Tidak terasa Ramadan 1442 Hijiriah sudah memasuki penghujung bulan. Tak terasa pula ulasan tentang jejak Kiai Gede dalam menyebarkan agama Islam di Kalimantan Tengah (Kalteng) memasuki edisi terakhir. Masih banyak data dan sumber informasi yang perlu digali lebih dalam lagi untuk mengupas tuntas sosok kiai yang melegenda di Bumi Tambun Bungai ini.
RUSLAN, Pangkalan Bun
TAK ada yang tahu pasti kapan Kiai Gede wafat dan mengakhiri dakwahnya dalam menyebarluaskan agama Islam di wilayah Kotawaringin. Namun jika dilihat dari sejarah jabatannya selama masa Kesultanan Kutaringin, Kiai Gede diperkirakan wafat sekitar tahun 1650.
Hal ini terlihat dari litelatur sejarah yang diabadikan dalam Hikayat Banjar. Dalam sejarah dituliskan bahwa setelah beridirinya Kesultanan Kutarangin di bawah kepemimpinan Pangeran Adipati Antakusuma selaku raja pertama, Kiai Gede diangkat sebagai Mangkubumi I.
BACA JUGA: Diangkat Menjadi Pejabat Kerajaan Setingkat Wakil Raja
Jarak pengangkatan Mangkubumi I dan Mangkubumi II dijadikan acuan untuk memperkirakan wafatnya Kiai Gede.
Sebab dalam sistem kerajaan, jabatan seseorang baru akan berakhir saat wafat, kecuali pejabat tersebut mengundurkan dari atau turun dari jabatannya. Jika dilihat dari pengangkatan jabatan Mangkubumi I dan II pada Kesultanan Kutaringin, Pangeran Aria Wiraraja diangkat sebagai Mangkubumi II menggantikan Mangkubumi I yang dijabat Kiai Gede yang merupakan kakeknya.
“Memang dalam sejarah jabatan petinggi kerajaan termasuk juga takhta kerajaan, jabatan seorang petinggi, bahkan raja sekalipun, baru akan berakhir setelah sang pejabat maupun raja meninggal/ wafat ataupun turun takhta karena mengundurkan diri. Selanjutnya jabatan ataupun takhta itu akan digantikan oleh keturunan penerus,” kata pemerhati sejarah, Lonce, saat berbincang dengan Kalteng Pos.
Berdasarkan data Pusat Pengelolaan Jurnal dan Penerbitan (PPJP) Lambung Mangkurat, Kiai Gede diperkirakan wafat pada 1650 atau pada usia 89 tahun. Dengan demikian Kiai Gede diperkirakan lahir pada tahun 1559.
Selama mengabdi di Kesultanan Kutaringin, Kiai Gede diketahui dua kali menjabat sebagai Mangkubumi I, yakni pada masa pamerintahan Pangeran Adipati Antakusuma (raja pertama) dan masa kepemimpinan Pangeran Ratu (PR) Amas (raja kedua) yang naik takhta pada tahun 1647.
BACA JUGA: Pemprov Berencana Memugarkan Makam, Lahan Parkir Bakal Diperluas
“Setelah Kiai Gede wafat pada tahun 1650, jabatan Mangkubumi II digantikan oleh cucunya bernama Pangeran Aria Wiraraja yang merupakan anak keturunan dari raja banjar yang menikah dengan anak perempuan Kiai Gede,” jelasnya.
Jika dilihat dari timeline-nya, Pengeran Aria Wiraraja sempat menjabat Mangkubumi II di Kesultanan Kutaringin selama 13 tahun.
Kemudian ia diangkat menjadi Mangkubumi di Kesultanan Banjar tahun 1663, menggantikan Raden Halit yang tak lain adalah pamannya, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung/Pangeran Kusuma Lelana.
“Setelah Pengeran Aria Wiraraja diangkat menjadi Makubumi Kesultanan Banjar, jabatan Mangkubumi II Kesultanan Kutaringin mengalami kekosongan, siapa penggantinya tidak dijelaskan detail, dan belum ditemukan sejarah yang mengarah kepada penerus jabatan Mangkubumi di Kesultanan Kutaringin,” pungkasnya.
Jejak sejarah peninggalan Kiai Gede dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Kotawaringin diabadikan hingga kini. Kompleks pemakaman dan Masjid Kiai Gede dijadikan objek wisata religi yang tak pernah sepi dari pengunjung.
Antusiasme peziarah yang datang dari berbagai daerah mendorong pemerintah daerah menyulap kecamatan yang memiliki 2 kelurahan dan 15 desa ini menjadi destinasi wisata religi. Hal ini sejalan dengan program prioritas pemerintah daerah untuk mengembangkan sektor pariwisata.
Pada beberapa kesempatan, Bupati Kotawaringin Barat Hj Nurhidayah mengatakan bahwa wilayah Kecamatan Kotawaringin Lama memiliki beberapa objek wisata potensial.
Di antaranya Masjid Kiai Gede dan kompleks makam, Istana Al Nursari, Danau Masorayan, dan Danau Gatal. Dari beberapa destinasi itu, yang paling kental adalah wisata religi karena punya bukti peninggalan sejarah.
“Bapak Gubernur Kalteng (H Sugianto Sabran) pernah meminta kepada pengelola makam Kiai Gede agar membuat silsilah tentang Kiai Gede, sehingga pengunjung bisa membaca asal mula kedatangan Kiai Gede hingga wafatnya dan kaitannya dengan berdirinya Kerajaan/Kesultanan Kutaringin,” terang Hj Nurhidayah.
Bupati perempuan pertama di Kalteng ini menambahkan, wisata religi di Kecamatan Kotawaringin Lama seperti wisata Religi Wali Songo. Diakuinya bahwa jumlah kunjungan sangat tinggi. Masyarakat begitu antusias mendatangi kompleks makam maupun Masjid Kiai Gede.
BACA JUGA: Kerajaan Punya Versi Tersendiri tentang Kiprah sang Kiai
Bahkan tahun 2018 lalu pemerintah daerah sudah menginventarisasi aset destinasi wisata. Ada anggaran untuk merehab masjid tahun itu. Kemudian dilanjutkan pemugaran makam pada 2019.
Menurut bupati, sektor pariwisata merupakan prioritas dalam pengembangan pembangunan Kabupaten Kobar, karena sektor ini yang langsung bersentuhan dengan masyarakat sebagai pelaku dalam pengembangan wisata. “Sehingga dengan berkembangnya sektor pariwisata, harapan kami bahwa kesejahteraan masyarakat pun ikut meningkat,” pungkasnya. (ce/ala)