Sudah 26 tahun Suryandi kehilangan kaki kirinya. Namun ia tak menyesali kondisinya. Tidak menyerah meski musibah datang bertubi. Kini, dia menjalani hari-hari dengan berjualan asongan. Tak terbesit sedikit pun di pikirannya untuk mengemis.
MUTOHAROH, Palangka Raya
SEIRING senja menyapa, sesosok pria paruh baya berjalan pelan sembari mendorong kursi roda di Jalan RA Kartini. Kursi itu bukan sembarang kursi. Kursi roda itu sudah dimodifikasi agar bisa dijadikan lapak dagangan. Kursi roda itu dibeli seharga Rp600 ribu dari keluarga pasien RSUD dr Doris Sylvanus.
Namanya Suryandi. Penyandang disabilitas. Sejak kehilangan kaki kirinya, untuk berjalan mesti dibantu dengan tongkat. Tiap hari Suryadi beranjak dari tempat tinggalnya di Kompleks Pasar Kameloh, Jalan KS Tubun. Tidur di kios bekas pasar ikan. Bukan kos-kosan atau rumah. Pukul 12.00 WIB melangkah pelan di aspal sekitaran Jalan A Yani dan sekitarnya.
Kursi roda modifikasi itu dipenuhi tisu. Digantung rapi biar menarik pembeli. Tisu-tisu itu dibelinya dari Pasar Besar. Dia juga harus berjalan kaki untuk membelinya. Laki-laki berusia 64 tahun itu tak lupa membawa bekal makanan. Rantang makanan dibungkus kantong plastik. Bekal hari itu ikan nila goreng dan sayur bening.
“Ini masakan saya sendiri,” ucap Suryandi sambil menunjuk rantang berisi nasi dan sayur itu. “Saya tidak biasa beli (makanan, red) di warung. Karena dulu pernah sakit perut, jadi seperti trauma,” tambahnya.
Dalam sehari, Pak Yandi, sapaan akrabnya, membawa lebih 50 bungkus tisu, untuk keuntungan minimal Rp50 ribu. Hasil jerih payahnya itu digunakan untuk menyambung hidupnya sendiri. Tak ada istri maupun anak.
Hidup sendiri tidak membuat Suryandi menjadi sosok yang pendiam atau murung. Sambil menceritakan kisah hidupnya, sesekali senyum dan tawa terukir di wajahnya. Lama tidak bertemu dengan saudara ataupun sepupunya tidak menjadikannya lupa dengan keluarga. Sesekali bertemu dan berpapasan dengan para sepupunya di jalan, kerap kali disapa dan mengobrol.
Banyaknya interaksi dengan orang lain, baik dengan sesama pedagang, pembeli, ataupun keluarga yang tak sengaja ditemui, merupakan salah satu cara mengusir rasa sepi di hidupnya.
“Kalau jualan kayak ini pasti ketemu banyak orang, seperti pembeli atau teman sesama pedagang. Bagi saya hidup bukan untuk disedihi, tapi harus dibuat bahagia,” kata Suryandi.
Pada usia 38 tahun, sebetulnya Suryandi sudah memiliki tunangan. Bahkan sudah akan dinikahi. Sebelumnya pria kelahiran 1959 itu bekerja di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), mengumpulkan modal untuk nikah.
Nahas, musibah menimpanya. Saat sedang bekerja membuka lahan, pohon besar menimpa kedua kakinya. Suryandi tak bisa bergerak. Cairan merah bercucuran. “Ketika pohon itu ditebang, lalu tumbang tiba-tiba, saya enggak sempat menghindar,” kisahnya kepada saya (penulis, red).
Pihak perusahaan langsung merujuk Suryandi ke rumah sakit di Kota Sampit. Kaki kirinya didiagnosis mengalami luka cukup serius. Pihak rumah sakit memutuskan untuk mengamputasi kaki kirinya demi mencegah pembusukan. Untungnya, kaki kanannya masih bisa berfungsi dan tidak diamputasi. Suryandi akhirnya diberhentikan oleh pihak perusahaan dan mendapatkan pesangon yang kemudian digunakannya sebagai modal usaha.
Cerita kelam belum berakhir. Sakit Suryandi bertambah. Tak hanya sakit di kaki, tetapi juga sakit di hati karena tunangannya tak bisa menerimanya lagi. Rencana pernikahan pun batal. “Dia (tunangannya saat itu, red) ngebatalin, takut kalau aku enggak bisa kerja untuk menghidupi keluarga,” ujarnya.
“Sekarang dia sudah nikah, anaknya tiga,” ucap Suryandi sambil terkekeh.
Meski kehilangan kaki kirinya, Suryandi yang belum menikah hingga saat ini tetap bersyukur. Kaki kanannya bisa menopang perjalanan hidupnya sampai saat ini. Pria kelahiran Muara Teweh itu tak ingin berlarut dalam kesedihan. Kejadian yang menimpanya tahun 1997 itu dijadikan cambuk untuk menyemangatinya melanjutkan hidup.
“Namanya jalan hidup tidak ada yang bisa menebak, jadi mau susah atau senang harus tetap dijalani, seperti uang, kalau sudah dipakai kan enggak bisa balik lagi, tidak perlu ada yang disesali,” tutur anak bungsu dari tujuh bersaudara itu.
Tahun 2000, Suryandi pernah menjadi penjual koran. Berjalan dengan dua tongkat menyusuri pasar hingga RSUD dr Doris Sylvanus. Tahun 2019, Suryandi membuka usaha berjualan amplang. “Empat tahun saya jualan amplang,” ujarnya seraya menyebut enggan mengemis untuk mendapatkan uang.
Pendistribusian dari produsen kepada agen yang cukup lama dan hanya dua minggu sekali, membuat usaha penjualan amplang tidak lancar. “Dagangan saya sering habis, tetapi produsen lambat kirim, jadi sering kosong stok,” ujar pria yang sempat mengikuti pelatihan keterampilan bagi disabilitas di Solo tahun 2002.
Budiarto yang merupakan rekan pedagang merasa kagum dengan Suryandi. Meski punya kekurangan fisik, tidak mematahkan semangat Suryandi untuk bekerja. Melihat itu, pedagang yang sehari-hari berjualan pentol itu pun termotivasi untuk lebih semangat bekerja dan tidak mudah mengeluh. Pedagang pentol yang akrab disapa Budi itu mengenal Suryandi sejak 23 tahun lalu. Mulai dari berjualan koran hingga sekarang ini berjualan dengan gerobak modifnya.
“Saya itu kagung sama bapak (Suryandi, red), biarpun fisiknya kurang, dia enggak patah semangat dan tetap mau bekerja. Kalau kebanyakan orang, pasti lebih memilih jadi pengemis,” tutur Budi seraya menyebut Suryandi merupakan sosok yang baik meski gaya bicaranya terkesan keras. (ce/ram)