Panglima Batur memimpin pasukan Tanah Pagustian menyerang Benteng Rakit Montallat. Dalam penyerangan itu, Panglima Batur dibantu Panglima Kumis Baja, Haji Muhammad Amin, dan rakyat Montallat. Benteng dikepung selama empat hari empat malam.
ROBY CAHYADI, Muara Teweh
PADA tahun 1902, Panglima Batur menjalankan perintah sultan untuk melakukan perjalanan ke Kapuas Hulu, dengan misi mengadakan pendekatan terhadap Temanggung Angis dan Temanggung Johanes. Dia juga dipercaya untuk melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh Siang, Murung, Bumban, Bahan, Batu Tuhup, Tumbang Lahung, dan Batu Supan, sehingga terwujudlah pertemuan akbar di Kalang Kaloh.
Hasil pertemuan itu antara lain berisi dukungan terhadap pengangkatan Muhammad Seman menjadi sultan menggantikan posisi Pangeran Antasari yang wafat tahun 1862.
Peserta pertemuan Kalang Kaloh juga meneguhkan tali silaturahmi dalam sumpah bersama saling angkat saudara dan tunjang-menunjang berjuang melawan Belanda. Tokoh Barito Hulu yang hadir pada pertemuan tersebut yakni Temanggung Silam dan Temanggung Balere,
Awal Februari 1904, Panglima Batur dan Temanggung Angis bekerja sama hingga berhasil menahan serangan Demang Sylvanus di Kapuas Hulu. Sylvanus merupakan seorang bangsawan setempat. Ini merupakan salah satu tekatik Belanda, yakni menciptakan benturan antartokoh atau bangsawan daerah, dengan tujuan melemahkan kekuasaan Sultan Muhammad Seman.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Barito Utara, Hj Annisa Cahyawati membenarkan kronologi perjuangan Panglima Batur. “Pada tanggal 31 Agustus 1904, Panglima Batur bersama tokoh lainnya menyerang Benteng Rakit Montallat selama empat hari empat malam. Penghuni benteng tidak berani keluar karena takut menjadi sasaran peluru pasukan Batur,” tuturnya, Minggu (16/4).
Selanjutnya, ungkap Annisa, pada September 1904, Panglima Batur dan Haji Muhammad Amin diserang oleh pasukan Belanda di Lete. Dalam pertempuran itu, Haji Muhammad Amin dan empat orang anak buahnya tertangkap, lalu dibawa ke Muara Teweh. Sementara Panglima Batur berhasil lolos.
Panglima Batur menyayangkan perilaku pasukan Belanda yang tidak ksatria, menggunakan cara-cara licik, bahkan menghalalkan segala cara. Dengan sangat prihatin, Panglima Batur memahami makna kedatangan rekan seperguruannya, Haji Dumajid. Dia menyadari betapa pentingnya kabar yang disampaikan sepupunya tersebut. Panglima Batur pun bersedia memenuhi panggilan Asisten Residen ke Muara Teweh untuk berunding.
Haji Dumajid pun merasa jemawa karena berhasil membawa Batur ke Muara Teweh. Keluarga Haji Dumajid juga memandangnya sebagai perilaku manusiawi. Ia berpikir bahwa penangkapan karib kerabat dan penduduk kampung pasti akan berhenti. Dia membawa Batur berperahu dari tempat persembunyian di Mariak ke Muara Teweh, memenuhi undangan Asisten Residen Muara Teweh. Mereka menjadi tontonan orang banyak ketika melewati setiap kampung.
Sebagian besar rakyat, para pejuang, dan para penyokong perjuangan menyesalkan hal ini. Mereka menonton dengan perasaan tidak menentu, karena Panglima Batur merupakan pemimpin perjuangan rakyat. Penangkapan dan penyanderaan oleh Belanda atas karib kerabat adalah bagian dari taktik penjajah. Bukan salah Panglima Batur. Oleh sebagian kerabat, Haji Dumajid dianggap pahlawan, karena dengan ditangkapnya Panglima Batur, penangkapan dan penyanderaan oleh serdadu Belanda bisa berakhir.
Sejarah menunjukkan bahwa undangan ke Muara Teweh hanyalah taktik licik penjajah yang berujung penangkapan terhadap Panglima Batur. Semua keluarga dan rakyat Barito, kecuali keluarga Haji Dumajid, sangat menyesalkan dan membenci taktik licik penjajah.
Dengan menghalalkan segala cara, politik pecah belah, Belanda berusaha memutuskan hubungan Panglima Batur dengan keluarga besarnya, termasuk kakak seperguruan dan keluarga. Panglima Batur memahami betapa Belanda telah memanfaatkan Haji Dumajid guna mengorek informasi persembunyiannya, lalu membawanya ke Muara Teweh. Keluarga Panglima Batur dan rakyat Barito menganggap bahwa Haji Dumajid telah berkhianat kepada Panglima Batur dan perjuangan rakyat.
Sebaliknya Haji Dumajid berdalih, dia menjemput Panglima Batur karena tidak sampai hati mendengar ratap tangis warga Lemo yang disiksa tiap saat di penjara Muara Teweh. Jadi sebenarnya sebagian kecil karib kerabat dan sebagian kecil rakyat di Lemo yang tidak mau bergabung di Benteng Bariyui, telah menghadapkan para pejuang yang dipimpin oleh Panglima Batur dalam pilihan yang sama sulitnya. Terus berjuang sedangkan karib kerabat dan rakyat ditangkapi dan disiksa Belanda, atau berunding dengan risiko perjuangan akan terhenti. (bersambung/ce/ala)