Ketika ada pelimpahan hak pengelolaan hutan, masyarakat desa kadang merasa bingung bagaimana memanfaatkan sumber daya alam. Namun tidak bagi masyarakat beberapa desa di Kecamatan Kahayan Tengah. Sumber daya hutan dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk. Salah satunya madu murni dari daerah hutan gambut.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
FESTIVAL Madu Rawa Gambut yang dilaksanakan di Palangka Raya, Rabu (15/3), menyedot perhatian khalayak. Dua pembudi daya madu, Marlina dan Kiki, warga Kelurahan Kalawa, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) turut hadir dalam kegiatan ini. Keduanya bisa memaksimalkan potensi perhutanan sosial secara baik, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Warga Kelurahan Kalawa, Kecamatan Kahayan Tengah ini telah membudidayakan madu kelulut sejak 2021 lalu, berkat bantuan pemerintah daerah setempat untuk membuka perhutanan sosial, yang kemudian dikelola secara swadaya oleh masyarakat.
“Ini hasil budi daya madu kelompok kami dari Desa Kalawa, dalam satu tahun bisa dua sampai tiga kali panen, sekali panen dapat tiga liter madu murni khas hutan Kalteng,” ungkap Marlina sembari menunjukkan produk madu kelulut, kemarin.
Wanita berusia 37 tahun itu merupakan salah satu anggota Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dari Kelurahan Kalawa dengan konsentrasi budi daya lebah kelulut yang menghasilkan produk madu kelulut. Namun untuk penjualan produk yang dihasilkan itu masih sebatas pasar lokal.
“Marketing belum maksimal, soalnya produk-produk yang kami hasilkan ini masih dipasarkan di Palangka Raya dan Pulang Pisau, belum sampai luar daerah. Kami berharap ke depannya produk ini makin unggul dan bisa dipasarkan hingga luar daerah,” tuturnya.
Kedua kelompok tersebut merupakan contoh masyarakat desa/kelurahan yang telah berupaya memanfaatkan sumber daya alam berupa hutan non kayu dari program perhutanan sosial (PS). PS merupakan salah satu program pemerintah yang memberdayakan ekonomi masyarakat desa melalui pelimpahan tanggung jawab kepada masyarakat desa untuk mengelola hutan di daerah tempat tinggal masing-masing.
Selain Marlina dan Kiki, festival tersebut juga menghadirkan pengusaha madu lokal Kalteng lainnya, yakni Sofia dan Meliasi. Keduanya terlihat riang menjaga stan di lokasi Festival Madu Rawa Gambut. Kedua perempuan itu merupakan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) madu lokal dari Desa Buntoi, Kecamatan Kahayan Tengah, Pulpis.
“Kami sudah membudidayakan madu sejak 2020 lalu, sekitar Desember akhir. Usaha madu ini kami buka setelah ada program dari dinas kehutanan untuk kami bisa memanfaatkan hutan secara berkelanjutan,” beber Sofia saat berbincang-bincang dengan wartawan.
Sofia dan Meliasi adalah pembudi daya madu dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang dibentuk dan bernaung di bawah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Buntoi. Dengan beranggota 19 orang, termasuk Sofia dan Marlina, budi daya lebah kelulut (Trigona itama) mulai digarap.
Per tahunnya, rata-rata kelompok ini bisa memproduksi kurang lebih lima liter madu. Madu yang dibudidayakan dan menjadi produk unggulan itu merupakan madu hutan dan madu kelulut. Proses budi daya madu itu merupakan salah satu bentuk komitmen pihaknya untuk memanfaatkan hutan non kayu secara berkelanjutan dan bernilai jual.
“Sejak tahun itu, kami mulai membudidayakan madu kelulut. Kalau untuk madu hutan, kami beli bongkahan madu yang masih utuh dari pengepul, sementara madu kelulut kami budi dayakan dan proses sendiri,” tutur wanita berusia 28 tahun itu.
Di tempat yang sama, Direktur Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) Kalteng, Moh Djauhari, menjelaskan pemerintah telah mengalokasikan 12,7 juta hektare (ha) kawasan hutan untuk perhutanan sosial atau PS sejak 2015 lalu. Skema pengelolaan PS ini melalui hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat (HTR), kemitraan kehutanan (KK), dan hutan adat (HA). Program nasional ini telah mencapai luas kurang lebih 5 juta hektare, dengan capaian skema pengelolaan HD terluas pada akhir 2021.
“Di Kabupaten Pulang Pisau, pelaksanaan PS telah membentuk 37 unit pengelolaan, dengan luas kurang lebih 60.000 hektare. Khusus di Kecamatan Kahayan Hilir, ada empat unit hutan desa dan dua unit HTR. Luas unit HD di Kahayan Hilir adalah 16.205 hektare, yang terdiri dari hutan Desa Gohong seluas 3.115 hektare, hutan Kelurahan Kalawa seluas 4.230 hektare, hutan Desa Mantaren I seluas 1.835 hektare, dan hutan Desa Buntoi seluas 7.025 hektare,” beber Djauhari kepada wartawan, Rabu (15/3).
Lebih lanjut ia menjelaskan, salah satu tujuan PS yakni untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat desa. Melalui pembentukan dan perencanaan usaha ekonomi dari kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS), pemegang persetujuan PS dapat memanfaatkan potensi hasil hutan kayu (HHK) dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK menyebut nilai transaksi dari lima persen KUPS mencapai Rp117,59 miliar per tahun atau setara Rp1,98 triliun dari total KUPS yang ada (secara nasional ada 2.000-an KUPS).
“Di Kalimantan Tengah ada 51 KUPS dengan komoditas madu, 5 KUPS madu di antaranya berstatus emas, 34 perak, dan sisanya 12 biru. 5 KUPS madu berstatus emas tersebut adalah 3 KUPS madu Pulang Pisau dan 2 KUPS madu Kapuas yang kita hadirkan dalam pameran ini,” bebernya.
Djauhari menyayangkan informasi keberhasilan potensi pengembangan ekonomi hasil hutan bukan kayu yang berkelanjutan dan menjadi penggerak ekonomi alternatif masyarakat kelurahan/desa di Kecamatan Kahayan Tengah, belum begitu dikenal publik. “Hal ini bisa memicu terjadinya pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu secara ilegal di beberapa unit PS yang arealnya berupa kawasan hutan lindung dan hutan produksi,” bebernya.
Menurutnya perlu ada penyebaran informasi tentang alternatif ekonomi masyarakat berbasis pengembangan madu di unit-unit PS, sebagai upaya mitigasi deforestasi serta degradasi hutan dan gambut di Kalteng. “Kami menggandeng pemerintah daerah, berencana mengangkat pembelajaran pengusahaan madu dari unit PS kepada khalayak umum, terutama masyarakat desa/kelurahan di Pulpis khususnya,” tandasnya.
Diperlukan peran aktif pemerintah dan berbagai organisasi untuk dapat membina masyarakat sekitar PS agar dapat memaksimalkan sumber daya yang dimiliki itu. Pengelolaan PS selanjutnya adalah tanggung jawab masyarakat. Namun akan lebih baik jika ada upaya jemput bola dari pemerintah untuk membimbing dan mengarahkan masyarakat yang wilayahnya termasuk PS. Hal ini penting dilakukan, agar masyarakat dapat memanfaatkan potensi itu secara berkelanjutan. (*/ce/ala)