Site icon KaltengPos

Akar Budaya Berladang Bawi Dayak Mulai Tergerus

TARIAN PROTES KEBIJAKAN: Perempuan Dayak dari Desa Gunung Karasik, Kabupaten Barito Timur, Mardiana (depan) bersama perempuan peduli lingkungan memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak masyarakat adat, ketika mengikuti pameran pangan di Palangka Raya, Minggu (13/3). FOTO: ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

Secara historis, berladang atau manugal merupakan cara alami masyarakat Dayak memenuhi kebutuhan pangan. Aktivitas ini tidak lepas dari peran perempuan. Konsep ini sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Namun perlahan tergerus oleh kebijakan pemerintah yang dinilai tak memihak.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

 

SAYURAN hasil hutan berjejer di atas meja berbentuk segi empat. Ada keladi, rimbang, labu putih, salak hutan, singkah umbut, rebung, dan terung pipit. Semuanya masih segar. Dipetik dari hutan di Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas.

HASIL HUTAN: Warga dari desa di pelosok Kalteng menunjukkan hasil hutan. FOTO: ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

Dua orang wanita paruh baya, Sri dan Remi, terlihat berdiri santai sembari menjaga sayuran itu. Sesekali menjelaskan kepada pengunjung nama dan asal muasal sayuran yang disajikan pada pameran peringatan Hari Perempuan Sedunia di Palangka Raya, Minggu (13/3). Keduanya diundang sebagai narasumber pameran yang mengangkat tema Mewujudkan Kedaulatan Pangan Perempuan itu.

Tangan Remi begitu lincah menata sayuran itu. Sesekali menggenggam beberapa jenis sayur dan menjelaskan manfaatnya. Begitu lugas menjelaskan asal muasal sayuran.

Remi merupakan satu dari sekian ribu perempuan (bawi) Dayak di daerah pelosok yang kehidupannya tidak bisa jauh dari hutan. Bagi perempuan 46 tahun itu, hutan adalah tempat mengais berbagai penghidupan, utamanya sumber pangan. Namun pandangan itu tidak lantas menjadikannya rakus dan tamak terhadap hasil-hasil hutan. Sebab, eksistensi hutan sebagai sumber penghidupan juga harus dihormati dan dihargai.

Hutan adalah sumber pangan lokal. Hamparan luas untuk mewujudkan kemandirian pangan keluarga. Perempuan seperti Remi adalah penyokongnya. Remi merupakan tulang punggung dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Sayangnya eksistensi pangan lokal itu mulai tergerus. Bukan salah Remi, melainkan faktor-faktor eksternal yang memengaruhi Remi dan perempuan desa lain mengais kebutuhan pangan.

“Sebagian dari kami masih mengonsumsi pangan lokal, seperti umbut singkah dan lainnya yang menggunakan pangan lokal sebagai bahan utama,” ungkap Remi saat berbincang-bincang dengan wartawan.

Jalan pangan Remi dan bawi Dayak lain dalam memperkuat sumber pangan keluarga tidak hanya dari mencari sayur-mayur hasil hutan, melainkan juga bahan pokok utama, yakni beras yang didapat dari hasil berladang. Namun saat ini mereka tidak bisa memenuhi lumbung beras sebagai pangan utama keluarga.

 

“Untuk sayur-mayur masih bisa dapat dari hutan, tapi kalau untuk pangan lain seperti beras, saat ini sudah enggak bisa lagi berladang, karena ada larangan membakar hutan, sudah tiga tahun terakhir kami enggak membuka ladang,” keluh Remi.

“Bahkan bibit lokal sudah hilang, enggak ada lagi, seperti bibit padi gunung,” bebernya.

Dalam memenuhi kebutuhan beras rumah tangga, Remi harus mengubah pola dengan membeli dari orang lain. Kemandirian pangan keluarga perlahan menghilang. Imbas dari visi modernisasi pemerintah yang latah, Remi harus menyudahi berladang yang sudah dilakukannya sejak berusia 10 tahun, yang diajarkan turun-temurun dalam keluarga.

