Sosoknya yang ramah membuat Rajudinor mudah membaur dengan warga dan jemaah. Alhasil, hingga kini ia sudah 13 tahun dipercaya sebagai marbut di Masjid At-Tarbiyah Jalan Menteng X No 5 Kota Palangka Raya.
*WULAN SARI, Palangka Raya
SEORANG pria paruh baya bergamis putih dan peci putih keluar dari Masjid At-Tarbiyah. Ia menyambut Kalteng Pos (penulis) yang menemuinya dengan ramah. Ia adalah Rajudinor atau lebih dikenal dengan sebutan Uwa maupun kaum masjid.
Perbicangan penulis dengan Rajudinor mengalir begitu saja. Ia menceritakan awal mula hijrah ke Ibu Kota Provinsi Kalteng ini. Pria asal Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel) ini datang ke Palangka Raya untuk mengikuti sang kakak. Ia merupakan seorang yatim dari sebuah keluarga sederhana. Walau hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) di kampung halamannya, sejak kecil ia sudah mulai belajar tentang ilmu agama islam, baik dari nahwu, shorof, fiqh, tauhid dan lain sebagainya dari sang kakak ipar KH Ibrahim bin HM Nuh atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Abuya yang juga merupakan salah seorang ulama besar dari Kalteng.
Pada tahun 1970, iya mengikuti sang kakak dan kakak ipar sekeluarga untuk pindah ke Palangka Raya untuk dakwah dan syiar agama melalui pendidikan. Sesampainya mereka di Bumi Tanah Tambun Bungai, mereka menetap di Pesantren Hidayatul Insan (HI) milik KH. Ibrahim bin H.M. Nuh.
Kurang lebih 2 tahun lamanya ia menetap di pesantren. Pria kelahiran 1962 itu mencoba mencari pekerjaan di luar. Alhasil, diterima di sebuah Toko Bangunan Sumber Logam di Jalan Sumbawa. Pemilik toko itu sangat baik kepada para karyawannya. Di sana, selain bekerja juga diperbolehkan untuk tempat tinggal toko dan tak jarang melakukan kumpul makan bersama.
Sekitar 12 tahun, anak H Muhammad Nuh itu bekerja di sana dari pagi sampai sore hari dan malam harinya, sering kali ia gunakan untuk pergi ke masjid serta mengikuti pengajian ataupun majelis-majelis guna menimba ilmu.
Sampai suatu ketika, di Toko Sumber Logam ia kenal dan dekat dengan seorang perempuan bernama Nor Hayati keponakan H Sanidar, bos sekaligus pemilik toko bangunan. Pada 1984, ia menikahi perempuan itu pada saat berusian 22 tahun.
“Istri saya itu masih masih punya hubungan keluargalah sama bapak H Sanidar itu. Ya walaupun keluarga jauh tapi dulu sering ketempat bapak dan akhirnya dikenalkan lalu deket tapi tidak pacaran lalu dinikahkanlah saya dengan istri saya itu oleh beliau (H Sanidar),” jelas Rajudinor.
Ditambahkan Rajudinor, dulu ketika pernikahannya, ayah angkatnya yaitu H Sanidar juga yang menanggung biayanya. Walaupun sekarang telah meninggal atau almarhum, tapi hubungannya dengan pihak keluarga beliau masih baik hingga saat ini dan kadang juga mereka melakukan buka bersama di bulan Ramadan.
Selepas menikah, Rajudinor tidak lagi tinggal dan bekerja di Toko Sumber Logam lagi. Ia memilih untuk membeli rumah di Gang Sari No.45 dan membuka usaha berjualan kain di Blauran. Sampai suatu ketika terjadilah kebakaran besar di Gang Sari No.45, termasuk rumah yang ditinggalinya bersama keluarga. Setelah kebakaran itu, pindahlah keluarga kecil itu ke Komleks Bangas Permai dengan kredit rumah. Rajudinor juga mengaku, ketika mengkredit rumah seharga Rp65.000 itu sering kali menunggak dalam membayarnya, karena penghasilannya masih sedikit dan ditambah setelah kebakaran yang membuatnya harus pindah. Sehingga jarak rumah dan toko menjadi jauh sehingga membuatnya sulit untuk berdagang. Lalu toko kain miliknya itu di pindahkanlah ke dekat rumah, tepat sebelah supermarket. Tapi penjualan di sana tidak seramai penjualannya di pasar blauran dulu.
Sampai suatu ketika, ia ditawari untuk menjadi kaum di masjid Al-Fattah. Hal ini karena, dulu ia sering pergi ke masjid serta azan di sana jelang salat berjamaah. Hal itulah yang membuat masyarakat setempat tertarik untuk menariknya menjadi kaum. Pekerjaan menjadi kaum di Masjid Al-Fattah itu ditekuninya selama 7 tahun.
