Site icon KaltengPos

Belajar Nulis Aksara Jawa Malah Dikira Bikin Mantra Jimat

PELESTARI BUDAYA: Pakdjo (kiri) berdiskusi dengan kawan-kawannya di komunitas Banyu Mangsi di Oman Pitoe, Jogjakarta, Jumat lalu (4/6). (MUHAMAD ALI/JAWA POS)

Budaya Jawa kuno bukan hanya aksara hanacaraka. Ada simbol-simbol khusus yang menarik untuk didalami. Itulah yang membuat anggota Banyu Mangsi semakin penasaran dan terus belajar.

FERLYNDA PUTRI, Jawa Pos

“SAYA belajar nulis (Jawa) di kantor malah dikira bikin mantra jimat,” kata Tomi Febrianto, lantas terkekeh. Apalagi, waktu itu dia menulisnya di daun lontar. Tomi adalah salah seorang anggota komunitas Banyu Mangsi. Pengalaman Tomi sering pula dirasakan sesama anggota komunitas itu. Orang yang tidak tahu menyangka mereka suka klenik. Tentu saja, hal tersebut terkadang membuat para anggota komunitas yang berbasis di Jogja itu merasa gusar. Mereka resah karena belajar budaya Jawa dianggap sedang belajar klenik.

Tidak semua anggota komunitas itu berasal dari Jawa. Akbar Muhibar misalnya. Dia berasal dari Minang. Namun, dia suka mendalami budaya Jawa. Setelah bergabung dengan Banyu Mangsi, Akbar merasa makin cinta pada budaya Jawa.

Dia bahkan sudah bisa menulis dengan aksara Jawa. Akbar sempat menunjukkan buku catatannya. Awalnya, tulisannya memang tidak rapi. Namun, pada lembar-lembar terakhir, tulisannya mulai bagus. Dia juga memahami kata-kata Jawa yang bahkan sudah jarang diucapkan. “Saya tahu saat diajak ngomong pakai bahasa Jawa, tapi untuk menanggapi belum bisa,” bebernya.

Akbar merasa bahwa budaya Jawa itu indah sekaligus unik lantaran memiliki aksara sendiri. Selain itu, ada simbol-simbol yang penuh makna. Misalnya, wayang, simbol di bangunan sejarah, tembang, dan simbol lain yang membuatnya terkesima. Ternyata, apa yang dilihat dengan mata bisa memiliki arti yang tak hanya indah. Menurut Akbar, pemaknaannya bisa lebih luas. “Semakin dipelajari, semakin membuat kita ingin belajar lagi,” ujarnya. Akbar kini merasa tertantang mendalami Jawa Kawi dan bahasa Jawa lain yang lebih kuno. “Kenapa ya (orang-orang, Red) seolah ingin melupakan, padahal kalau didalami bagus sekali,” imbuhnya.

Akbar dan Tomi adalah awal dari Banyu Mangsi terbentuk. Ditambah satu anggota lagi yang hanya mau disebut dengan nama Pakdjo. Entah mengapa dia enggan disebutkan nama aslinya. Mereka awalnya belajar menulis Jawa pada 2019. Aksara hanacaraka yang berbeda dengan tulisan Latin membuat mereka tertarik belajar di sebuah institusi yang akhirnya kelasnya bubar.

Karena merasa masih kurang ilmu yang didapat, mereka bertiga kemudian melanggengkan kegiatan tersebut. Buku-buku yang ditulis dengan aksara Jawa baru sedikit dipelajari. Beruntung, Pakdjo seorang abdi dalem dan menjadi guru budaya Jawa pada komunitas lain. Ilmunya cukup banyak.

Seiring berjalannya waktu, anggota semakin banyak. Tiap anggota mengajak teman meski beberapa saja yang bertahan. Menurut Tomi, mereka yang sekarang terkumpul adalah angsor lan jodho, berjodoh dalam hal baik. Mereka saling melengkapi. Tak ada yang jadi guru.