“Walau sekarang serbamodern, tidak ada bahan makanan yang bisa jadi pengganti beras. Kalau dulu kami bisa mandiri dengan berladang, bisa menghasilkan banyak beras untuk stok yang cukup lama, tapi sekarang kami harus menyisihkan uang untuk beli beras,” tuturnya.

Kini Remi dan perempuan lain yang hidup di Desa Mantangai Hulu tak bisa lagi berladang. Lahan yang mereka miliki turun-temurun sudah berubah menjadi semak belukar. Kemandirian pangan keluarga sedikit goyah. Kondisi ini juga menyebabkan kegamangan masyarakat desa dalam pelestarian pangan lokal. Anak-anak muda kini enggan mengonsumsi makanan lokal.

“Sagu dan singkong juga kerap kami makan di kampung, tapi anak-anak di desa kami sekarang sudah tidak mau makan sagu dan singkong, cuman kami yang tua ini saja yang mau makan makanan lokal,” tuturnya.

Kondisi ini membuat Remi dan perempuan Dayak lainnya prihatin untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Terbentuknya pola pikir generasi muda yang demikian lambat laun dapat mengubah pola hidup efektif yang selama ini mengakar kuat, yakni mengonsumsi pangan hasil hutan. Perlahan akan menggeser pangan lokal, menghapus budaya yang sudah mengakar ratusan tahun.

“Saya berharap pemerintah bisa melihat masyarakatnya yang tertindas, karena banyak yang hilang dampak dari kebijakan yang diambil selama ini, seperti budaya, kearifan lokal, semua itu hampir hilang. Harapan kami, pemerintah bisa melihat dan menanggapi apa yang kami rasakan saat ini, kearifan lokal kami akan benar-benar hilang, karena kami sangat dekat dengan hutan dan alam, karena hutan adalah sumber penghidupan kami,” jelasnya.

 

 

Hilangnya Tradisi Manugal

 

 

Terbesit di dalam pikiran Remi untuk kembali berladang atau manugal. Bagi Remi, berladang bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pangan. Melalui kegiatan itu juga tercipta hubungan yang baik antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

“Harapan kami bisa kembali berladang di hutan, di sana kami berladang, berbincang ramai dengan sesama, bergotong-royong,” tuturnya.

Dalam kehidupan bawi Dayak di Bumi Tambun Bungai, hutan dan ladang merupakan tempat mengais pangan demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sayangnya, aktivitas itu sudah tidak bisa dilakukan dengan maksimal, dampak masuknya proyek-proyek korporasi. Ekosistem terganggu akibat izin-izin konsesi. Tak ayal pertumbuhan pangan pun ikut terganggu.

Mardiana D Dana adalah satu dari sekian banyak perempuan Dayak Ma’anyan yang merasakan dampaknya. Wanita asal Barito Timur (Bartim) itu mengungkapkan bahwa aktivitas berladang dan mencari tanaman di hutan tidak bisa dilakukan karena keberadaan perusahaan-perusahaan yang dekat dengan permukiman warga.

Wanita berusia 64 tahun itu menyebut, dengan adanya aktivitas perusahaan sawit dan batu bara, ruang gerak masyarakat lokal makin sempit. Ditambah lagi adanya larangan membakar lahan yang ditetapkan pemerintah tiga tahun terakhir, makin menghambat mereka mewujudkan kemandirian pangan.

Menurut perempuan yang aktif menyuarakan hak masyarakat adat itu, mindset pemerintah perihal membakar lahan salah kaprah. Dikatakannya, kegiatan berladang yang dilakukan dengan membakar sebagian hutan, sejatinya bukan bermaksud membakar hutan, melainkan membersihkan lahan bertani.

“Kalau kami tidak bisa berladang, maukah pemerintah menyiapkan jatah hidup kami seperti beras tiap bulan, tiap KK kan beda-beda. Kami sangat keberatan kalau dibilang merusak hutan, sementara kami sendiri merawat dan memelihara hutan yang ada,” tuturnya.

Perempuan asal Desa Gunung Karasik, Bartim itu mengaku kecewa dengan pemerintah yang telah mengklaim wilayah hutan mereka dengan berbagai status, seperti kawasan hutan, hutan lindung, dan lain-lain. Masyarakat asli Dayak begitu menghormati alam. Menghargai alam sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang eksistensinya bukan untuk dieksploitasi, melainkan untuk dihargai dan dijaga.

