Site icon KaltengPos

Duri dalam Tanah

Akhmad Dhani

Oleh: Akhmad Dhani

PADA sore hari yang terik, muda-mudi SMA memadati Stadion Tuah Pahoe. Saat itu ada acara launching tim Kalteng Putra. Ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Ada yang sendiri. Ada yang beramai-ramai. Tak sedikit pula yang berpasang-pasangan.

Muda-mudi itu nampak tidak sabar menunggu dimulainya acara. Selain remaja juga ada orang-orang dewasa muda. Kebanyakan bukan hanya pengunjung, tapi rangkap panitia acara. Muda berseri. Berparas ayu.

Pejabat belum datang. Cuaca panas. Kami harus menunggu lama sampai acara dimulai.  Saya bersama kawan-kawan wartawan mencari tempat bernaung. Selasar gerbang stadion jadi pilihan. Pas banget. Ada banyak pedagang makanan.

Saya bersama wartawan lain ngobrol ke sana-kemari. Membahas Isu-isu yang telah kami narasikan dan berkembang di masyarakat. Salah satunya masalah tanah. Satu kawan menceletuk kekhawatirannya saat mau beli tanah. Takut sengketa. Kawan lain memberi saran agar beli tanah yang bersertifikat. Jawaban itu belum bisa diterima. Masih diberdebatkan. Yang bersertifikat saya masih tumpang tindih. Hehehe. Masalah pertanahan di Palangka Raya seakan tidak ada habisnya. Hampir tiap bulan ada saja pihak-pihak yang melaporkan ke pihak berwajib terkait permasalahan ini.

Pengalaman saya melakukan peliputan terkait konflik-konflik pertanahan di kota ini membuat saya hanya bisa menggelengkan kepala. Saya tidak habis pikir. Sekalipun memiliki legalitas tanah, baik Surat Pernyataan Pemilik Tanah (SPPT) atau bahkan Sertifikat Hak Milik (SHM), tetap saja membuat gelisah.

Akan tetap ada orang-orang berwajah sangar yang akan berusaha meruntuhkan keabsahan surat kepemilikan tanah anda. Tak sedikit dari mereka yang mempersenjatai diri. Para penegak hukum sebut merekalah para mafia tanah. Tidak semua mafia tanah demikian, kadang ada juga yang tampil lebih elegan, terlihat kaya dan necis, tetapi dia kaya dari pekerjaannya itu, sebagai mafia tanah.

Menurut pernyataan dari salah satu pemerhati masalah sengketa tanah di Palangka Raya, lokasi yang paling banyak mengalami sengketa tanah adalah di Kecamatan Jekan Raya, terkhusus di Kelurahan Bukit Tunggal. Mau lebih khusus lagi? Di Jalan Hiu Putih dan Jalan Badak Ujung. Kasihan sekali masyarakat yang tinggal di situ. Mereka pasti khawatir kalau sewaktu-waktu tanah yang ditempatinya bersengketa. Lurahnya pun, sebagai garda terdepan yang berhadapan langsung dengan persoalan demi persoalan di masyarakat, pasti dibuat pusing.

Saya pernah diminta mengawal isu pertanahan di lokasi setempat. Terakhir, konflik pertanahan yang saya liput adalah tumpang tindih SHM antara warga dengan pihak atas nama Hj Musrifah dan Hj Halidah, di Jalan Hiu Putih VIII A. Hj Musrifah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya kepada BPN Palangka Raya karena telah menerbitkan 12 SHM milik warga di lokasi setempat.

Puluhan rumah sudah terbangun di atas tanah yang digugat oleh penggugat. Masyarakat setempat pun meradang. Mereka menjadi pihak tergugat intervensi. Puluhan warga pun menyambangi PTUN Palangka Raya dengan wajah kebingungan. Masalah ini bergulir sejak awal tahun lalu. Hingga pada awal Juli lalu, sidang memutuskan untuk mengabulkan gugatan Hj Musrifah. Warga jadi sangat jengkel. Umpatan demi umpatan pun terlontar dari mulut beberapa warga terhadap pihak penggugat dan PTUN sehari usai putusan dilayangkan.

