PALANGKA RAYA-Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimtan) Kalteng terus melakukan kegiatan sosialisasi maupun koordinasi dengan pihak terkait seperti Kementerian Dalam Negeri, ATR BPN Kalteng, Disperkimtan kabupaten/kota, camat, dan pihak terkait lainnya dalam rangka menekan jumlah sengketa tanah garapan.
“Rakor penyelesaian sengketa tanah garapan di Kalteng tahun ini sebagai upaya penguatan dan menambah wawasan pihak terkait mengenai sengketa tanah garapan dalam bentuk kewenangan yang diberikan kepada kita,” kata Kadisperkimtan Kalteng Leonard S Ampung kepada media, Rabu (16/6).
Hal ini tentu sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014. Dari sembilan kewenangan itu, salah satunya terkait sengketa tanah garapan.
“Kemarin kami sudah ikut rakor soal izin lokasi. Terkait UU Cipta Kerja, maka perlu penyesuaian terkait izin lokasi. Jadi kami menunggu regulasi turunan UU Cipta Kerja, sehingga tidak terjadi tabrakan antara UU Nomor 23 dengan UU Cipta Kerja,” tuturnya.
Rakor tersebut sebagai momen baik untuk menelaah bersama pihak terkait soal maraknya sengketa lahan yang terjadi di kabupaten/kota, dengan harapan ada solusi terbaik yang dapat diterapkan.
“Di Palangka Raya ini juga cukup banyak tumpang tindih perizinan, sehingga berpengaruh pada terhambatnya investasi. Salah satunya di bidang perumahan. Misalnya, setelah dibangun perumahan, kemudian terjadi sengketa lahan, yang dirugikan adalah masyarakat serta developer,” tuturnya.
Hal-hal seperti ini tentunya perlu diminimalkan, sehingga tidak menghambat pelaksanaan pembangunan di Kalteng. Semua pihak terkait diharapkan memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa lahan tanah garapan.
“Oleh karena itu, baik pihak Kemendagri maupun BPN bisa berbagi ilmu kepada peserta, terutama untuk insan pertanahan, agar siap mengatasi masalah sosial, budaya, bahkan mafia tanah yang kian marak saat ini,” harap Leo.
Oleh karena itu personel yang ada dituntut lebih menguasai regulasi dan bisa melakukan negosiasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga mampu menyelesaikan persoalan dengan baik.
Terpisah, Kepala Seksi Wilayah I Subdit Pertanahan dan Penataan Ruang Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri T Hadi Priyanto mengatakan, untuk menyelesaikan sengketa lahan tanah garapan di Kalteng, diperlukan peran serta pemerintah daerah, baik yang bergerak di sektor pertanahan maupun kantor pertanahan atau kantor wilayah BPN.
“Karena ketika ada sengketa lahan seperti adanya dokumen sertifikat ganda dan lainnya, maka perlu peran pemda melakukan inventarisasi bersama pihak terkait,” katanya.
Sehingga akan ada deliniasi dan registrasi di BPN untuk memenangkan hak atas tanah yang dikuasai, melakukan ganti rugi, dan lainnya. Proses ini membutuhkan peran pemda untuk melakukan mediasi.
“Ketika ukuran tanah tidak sesuai, maka akan diperkarakan di pengadilan. Ketika sudah diperkarakan, maka pihak pemerintah dan pihak BPN ini akan menjadi saksi ahli dalam persidangan,” tuturnya.
Menurut Hadi, sengketa lahan yang terjadi Kalteng berkaitan dengan HGU untuk pembukaan lahan sawit dan lainnya. Saat pembukaan lahan, maka ada deliniasi. Dan terkadang ada permukiman yang sudah ditempati puluhan tahun oleh masyarakat lokal. Hal-hal seperti itulah yang menimbulkan sengketa.
“Di sinilah peran pemda dan BPN untuk menginventarisasi dan mediasi, apakah ada dokumen lain yang dapat mendukung hak atas tanah tersebut. Ketika tidak ada dokumen, maka dapat dilakukan relokasi,” pungkasnya. (nue/ce/ala)