Ghea Natania Untung Saloh betul-betul tak menyangka bisa mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri. Negara yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu adalah Amerika Serikat.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
DULU, remaja kelahiran 2005 itu hanya bisa bermimpi bisa menginjakkan kaki ke negeri Paman Sam. Namun sekarang impian itu telah menjadi kenyataan. Ia benar-benar menginjakkan kaki di negeri impiannya itu. Pelajar asal Palangka Raya itu telah melewati proses seleksi yang ketat hingga lolos seleksi beasiswa.
Wartawan Kalteng Pos berkesempatan ngobrol dengan Ghea. Saat itu jam menunjukkan pukul 06.46 WIB. Di Amerika, kira-kira pukul 18.46. Ada perbedaan waktu sekitar 12 jam.
Dari ujung telepon, suara Ghea terdengar putus-putus. Namun, cerita yang ia jabarkan selama mengikuti pertukaran pelajar di negeri Paman Sam begitu mengalir. Negeri seberang yang melompati beberapa benua dari Indonesia. Menarik hati untuk menggali lebih dalam pengalaman yang diceritakannya.
Kendati penanya (penulis) bukan di Amerika, pengalaman yang diceritakan membuat penanya merasa seolah-olah berada di sana.
Di Palangka Raya, Ghea sekolah di SMA Golden Christian School Palangka Raya. Kelas XII. Sudah lima bulan ia meninggalkan Palangka Raya untuk menempuh studi pertukaran pelajar di Amerika Serikat selama satu tahun.
Remaja kelahiran 2005 itu lolos beasiswa Kennedy Lugar Youth Exchange Programme (KL YES), mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Program dari organisasi non profit Bina Antarbudaya yang dibiayai penuh oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.
Mendaftar pada bulan Agustus tahun lalu, lalu menunggu hasil seleksi kurang lebih setahun. “Saya mulai mendaftar Agustus 2021, pengumumannya pada pertengahan tahun 2022,” ucapnya kepada Kalteng Pos, Minggu (4/12/2022).
Untuk bisa lolos menjadi peserta KL YES, ujar Ghea, ada beberapa tahap yang mesti dilewati. Seleksi sangat ketat. Ia harus bersaing dengan pelamar dari seluruh Indonesia. Tahap pertama adalah seleksi berkas. Berkas-berkas yang diserahkan ke panitia berupa buku rapor kelas XI-X, sertifikat prestasi akademik dan nonakademik, serta ijazah SMP.
“Kemudian ada seleksi chapter yang terdiri dari seleksi wawancara, tes dinamika kelompok, dan menulis esai. Tahap terakhir adalah seleksi tingkat nasional,” bebernya.
Remaja yang berulang tahun tiap 7 September itu mengaku baru pertama kali mengikuti seleksi beasiswa. Tak menyangka bisa lolos ke Amerika Serikat. Negeri di benua Amerika tempatnya bermimpi bisa melanjutkan studi.
“Saya baru pertama kali ikut seleksi beasiswa. Tidak sangka bisa lolos dan akhirnya belajar di Amerika,” ucapnya dari ujung telepon.
Sosok pemalu yang mengaku sulit menatap mata lawan saat bicara mengatakan, berkat dukungan orang terdekatnya ia bisa melewati semua tahapan seleksi beasiswa tersebut.
“Enggak nyangka waktu itu, karena saya itu orangnya pemalu, tatap mata lawan pembicara saja susah, tapi karena ada dukungan dari orang tua, teman-teman, dan guru pembimbing di sekolah, saya dikuatkan untuk terus maju,” ungkap remaja berusia 17 tahun itu.
“Tantangan yang paling sulit bagi saya adalah tahap wawancara. Walaupun diadakan secara daring, tapi saya tetap merasa gugup,” tambahnya.
Proses seleksi, ujar Ghea, telah dilakukan pembimbingan oleh guru di sekolah. Ia merasa sangat beruntung karena bisa bersaing dengan peserta dari sejumlah wilayah di Indonesia. Mengikuti seluruh rangkaian seleksi itu tidak mudah baginya. Harus bimbingan khusus dari sekolah sebelum hari seleksi. Dari sekolahnya, hanya ia yang lolos. Bersaing dengan lima orang temannya.
“Ada lima siswa dari sekolah saya, sayangnya hanya saya saja yang lolos, kami berlatih tiap akhir pekan, biasanya mulai berkumpul di sekolah pukul 12 siang hingga 6 sore, kalau masih belum puas, bahkan bisa sampai pukul 9 malam,” bebernya.
Ia merasa sangat beruntung dapat lolos beasiswa tersebut. Peran guru yang telah membimbing dan peran orang tua yang terus-menerus mendukungnya berperan besar bagi lolosnya ia dalam melewati berbagai proses rangkaian seleksi beasiswa tersebut.
“Saya sangat beruntung. Dari semua itu, menurut saya yang benar-benar memengaruhi kelulusan saya adalah dukungan dan bantuan dari orang tua serta guru pembimbing saya. Mereka percaya saya bisa lolos saat saya sendiri tidak yakin,” ungkapnya.
Sudah bulan kelima ia berada di Amerika. Pertama kali menginjakkan kaki di Amerika Serikat, persisnya di Bandara Washington, pada 8 Agustus tahun 2022 kemarin. Usai penantian yang panjang, selama satu tahun, dengan seleksi peserta yang sangat ketat. Pada akhirnya, dirinya pun dapat lolos setelah bersaing dengan peserta lain dari seluruh Indonesia. Ke Amerika Serikat. Negara yang pengaruhnya begitu besar bagi dunia dan menjadi tempat belajar impian banyak pelajar di dunia.
Di Amerika Serikat, ia tinggal di negara bagian Pennsylvania. Tepatnya di wilayah Watsontown, kota di negara bagian itu. “Saya sudah tinggal di Amerika Serikat selama lima bulan, di wilayah Watsontown, Pennsylvania, AS,” tuturnya.
Selama lima bulan itu ia menimba ilmu di Warrior Run High School, Watsontown, Pennsylvania, dengan biaya sepenuhnya menggunakan beasiswa KL-YES. Program dari Bina Antarbudaya yang dibiayai penuh oleh Kementerian Luar Negeri AS. Selama menuntut ilmu sana, ia tinggal bersama ibu angkat yang merupakan penduduk asli Amerika di kota itu.
“Saya tinggal bersama host mom (ibu angkat), Deborah, dan seorang peserta pertukaran asal negara Georgia, Salome. Saya akan tinggal dengan mereka selama setahun,” bebernya.
Selama berada di Amerika Serikat, begitu banyak hal berkesan yang ia dapatkan. Seperti pengalaman pertama kali melihat salju secara langsung, bermain ski es bersama teman-teman sekolah Warrior Run High School, dan melihat monumen-monumen terbesar dan terkenal di AS. (*/ce/ram)