Tak bisa dimungkiri bahwa terdapat beberapa versi sejarah tentang sosok Kiai Gede. Perbedaan pandangan dari sejumlah kalangan itu dianggap wajar, mengingat sampai saat ini masih minim litelatur sejarah yang mengulas terkait sosok ulama kharismatik kebanggan masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng) ini.
RUSLAN, Pangkalan Bun
ADA beberapa versi sejarah tentang asal usul Kiai Gede yang beredar di tengah masyarakat. Ada yang menyebut bahwa Kiai Gede merupakan ulama asal Demak yang diutus khusus oleh Kesultanan Banjar/Kerajaan Banjar untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah Kotawaringin. Kesultanan Banjar yang berpusat di Kalsel memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas. Termasuk hampir sebagian dari wilayah Kalteng saat ini. Sejarah inilah yang banyak diyakini oleh masyarakat saat ini.
Sejarah kedua menyebut bahwa Kiai Gede Gede merupakan seorang pejabat tinggi di wilayah Kotawaringin yang kala itu merupakan salah satu negara dependensi (negara bagian) di dalam “negara Banjar Raya” yang masuk dalam wilayah kekuasaan Banjar Raya.
BACA JUGA: Belum Sempat Berdakwah ke Wilayah Hulu Kotawaringin
Hal ini diperkuat dengan nama Kiai Gede yang diambil dari kependekan Dipati Nganding. Sebagai pemimpin wilayah di Kotawaringin, Kiai Gede saat itu bergelar Dipati Nganding. Jabatan tersebut setara bupati atau pemimpin wilayah.
Dalam sejarah Hikayat Banjar, diceritakan bahwa tokoh penyebar agama Islam di Kotawaringin adalah Majan Laut yang tak lain merupakan ayah dari Kiai Gede dan Tonggara Mandi yang merupakan paman dari Kiai Gede. Sementara Kiai Gede sendiri sudah sejak lama menetap di Kotawaringin sebagai pejabat.
Dan ajaran Islam sebagian sudah masuk ke wilayah Kotawaringin yang saat itu masuk dalam negara dependensi (negara bagian) di bawah kekuasaan Banjar Raya karena masuk dalam “negara Banjar Raya”.
“Memang ada beberapa versi yang menceritakan tentang penyebaran Islam di Kotawaringin dan Kiai Gede. Namun saya ikut versi Hikayat Banjar karena melihat timeline perjalanan hidup Kiai Gede. Sebab pada abad 15-18 gelar kiai merupakan gelar bagi seorang pejabat, sedangkan untuk ulama disebut tuan guru, kala itu Tonggara Mandi memiliki gelar tuan guru, sebagai menteri pada Kerajaan Banjar,” kata pemerhati sejarah yang juga merupakan sutradara asal Kotawaringin Barat, Lonce Marloce, kepada Kalteng Pos.
“Karena zaman dahulu, rakyat akan mengikuti kerajaan, jika kerajaannya Islam, maka masyarakatnya juga Islam, termasuk Kotawaringin yang saat itu di bawah kekuasaan Karajaan Banjar,” ucapnya.
Diyakini bahwa saat itu sudah banyak warga yang menganut agama Islam, karena Kotawaringin adalah bagian Kesultanan Banjar yang sudah beragama Islam.
Lonce yang juga merupakan keturunan dari Kesultanan Kutaringin, Juriat Raden Ira Bakti, menjelaskan bahwa pihaknya tidak setuju jika Kiai Gede disebut sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di Kotawaringin. Meski demikian, pihaknya meyakini bahwa Kiai Gede adalah salah satu tokoh yang membantu menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah Kotawaringin.
BACA JUGA: Penjaga Makam Bercerita tentang Karamah sang Kiai
Dalam sejarah lainnya, disebutkan bahwa Kiai Gede merupakan utusan Kerajaan Demak dan memiliki nama Abdul Qadir Assegaf yang merupakan keturunan Rasullullah. “Saya tetap menghormati versi lain, tinggal bagaimana masyarakat menilai dan menafsirkan sejarah, mana yang diyakini, yang jelas apa pun perbedaan versi yang beredar, kita wajib menghormati dan mengingat jasa-jasa serta mendoakan para pendiri benua kita,” pungkasnya. (bersambung/ce/ala)