Melihat Industri Rotan Bertahan di Tengah Gempuran Zaman
Rotan pernah menjadi primadona pada masanya. Tidak sedikit yang menggeluti usaha pengolahan rotan. Nyaris tiap daerah punya industrinya. Banyak produk menarik yang bisa dibuat dari hasil alam ini. Sayangnya, era manis itu perlahan pudar. Aturan dan kebijakan membuat eksistensinya terus menurun. Hanya sedikit yang memilih tetap eksis.
DENAR, Palangka Raya
YANTO, salah satu pelaku usaha yang hingga kini masih memproduksi furnitur berbahan rotan. Pria 57 tahun itu membuka usaha kerajinan rotan di Jalan G Obos, Palangka Raya. Hampir dua dekade mengolah tumbuhan merambat dan berduri ini menjadi produk bernilai jual tinggi.
Dari bahan yang bernama Latin Calamus Axillaris ini, Yanto bisa mengolahnya jadi berbagai produk furniture, seperti meja, kursi, dan lainnya. Sejak 2005, pria yang hijrah dari Kota Cirebon, Jawa Barat pada 2003 lalu itu sudah punya usaha sendiri di Jalan G Obos, Palangka Raya.
Saya (penulis, red) berkesempatan mendatangi tempat usahanya, Grage Rattan. Saat itu Yanto tengah sibuk dengan pekerjaannya. Melihat kedatangan saya, ia menghentikan pekerjaannya. Mempersilakan saya untuk duduk di kursi kecil berbahan rotan yang baru saja selesai dibuat. Obrolan kami pun dimulai. Ketika saya menyinggung soal pemilihan nama tempat usaha, Yanto langsung tertawa. Dikatakannya, sebenarnya ia ingin menamai tempat usahanya itu Garage Rattan (Garasi Rotan). “Dalam proses penulisan, tertinggal satu huruf, makanya jadi seperti ini,” ucapnya.
Sebelum saya tiba, Yanto sibuk mengerjakan pesanan pelanggannya. Satu set kursi dan meja tamu yang dirajut dan disatukan kerangkanya dari rotan berdiameter besar. Ada delapan jenis rotan yang digunakan. Mulai dari rotan irit, sega, hingga rotan manau. Pengolahan untuk rotan besar menggunakan peralatan manual dan seadanya. Bukan alat-alat modern. Membuat motif atau melengkungkan rotan besar hanya menggunakan kayu yang dimodifikasi. Untuk pembakaran pun menggunakan tabung elpiji. Rangka-rangka furnitur kemudian disatukan untuk kerangka kursi dan meja. Lalu rajutan rotan dipasangkan, sehingga menjadi kerajinan tangan bernilai tinggi. Semuanya dikerjakan dengan keterampilan tangan.
Untuk bahan bakunya, Yanto mendatangkan dari luar Palangka Raya, seperti Katingan dan Kapuas. Harga beli bervariasi. Tergantung kualitas dan jenis rotan. Mulai dari Rp4 ribu hingga Rp6 ribu per kilogram. Sementara untuk bahan setengah jadi, dibeli dengan harga kisaran Rp40-Rp60 ribu.
“Jadi ada delapan jenis rotan yang kami pakai di sini, dari yang berukuran besar hingga kecil, untuk menghasilkan satu kursi, dibutuhkan beberapa hari pengerjaan, untuk satu set bisa sampai tiga minggu lamanya, bahan baku sebenarnya mudah didapat, tidak seperti yang orang bilang rotan itu susah dicari sekarang, justru masih melimpah, pasaran lokal rotan pun sebenarnya bagus,” sebut Yanto, Minggu (14/8).
Harga jual produk berkisar Rp7 juta-Rp17 juta. Tergantung ukuran. Yang paling banyak dipesan adalah properti rumah, kursi, dan meja tamu. “Harga ya sesuai dengan pemesanan dan ukuran yang mau dibeli, ukuran barang yang dibuat memengaruhi harga, kalau bicara banyaknya peminat, ya lumanyan banyak di Kota Palangka Raya, bahan baku pun melimpah,” tutur Yanto.
Menurutnya, eksistensi rotan tidak akan pernah hilang selama pemerintah memberi perhatian. Mulai dari regenerasi hingga bantuan untuk pengembangan usaha. Bahkan untuk membuktikan itu, Yanto memperlihatkan beberapa ketertarikan pembeli. Bukan hanya dari dalam negeri, tapi juga datang dari Korea Selatan dan Singapura.
“Ini ada yang menawarkan, ada dua negara, tapi karena kurangnya SDM dan perhatian pemerintah, sudah pasti ini tidak akan bisa terealisasi, butuh dana untuk mengirimkan barang ke luar negeri, ini jadi bukti bahwa hasil bumi Kalteng seperti rotan masih dilirik dan masih eksis, tapi ini semua butuh perhatian dan dukungan, ini akan menambah pendapatan daerah maupun negara, jangan sampai kalah dengan di Pulau Jawa, kita di sini juga bisa,” sebut Yanto.
Membuktikan ucapanya, bahkan ada pembeli yang datang, lalu memesan dan memberikan tanda jadi untuk dibuatkan satu set kursi dan meja berbahan rotan.
“Nah, coba lihat, masih ada yang meminati hasil olahan kami, masih ada yang beli bila semuanya dikerjakan dengan tulus dan baik, tinggal bagaimana pemerintah men-support ini, saya yakin produk olahan rotan bisa eksis lagi, pangsa pasarnya makin luas, bisa menjadi sumber pendapatan selain tambang dan perkebunan sawit,” tuturnya.
Yanto juga memperlihatkan beberapa penghargaan yang diterimanya di tingkat nasional. Bahkan ia pernah diundang jadi narasumber pelatihan untuk perajin rotan di sejumlah kabupaten di Kalteng.
Yanto berharap ada generasi muda yang tertarik dengan dunia usaha pengolahan rotan. Untuk itu mesti ada dukungan pemerintah. Apalagi pada era globalisasi, pemasaran bisa dilakukan secara online. Karena itu perlu ada kerja sama antara pemerintah dan pelaku usaha, khususnya pengrajin rotan.
“Rotan ini tidak akan hilang jika ada perhatian dari pemerintah, regenerasi juga diperlukan, baik lulusan kejuruan maupun melalui pelatihan, saya yakin usaha rotan maupun lainnya berbahan rotan tidak akan hilang, bahkan banyak mahasiswa di Kalteng dan dari Pulau Jawa menghubungi saya untuk penelitian akademis mereka terkait rotan, tinggal pengembangan SDM dan support penuh dari pemerintah, itu saja,” pungkasnya. (*/ce/ala/ko)