.Muncul pernyataan untuk mengembalikan prosesi wisuda hanya untuk jenjang perguruan tinggi.

Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Riskon Fabiansyah mengomentari polemik prosesi wisuda peserta didik tingkat Pendidikan anak usia dini (Paud) hingga sekolah menengah atas (SMA) yang menurutnya memang bukan sebuah keharusan sehingga tidak boleh dipaksakan.

“Terkait polemik acara wisuda di lingkungan sekolah mulai TK hingga SMA sederajat, kami meminta Dinas Pendidikan untuk mengeluarkan surat imbauan untuk semua satuan pendidikan agar apabila kegiatan wisuda tersebut terdapat penolakan orang tua murid maka tidak dilaksanakan dan diganti kegiatan lain yang tidak membebani orang tua murid dengan biaya-biaya lain,” kata Riskon Jumat (16/6).

 

Menurutnya, pro kontra terkait prosesi wisuda dalam acara perpisahan tingkat TK hingga SMA sederajat, ditujukan terkait pembahasan manfaat dan mudharatnya. Karena menurut dari sudut pandang orang tua wali murid mereka banyak menyampaikan keberatan, apalagi yang ekonominya lemah. Hal itu lantaran wisuda bagi peserta didik di sekolah dianggap membuang uang, padahal mereka mesti mempersiapkan lagi dana untuk pendaftaran anaknya ke jenjang pendidikan selanjutnya.

 

“Biasanya pihak sekolah beralasan tujuan acara wisuda itu untuk memotivasi dan memunculkan kebanggaan warga sekolah. Selain itu sebagai sarana silaturahim siswa, guru, Komite sekolah dan orang tua murid. dan pihak sekolah beralasan ini sudah dirapatkan dengan komite sekolah. Padahal, belum tentu semua orang tua setuju atau ikhlas mengeluarkan biaya untuk prosesi wisuda tersebut,” ujar Riskon.

 

Politisi muda Partai Golkar ini juga mengatakan hal yang perlu dipahami bersama, adalah Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang komite sekolah memang menyebutkan bahwa tanggung jawab terhadap dunia pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Selain itu, Komite diperbolehkan menjalankan tugasnya menggalang dukungan dari masyarakat, dunia usaha sesuai ketentuan.

 

“Tetapi tetap tidak dibenarkan apabila keputusan hasil rapat komite menetapkan besaran sumbangan yang diwajibkan untuk pelaksanaan kegiatan di lingkungan sekolah. Yang namanya sumbangan itu tidak boleh diwajibkan besarannya. Artinya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua murid,”ungkap Riskon.

 

Dirinya juga meminta bagi orang tua yang merasa keberatan atas pungutan dari pihak sekolah agar bisa melaporkan kepada pihaknya di DPRD karena pungutan itu termasuk pungutan liar atau pungli.

 

“Pihak sekolah tidak boleh menahan ijazah murid dikarenakan tidak mengikuti acara wisuda atau perpisahan. Kalau ada kejadian seperti ini, kami siap menindaklanjutinya,” tutup Riskon.(bah/ram)

Exit mobile version