Latar belakang pekerjaan mereka memang beragam. Ada yang seniman, akuntan, arkeolog, bahkan ibu rumah tangga. Keberagaman latar belakang itulah yang disebut Tomi dengan istilah angsor lan jodho. Winda Artista yang seorang arkeolog, misalnya, membantu mereka memahami mengapa ungkapan atau simbol-simbol tertentu bisa lahir. “Kalau zaman dulu, menandai sebuah kejadian itu tidak dengan waktu, tapi dengan istilah,” beber Winda.

Misalnya, saat pembuatan candi. Dalam prasasti atau keterangan di candi, tidak ditulis tahun pembuatan. Karena itu, agar lebih paham, perlu telaah lebih lanjut dari latar belakang ungkapan atau simbol yang muncul. “Kami ini tidak hanya membaca dan menulis,” kata Pakdjo. Kalau belajar hanya berhenti di kelas, Pakdjo yakin bakal bubar. Ilmu yang didapat juga bisa jadi cepat dilupakan. Untuk itu, mereka punya kegiatan jalan-jalan.

Mereka pergi ke tempat-tempat yang punya nilai sejarah. Merekonstruksi apa yang terjadi sesuai dengan serat atau kajian sejarah yang sudah ada. Misalnya, ke Kotagede, Jogjakarta. Tempat itu merupakan saksi berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Ada benteng dan peninggalan lain yang merupakan sisa kerajaan. Ada pula makam pendiri Kerajaan Mataram Islam. Setelah pergi ke tempat tersebut, mereka ternyata tak hanya belajar masa Kerajaan Mataram Islam. Bahkan, peristiwa sebelumnya juga dijelaskan.

Mereka juga pergi ke candi. Nah, ternyata bagi orang yang sensitif, tak boleh pergi ke banyak candi sekaligus. Tubuh dan pikirannya akan “capek” karena energi sekeliling yang berbeda-beda. Pakdjo mengibaratkan dalam satu hari pergi ke ruang ber-AC, lalu ke tempat yang panas, lalu ke dataran tinggi. “Nanti tubuhnya enggak nyaman. Sebab, meski yang dikunjungi itu benda mati, tempat itu menyimpan energi yang berbeda. Ini bukan soal mistis ya,” ungkapnya tegas.

Rizka Widyaningtyas pernah merasakan tersetrum di Candi Ijo. Yang membuatnya tersetrum bukan benda yang teraliri listrik, melainkan stupa. Batu.

“Saat itu kunjungan ke beberapa candi. Terus, Pakdjo nyuruh nyentuh stupa,” ceritanya. Yang terjadi, tangan kanan Rizka seolah teraliri listrik. Tentu itu membuatnya kaget. Kemudian, dia bertanya kepada Pakdjo mengapa bisa merasakan hal itu.

Namun, Rizka hanya mendapatkan senyuman dari seniornya tersebut. Pengalaman lainnya, ada yang merasakan aliran air. Ada pula yang seakan terbawa ke masa lampau. Lagi-lagi, Pakdjo menegaskan hal tersebut bukanlah mistis. Itu terjadi ketika seseorang justru dalam kondisi sadar betul. Selain itu, kondisi yang menerima lingkungan sekitarnya dan memahami bahwa ada kehidupan sebelumnya.

Kegiatan belajar budaya Jawa tak berhenti pada komunitas itu saja. Mereka juga mengajar ke kampung-kampung sekitar Borobudur. Anak-anak kecil di sana diajari membaca, menulis, dan memahami tulisan Jawa. Di sekitar Borobudur masih ada peninggalan peradaban kuno. Inilah yang membuat semakin menarik. “Ada makam kuno di sana, lalu diceritakan. Sesekali menulis di lontar,” ucap Pakdjo.

Yang menjadi pekerjaan rumah mereka sekarang adalah mencari benang merah antara serat Jawa dan ilmiah. “Misal, dulu ada perhitungan mongso lalu melihat bintang untuk menentukan arah. Itu masih relevan dengan kondisi sekarang,” ungkapnya. (jawapos.com)

Exit mobile version