 

 

Varietas Padi Lokal Mulai Lenyap

 

 

Perempuan dan ketahanan pangan keluarga sangat berkaitan erat. Sebab, tulang punggung pangan keluarga dipikul oleh mereka. Perempuan punya peranan penting dalam mewujudkan itu. Menurut Juru Advokasi Kampanye Palangkaraya Ecological & Human Right Studies (Progress) Kalteng Suari Rosalia, perempuan dan kedaulatan pangan punya kaitan erat. Baik yang tinggal di perkotaan maupun perdesaan, yang paling pertama berdampak langsung adalah perempuan.

“Perempuan dalam anggapan masyarakat kan kerap berkaitan dengan ranah domestik, seperti dapur, sumur, kasur, banyak yang mindset-nya seperti itu. Relevan dengan itu, pangan-pangan lokal di Kalteng itu sudah menipis, benih-benih lokal hilang, perempuan sangat berhubungan erat di sini, dengan makin hilangnya pangan lokal, maka makin membuat perempuan berpikir lebih untuk mendapatkan pangan dengan cara lain,” jelas Suari kepada wartawan, Senin (13/3).

Alhasil para perempuan mulai mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Salah satunya dengan menjadi buruh di perusahaan-perusahaan. “Jadi perempuan Dayak yang dalam budayanya seharusnya berladang untuk kemandirian pangan keluarga, akhirnya beralih profesi karena desakan itu. Lambat laun akan menggerus akar budaya lokal,” tambahnya.

Perempuan berusia 26 tahun yang kerap mengunjungi desa-desa di Kalteng untuk studi budaya menyebut, perempuan Dayak sudah terbiasa memenuhi kebutuhan pangan keluarga secara mandiri dengan berladang dan mencari sayur-sayuran di hutan, bukan dengan membeli.

“Budaya ini sudah mengakar di tengah masyarakat, khususnya perempuan Dayak. Maka dari itu, penting untuk dipertahankan sebagai jalan menjaga kearifan lokal,” tandasnya.

 

Sementara itu, menelisik hubungan antara perempuan dan ketahanan pangan keluarga, pengamat sosial-budaya masyarakat Dayak Dr Sidik Rahman Usop MS mengatakan, perempuan Dayak yang hidup di perdesaan merupakan sosok sentral dalam urusan pangan keluarga.

“Pangan itu sebagai safety food untuk kebutuhan keluarga, bukan untuk dijual, untuk jangka waktu yang lama seperti satu tahun. Pangan menjadi bagian dari kebutuhan keluarga. Di dalam keluarga pun, yang paling berperan justru perempuan,” jelas Usop kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, kemarin.

Pria yang menyelesaikan studi doktoral sosiologi di Universitas Airlangga itu mengatakan, pemerintah kerap menganggap budaya berladang masyarakat Dayak bisa digantikan dengan beras baru. Padahal varietas padi yang ditanam berbeda.

“Varietas padi yang mereka sukai dan mengakar dengan budaya masyarakat berbeda dengan varietas padi yang digaungkan pemerintah saat ini. Karena itulah varietas padi lokal tadi mulai digeser, ada potensi akan lenyap suatu saat nanti,” jelasnya.

Tak hanya itu, lanjut Usop, berladang menurut aturan adat menempatkan perempuan sebagai sosok sentral dalam pengeksekusian. Para perempuan terutama kaum ibu suku Dayak di perdesaan, berperan penting memperjuangkan agar hutan yang dibakar dapat menjadi ladang tanpa menyebabkan bencana karhutla.

“Perempuan Dayak betul-betul memahami aturan adat yang menjelaskan secara teknis bagaimana berladang dengan membakar sebagian hutan tanpa menyebabkan karhutla. Mengapa cara-cara adat itu ramah lingkungan, ya karena cara adat itu tumbuh dari budaya masyarakat, ilmu kebudayaan mereka turun-temurun didapatkan dari hasil pengamatan kondisi alam di sekitar tempat tinggal mereka,” tandasnya. (ce/ram)

Exit mobile version