Sampai, hari demi hari toko kain milik kaum Masjid Al-Fattah itu menjadi sepi dan akhirnya kaum itu memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaan itu dan memindah toko kain miliknya ke jalan Tamanggung Tilung dengan menyewa toko. Selepas berhenti sebagai marbut, Rajudinor ingin fokus mengembangkan usahanya dengan selain menjual kain juga ingin menjal pecah belah. Di sana, ayah dari 4 orang anak dan juga penjual kain itu sering singgah salat fardu di Masjid At-Tarbiyah di Jalan Menteng X No.5. Di masjid itu ia kerap kali azan dan salat berjamaah. Kala itu masjidnya masih belum terlalu jadi, tapi sudah bisa difungsikan sebagai masjid. Walau hanya beralaskan tikar.
Kala itu juga sedang dicari seorang kaum menggantikan kaum masjid sebelumnya. Melihat Rajudinor sering ke masjid, pengurus masjid itu tertarik untuk mengajaknya untuk menjadi kaum di Masjid At-Tarbiyah dan akan disewakannya tempat tinggal di dekat masjid karena saat itu rumah untuk kaum sendiri belum jadi. Selain itu juga mengingat bahwa Rajudinor juga merupakan mantan kaum di masjid Al-Fattah yang otomatis punya pengalaman dalam mengurus masjid.
“Tawaran menjadi kaum ini dulu pernah saya tolak, karena waktu itu saya ingin fokus mengembangkan usaha saja, ingin bebaslah tanpa terikat lagi. Tapi karena banyak orang, khususnya pengurus masjid memohon agar ia mau menjadi kaum. Tepatnya pada tahun 2010, tawaran itu saya terima dan akhirnya menjadi kaum lagi,” ungkap kaum Masjid At-Tarbiyah.
Ia juga menjelaskan, kala itu ia sudah berumur 48 tahun ketika menjadi kaum di Masjid At-Tarbiyah. Masjid terawat bahkan ber-Ac, Rajudinor juga sudah menempati rumah kaum masjid yang terletak tepat di belakang masjid.
“Alhamdulillah berkat kerja ikhlas di rumah Allah Swt, rejeki lancar. Usaha kain dan pecah belah di Jalan Temanggung Tilung sana mulai ramai. Selain itu saya juga menambah usaha kecil-kecilan berupa membuka usaha sembako dan bakaran di Jalan G Obos,” ungkapnya.
Pria yang sekarang telah menginjak usia 61 tahun itu juga mengatkan hal yang belum tercapai selama menjadi marbut ialah ingin membangun rumah sendiri. Ia juga menjelaskan, apabila ia sudah tidak ada, otomatis keluarganya tidak mungkin tinggal di rumah masjid lagi. Tinggal istri dan anak terakhirnya nanti mau tinggal di mana. Kalau ketiga anaknya yang lain sudah bekerja dan sudah mulai berkeluarga. Oleh karena itu, dengan gaji sebagai marbut dan usaha yang dijalankan ini sedang dikumpulkan untuk membangun rumah nantinya.
Selain itu, masalah kebersihan biasanya dilakukan dua kali dalam seminggu oleh Rajudinor sendiri. Akan tetapi pada bulan Ramadan tidak ia lakukan, karena pada bulan ini remaja masjid sudah mulai aktif dalam menghidupkan masjid, ditambah beberpa beberapa bulan lalu juga mendapat bantuan dari para mahasiswa KKN di sana untuk menghidupkan masjid. Kadang kala ia hanya memantau remaja masjid maupun mahasiswa KKN saja. Apabila ada waktu luang, kadang kala Rajudinor dan istri memantau perkembangan usaha mereka. Kadang kala apabila ia tak bisa pergi ke toko karena harus membersihkan masjid, maka istrinya yang akan pergi di antarkan sang anak sebelum berangkat sekolah.
Suriansyah, selaku penasehat Masjid At-Tarbiyah mengatakan masjid At-Tarbiyah berasal dari sebidang tanah milik warga setempat yang diwakafkan untuk pembangunan masjid. Tanah itu merupakan tanah bersertifikat yang diamanahkan kepada Suriansyah. Tahun 2004 awal mula pembangunan Masjid At-Tarbiyah dan diketuai langsung oleh Suriansyah sendiri. Pembangunan itu dilakukan sekitar 15 tahunan untuk mencapai seperti saat ini. Pemilihan kaum juga dilakukan oleh para pengurus masjid setelah masjid itu bisa difungsikan.
“Kalau menurutkulah, pak kaum (Rajudinor) itu bagus aja, ramah ramah gitu. Kadang, kalau ada hal yang penting bersangkutan dengan masjid dilakukan musyawarah dan kadang juga ikut kumpul-kumpul seperti kita saat ini juga,” ujar Budi, warga setempat sekaligus salah seorang jemaah Masjid At-Tarbiyah.
Tidak hanya itu, Penasehat masjid dan salah seorang warga setempat itu juga menjelaskan bahwa kaum Masjid At-Tarbiyah ini juga dulu pernah di umrahkan oleh para warga setempat. Hal itu dilakukan untuk meapresiasi kerja kaum masjid itu dalam menjaga dan merawat masjid. Karena menurut warga setempat tidak ada balasam yang lebih baik selain memberangkatkan kaum itu untuk umrah. (*/ala)