Pinto NH cukup sering diundang ke Palangka Raya. Ia hadir di berbagai acara, menjadi juri, hingga narasumber dalam berbagai acara pelatihan foto yang diikuti kalangan muda. Kali ini fotografer asal Yogyakarta itu berbagi pengalaman dengan mahasiswa untuk melestarikan budaya lewat kamera.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
PINTO NH memang sudah tidak asing lagi bagi fotografer di Kalteng. Acap kali diundang pada berbagai event besar di Bumi Tambun Bungai. Ia tak lelah berbagi ilmu fotografi yang dimilikinya. Di sela-sela mengisi kegiatan workshop fotografi di STMIK Palangka Raya, Kalteng Pos berkesempatan berbincang dengan Pinto NH.
Pinto merupakan praktisi dan pengajar fotografi berpengalaman asal Yogyakarta. Ia dipercaya menjadi pengajar kelas foto pada kegiatan workshop fotografi dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda, yang mengangkat tema Peran Generasi Muda Dalam Melestarikan Budaya di Era Teknologi Digital, di Aula STIMIK Palangka Raya, Senin (31/10). Kegiatan yang digagas oleh UKM Multimedia STMIK Palangka Raya ini menyasar kaum muda pencinta seni fotografi.
Menurut Pinto, fotografi merupakan seni mengambil gambar dari realitas menjadi imaji maya yang tersimpan dalam alat bernama kamera. Realitas itu bisa apa saja. Realitas merupakan entitas abstrak yang memuat segala sendi kehidupan. Sendi kehidupan itu seperti alam, sosial, ekonomi, maupun budaya. Setiap sendi kehidupan sudah semestinya dirawat. Salah satu sendi kehidupan yang pantas dirawat adalah budaya, terutama budaya yang hampir punah. Lebih-lebih lagi para era digital saat ini.
Maka dari itu, lanjut Pinto, penting adanya sebuah pelatihan fotografi yang tidak hanya mengajarkan teknik-teknik mengambil gambar, tapi juga terselip di dalamnya tema besar untuk menjaga budaya. Melalui teknik memotret gambar indah pada objek berupa budaya yang nyaris punah, budaya itu jadi takkan punah.
Dikatakannya, melalui skill fotografi yang dimiliki seseorang, memotret dengan benar kebudayaan-kebudayaan lokal yang hampir punah, lalu mengunggahnya di media sosial, maka kebudayaan itu tidak akan punah.
“Kita kenal kan bahwa sekarang eranya media sosial, kita upload di media sosial seperti Instagram atau yang lainnya, ketika kita upload gambar hasil potretan kita, asal motretnya benar, orang akan tertarik, sehingga budaya lokal pun terangkat,” ucapnya saat diwawancarai Kalteng Pos usai memaparkan materi pelatihan, Senin (31/10).
Pinto mengatakan, untuk mewujudkan tema itu, para peserta fotografi wajib memiliki kepekaan. Kepekaan pada kebudayaan-kebudayaan yang nyaris punah, untuk selanjutnya diabadikan lewat seni fotografi dari skill yang mumpuni. “Kira-kira apa kebudayaan yang mau punah, ketika sudah tahu itu, maka bisa diabadikan lewat seni fotografi,” tuturnya.
Tak bisa dimungkiri, pada gambar yang merupakan hasil dari memotret, tersimpan pesan-pesan tersirat di dalamnya. Tanpa tulisan tambahan, pesan tersirat pada foto itu dapat ditangkap secara berbeda oleh masing-masing kepala. “Foto berbicara ribuan kata. Kepekaan akan suatu bidang itu dapat dipicu oleh fotografi. Hal ini karena mengingat sifatnya yang multitafsir,” tandas pria berkepala plontos itu.
Sementara itu, Ketua Panitia Deny Krisbiantoro mengatakan, melalui kegiatan yang pesertanya terbuka untuk umum itu, diharapkan dapat membentuk para peserta menjadi peka akan kondisi sekitar. Ia pun memiliki pemahaman yang lebih luas soal budaya. Ia beranggapan budaya tidak melulu perkara kemegahan. Bahkan kehidupan sehari-hari juga bagian dari budaya.
“Ini menjadi kesempatan bagi teman-teman pencinta fotografi untuk mendokumentasikan apa yang terjadi di sekitar. Budaya itu tidak melulu harus berupa sesuatu yang megah. Aktivitas masyarakat juga termasuk dalam budaya. Banyak yang beranggapan bahwa budaya itu merupakan sesuatu yang butuh effort lebih untuk mendokumentasikannya, padahal kehidupan sehari-hari masyarakat pun termasuk budaya,” jelasnya.
Pria yang merupakan mahasiswa semester tiga program studi sistem informasi itu menegaskan, melalui kegiatan ini diharapkan peserta bisa memiliki khazanah baru, bahwa memotret dengan teknik-teknik tertentu dapat menghasilkan potret yang bagus.
Sementara itu, salah satu peserta yang merupakan mahasiswa semester lima program studi sistem informasi, Ricardo Prayoga mengaku termotivasi mengikuti workshop fotografi ini karena bisa mendapatkan keterampilan baru dalam seni fotografi. “Saya ikut karena di sini diberikan materi dan ada tips dari pemateri profesional, Pak Pinto, bagus untuk diikuti,” tuturnya.
Sementara itu, Debora Priskila mahasiswa semester satu dari Lembaga Pendidikan Teknologi Informasi dan Bisnis mengatakan, ia penasaran dengan materi fotografi yang dipaparkan karena merupakan bagian dari multimedia. Sebelumnya, Debora mengaku merupakan seorang pebisnis online yang menjual produk skincare.
Melalui pelatihan fotografi yang diikuti ini, ia berharap dapat meningkatkan skill dalam memotret produk-produk jualannya. “Saya jualan skincare. Melalui pelatihan fotografi ini, saya berharap dapat meningkatkan skill saya dalam memfoto produk-produk yang saya jual,” tuturnya. (*/ala)