Warga tak kehabisan akal. Mereka pun melakukan berbagai upaya agar dapat kembali memiliki tanahnya. Teranyar, mereka sudah mengajukan upaya hukum terhadap putusan PTUN ke banyak instansi pusat. Warga sudah melaporkan ke Komisi Yudisial (KY) terkait pelanggan kode etik hakim. Mereka laporkan juga berbagai keluhan warga ke Badan Pengawas Mahkamah Agung RI. Pengaduan warga dilaporkan juga ke Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian ATR/BPN.

Sampai sekarang, belum ada perkembangan dari persoalan itu. Sejak awal Agustus itu, narasi pemberitaan terkait tumpang tindih SHM antara warga dengan Hj Musrifah di Jalan Hiu Putih itu pun mulai mereda. Tiba-tiba, pada Rabu (30/8) kemarin, permasalahan sengketa lahan kembali menyeruak. Kali ini tidak di Jalan Hiu Putih. Tapi di Jalan Badak Ujung.

14 orang warga Jalan Badak Ujung menyambangi Ditreskrimum Polda Kalteng. Membawa serta berkas bersampulkan warna hijau tosca. Ada lambang garuda di sampulnya. Di bawah lambang garuda, tertulis… coba tebak, coba tebak… ya, sertifikat. Kira-kira apa yang dilakukan warga? Apalagi kalau bukan melakukan pengaduan atas dugaan penyerobotan dan perusakan lahan di atas tanah milik mereka. Empat orang dilaporkan dalam dugaan itu.

Para pemilik tanah yang sudah punya legalitas SHM tersebut pun dibuat geram oleh ulah keempat orang itu. Sebab mengklaim sepihak tanah milik mereka yang sudah sah di mata negara. Diceritakan pihak warga, polemik tersebut sudah terjadi sejak 2010 lalu. Namun, mulai tahun ini pihak terlapor berani melakukan pembersihan lahan.

Mereka melaporkan dugaan tindak pidana terkait penyerobotan lahan, perusakan lahan, dan penggunaan surat palsu untuk menguasai lahan.

Nah loh. Kejadian lagi kan. Lagi-lagi dugaan penggunaan surat palsu untuk menguasai lahan. Kemarin baru aja ditangkap, pelaku mafia tanah inisial MGS yang sudah divonis juga. Disebut-sebut menggunakan surat palsu zaman Belanda, verklaring.

Pihak yang dibuat stres dari persoalan ini tidak hanya warga yang terlibat langsung dalam persoalan, tetapi juga warga yang punya sedikit rezeki untuk membeli tanah. Masyarakat yang ingin beli tanah pun pasti dibuat khawatir. Takut ketusuk duri di dalam tanah.

 

Dalam lingkungan masyarakat saya, kalau punya sedikit rezeki, misal dapat uang berapa puluh juta saja, pasti mereka alihkan untuk membeli tanah. Diniatkan untuk aset penyelamat masa depan. Apalagi di daerah-daerah yang potensi berkembangnya tinggi. Termasuk di Jalan Badak dan Jalan Hiu Putih itu.

Pembaca bisa bayangkan. kalau punya uang Rp30 juta, lalu dapat informasi di Jalan Hiu Putih VI, misalnya, ada dijual tanah satu hektare seharga Rp15 juta. Alas haknya SHM. Berani enggak beli? Hiu Putih lho. Ramai, lokasi strategis, dan plus-plus-plus lainnya.

Saran saya, sih, periksa dulu pastinya legalitas tanah di situ. Bukan hanya itu, harus menanyakan ke warga sekitar apa tanah yang mau beli itu bebas dari sengketa. Kalau sudah melakukan itu tapi hasilnya meragukan, lebih baik urungkan niat.

Uang Rp15 juta kalau diinvestasikan ke benda berharga lain kan enggak kalah untung. Bahkan bisa berlipat-lipat. Misal menanamkan saham di perusahaan. Kan lagi bagus tuh di bursa saham. Sampean bisa download aplikasi investasi itu di Play Store.

Dari pada nanti paksa beli karena harganya murah, nanti Anda sendiri yang pusing. Jadi stress. Apalagi kalau sudah terjebak dalam masalah ini. Anda saja pusing, apalagi saya.(*)

Penulis adalah Wartawan Kalteng Pos

Exit mobile version